Oleh : Sultan mahesa jenar
Berdoa
merupakan salah satu perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Namun tidak jarang
kita temui seseorang
mendatangi ulama tertentu yang diyakini dekat kepada
Allah SWT. Kedatangan
orang tersebut dalam rangka memohon bantuan doa serta memohon untuk disambungkan
segala permintaannya kepada Allah SWT. Inilah yang disebut tawassul.
Bagaimanakah hukum tawassul?
Tawassul
merupakan salah satu cara
yang diayakini mempercepat terkabulnya doa. Dalam tawassul ada keutamaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا
اتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة:35)
Artinya
: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan. (QS.Al-Maidah : 35)
Ayat di atas memberikan pengertian bahwa kita
harus mencari jalan atau cara untuk bisa
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Salah satu cara tersebut dengan melakukan
tawassul. Dengan tawassul kita
menjadikan para kekasih Allah SWT sebagai perantara menuju Allah SWT demi mencapai hajat. Itu lantaran kedudukan dan
kemuliaan para kekasih
Allah di sisi-Nya. Dengan ini,
dapat dipahami bahwa tawassul
adalah satu ajaran dalam Islam
dan di dalamnya terdapat keutamaan.
Sehubungan
dengan ayat di atas,
Al-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib,
menjelaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk bisa sampai
kepada Allah kecuali dengan perantara guru (al-mu'allim) yang mampu mengajarkan
kita tentang pengetahuan (ma'rifat) tentang Allah SWT. Maka posisi guru di sini juga berfungsi sebagai wasilah
(perantara). Dari sini bisa disimpulkan bahwa keberadaan wasilah memang
sangat penting.
Sedangkan
wasilah itu sendiri adalah sesuatu atau orang yang dijadikan perantara. Selain
itu ada juga yang memberikan definisi bahwa wasilah itu adalah sesuatu yang
menyebabkan kita dekat dengan orang lain. (Lihat :Tafsir ar-Razi, J.VI/ h.49; At-Ta'rifat, J.I/ h.84). Saat kita menjadikan sesuatu berupa
amal baik kita sendiri atau amal baik orang lain sebagai wasilah, maka inilah
yang kemudian disebut sebagi tawassul.
Kepada siapakah kita layak
melakukan tawassul?
Jawaban:
Tawassul dilakukan kepada orang-orang
yang dicintai oleh Allah SWT. Dalam hal ini, orang yang dimaksud adalah Rasulullah
SAW. Bahkan dalam Al-Qur'an
dijelaskan bahwa seorang hamba yang telah melakukan kesalahan atau dosa, baik
besar maupun kecil dibolehkan datang kepada Rasulullah SAW. dalam rangka
pertaubatan. Yakni untuk supaya dirinya diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT dengan cara mengharap Rasulullah SAW
memintakan ampun kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Al-Qur'an :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ
لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ
فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ
تَوَّابًا رَحِيمًا (النساء:64)
Artinya
: Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa' : 64)
Namun dalam
melakukan tawassul tidak hanya boleh kepada Rasulullah SAW. Tawassul boleh dilakukan kepada orang-orang
yang keutamaannya dijamin oleh Rasul SAW. Orang-orang yang dimaksud antara lain
adalah para ulama' dan syuhada'. Hal ini berdasarkan hadits :
يَشْفَعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ
الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْعُلَمَاءُ ثُمَّ الشُّهَدَاءُ (رواه ابن ماجه)
Artinya
: Ada tiga orang yang akan memberikan syafaat kelak pada hari kiamat. Yaitu
para Nabi, kemudian para ulama lalu para
syuahada' (HR. Ibnu Majah) (Lihat : Sunan Ibnu Majah,
J.XIII/h.28)
Bahkan
kebolehan melakukan tawassul kepada selain Rasulullah SAW pernah dilakukan oleh
sahabat Umar ra. Yakni tatkala beliau melakukan shalat Istisqa' (meminta
hujan). Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat :
عنْ أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ - رضى الله عنه - كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا
فَاسْقِنَا . قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخاري)
Artinya
: Dari Anas bin Malik ra. bahwa sesungguhnya apabila terjadi kemarau, Umar bin Khattab ra. meminta hujan dengan perantara Abbas
bin Abdul Mutthalib ra. seraya berdoa : "Ya Allah kami pernah berdoa dan
bertawassul kepadamu dengan Nabi SAW. Lalu engkau
turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan".
Anas berkata, "Maka turunlah hujan kepada kami." (HR. Bukhari)
(Lihat : Shahih al-Bukhary, J.IV/H.191)
Riwayat di atas menunjukkan bahwa sahabat Umar
ra. bertawassul
kepada sahabat Abbas ra. Hal ini menunjukkan bahwa bertawassul kepada selain
Rasulullah SAW itu diperbolehkan. Termasuk juga bertawassul dengan para ulama,
yang keutamaanya juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Tentang
pengertian ulama, Al-Qur'an
menjelaskan:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (فاطر:28)
Artinya
: Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir :28)
Ayat di atas menjelaskan bahwa dari sekian
banyak hamba yang takut kepada Allah
hanyalah ulama. Ar-Razi menafsirkan bahwa besarnya rasa "takut" di sini adalah sesuai dengan
pengetahuannya tentang Dzat yang ia takuti, yakni Allah SWT. Sebab hal ini
tidak terlepas dari pengertian kata ulama' itu sendiri yang memiliki makna
orang-orang yang alim atau mengerti.
Nah, dengan pengetahuan yang ia mengerti inilah rasa
takut kepada Allah muncul. Lebih jauh Ar-Razi menjelaskan bahwa sebaik-baik
orang alim (memiliki pengetahuan) adalah orang yang bila meninggalkan amal maka
dia dicela sebab ilmu yang dia miliki.
Dengan demikian, pengertian ulama adalah orang yang
memiliki pengetahuan yang diamalkan untuk kebaikan karena rasa takutnya kepada
Allah SWT semata. (Lihat : Tafsir ar-Razi J.XII/h.474)
Bagaimanakah cara bertawassul? Apakah melakukan tawassul
itu syirik?
Sebelum menghukumi tawassul, mari kita perhatikan
pengertian syirik. Syirik adalah menjadikan sesuatu sebagai bandingan terhadap
Allah dan menyembah selain-Nya. Seperti menyembah batu, kayu, matahari, raja,
dan lain sebagainya. (Lihat : al-Kaba’ir, h.8)
Sedangkan definisi tawassul sebagaimana dijelaskan di
atas adalah menjadikan seseorang sebagai perantara dalam usaha untuk memperoleh
kedudukan yang tinggi di sisi Allah atau untuk mewujudkan keinginan dan
cita-citanya.
Dengan demikian, orang yang melakukan tawassul tidak bisa
digolongkan kepada orang yang syirik apalagi kafir. Sebab orang yang
bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau
suatu benda.
Cara melakukan tawassul, salah satunya adalah dengan
mengucapkan kalimat :
أَلَّلهُمَّ إِنِّيْ أَسْئَلُكَ بِنَيِّكَ مُحَمَّدٍ فِي
كَذَا....
atau
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْئَلُكَ بِحَقِّ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ
عَلَيْكَ فِي كذا..
Penting
dicatat bahwa dalam hal ini kita menjadikan Rasulullah SAW sebagai perantara
kita dalam berdoa. Bukan justru kita meminta kepada beliau. Sebab hal ini haram
bahkan termasuk syirik. Sebab
tidak ada dzat yang berhak disembah dan diminta karunianya, selain Allah
Azza wa Jalla.
Sekian. Semoga
bermanfaat.
No comments:
Post a Comment