Misi dari gerakan wahabi sebenarnya hanya satu, yaitu memecah umat
islam. Dalam sepak terjangnya, wahabi berkilah dengan segala cara.
Hadits dimanipulasi, kitab-kitab ahlus sunnah banyak yang dirubah, semua
itu sebenarnya tak lain lagi hanya untuk menyokong gerakan mereka.
Namun kami selalu yakin bahwa akan selalu ada generasi ahlus sunnah wal
jama'ah yang akan mampu mengoyak dan membongkar kedok mereka, menerobos
tembok-tembok muslihat mereka dengan hujjah yang tak terbantahkan.
Orang yang taqlid kepada madzhab di hukumi kafir. Orang ziarah kubur
dibilang kafir. Tawassul syirik. Istighotsah juga syirik. Ini kafir dan
itu kafir. Intinya, yang tidak sefaham dengan wahabi, dibilang kafir dan
halal darahnya. Bahkan, dalam rangka me-naik daun-kan gerakannya,
mereka tak segan-segan mengatakan bahwa sayyidah hawa, ibu seluruh
manusia adalah musyrik. Mereka juga mengatakan bahwa sahabat nabi, ibnu
abbas R.A adalah sesat. Tidak percaya??? silahkan anda lihat sendiri
dalam kitab mereka semisal : Al-dien Al-kholish, Kaifa Nafham Al-tauhid
dan lain-lain. Tiap ada hadits yang tidak mereka sukai, mereka akan
berkata : " Haditsnya dhaif ".
Kali ini kita akan membahas tentang hadits " Ya Muhammad", yaitu hadist
shohih yang di-dhaif-kan oleh wahabi. Kaum Wahabi berpandangan bahwa
istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih
yang sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam.
Na’udzu billah min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi
sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat.
Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah adalah
hadits mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf
ini tidak menyenangkan bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak
keshahihan hadits tersebut secara tidak ilmiah, dan bahkan sebagian
mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Imam
al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji hadits
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari
meriwayatkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ:
اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا
نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa suatu
ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir
mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!”
Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau
sembuh.”
Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.
Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari
Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab
al-Mufrad, [964, h. 346]).
Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari
Abdurrhman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d
(al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim
al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa
al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq,
[XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).
Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin
Hanasy. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa
al-Lailah, [170, h. 115]).
Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari
Abi Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa
al-Lailah, [168, h. 114]).
Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang
mendengar Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi
(Gharib al-Hadits, [h. 674]).
Derajat Hadits
Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad,
[964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan
al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad
al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan
al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq
mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman bin
Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan
Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas
bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim
al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib,
[h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik
(kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah
“Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati
rasa.
Bersama Kaum Wahabi
Hadits shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang
kebolehan istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis
keshahihan hadits tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak
keshahihan hadits di atas, kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran.
Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali – dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -,
yang menolak hadits di atas, dengan alasan hadits tersebut diriwayatkan
melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang sangat lemah. Tentu saja,
kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini karena keawamannya
dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih, yang
diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak
segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena
telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas.
Kedua, kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha
merekayasa kedha’ifan hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang
akan kita layani. Dalam mengomentari hadits di atas al-Albani berkata
dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:
ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤)
وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا
وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ
اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ كُلِّ الرِّوَايَاتِ
عَنْهُ
Hadits dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad
(964) dan Ibnu al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah
oleh al-Nasa’i. Jadi illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada
Abu Ishaq, karena faktor ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis
(menyamarkan riwayat). Ia telah meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai
redaksi “dari”) dalam semua riwayat.” (Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib,
h. 173).
Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan
kedhaifan hadits tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin
Abdullah al-Sabi’i, yang 1) ikhtilath, dan2) melakukan tadlis
(menyamarkan riwayat).
Alasan Ikhtilath
Sekarang kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang
menjadi alasan Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas.
Pertama, seputar faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan
yang perlu dikemukakan di sini adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu
Umar tersebut dengan alasan ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i?
Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga alasan:
Pertama, alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu
Ishaq al-Sabi’i menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami
ikhtilath, seperti riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy
dan Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq
setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan hadits Ibnu Umar tersebut juga
diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum Abu Ishaq
mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya mengomentari
riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy dalam
al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan
komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab
al-Mufrad karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya
mengalihkan pembaca agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang
dimungkinkan dilakukan pendha’ifan karena faktor ikhtilath-nya Abu
Ishaq. Sedangkan, riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak
mungkin didha’ifkan dengan dalihikhtilath. Di sini jelas sekali nilai
kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu hadits.
Kedua, seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin
Hanasy menerima hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath,
para ulama ahli hadits justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi
ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh
al-Dzahabi berkata:
عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ
التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ
وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ
Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di
Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan
tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).
Pernyataan al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.
Al-Hafizh al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para
perawi tsiqah yang dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak
(harus diterima). Dalam hal ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya,
al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum sebagai
berikut:
أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.
Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami
masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath).
(Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la
Yujibu Raddahum, [h. 203]).
Seandainya klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama
memasukkan ikhtilath-nya Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama,
yaitu ikhtilath yang tidak menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan
tidak menurunkan martabat perawi, adakalanya karena masa ikhtilath-nya
yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya karena ia tidak meriwayatkan
hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga haditsnya selamat dari
kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:
وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ
أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى
أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ
الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ
Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan
tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu
Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath
dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh
al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).
Berdasarpan paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum
Wahabi seperti al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan
ikhtilath, tidak dapat diterima, karena para imam tidak mempersoalkan
ikhtilath yang dinisbatkan terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu
Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu
Ishaq mengalami ikhtilath.
Alasan Tadlis
Setelah kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang
kita mengkaji penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan
alasan kedua, yaitu faktor tadlis.
Secara kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah
perawi yang melakukantadlis. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, tadlis
terbagi menjadi dua. Pertama) penyamaran sanad atautadlis isnad, yaitu
seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa, dengan
mengesankan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut darinya, padahal
ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti dengan berkata “fulan
berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya.
Kedua, penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya
dengan nama, kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang
lain.
Yang menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah
tadlis bagian pertama, yaitutadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah
al-hadits diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila
dalam periwayatannya tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara
langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal.
Apabila ia menjelaskan bahwa ia mendengar secara langsung dari guru yang
disebutkannya, maka riwayatnya diterima dan dijadikan hujjah. Dalam
konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi mudallis (melakukan penyamaran
sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa riwayatnya ia terima secara
langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal
dan lemah.
Pertanyaannya di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi
yang mudallis, lalu dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara
mu’an’an, maka dapatkah hadits di atas dinilai dha’if? Jawabannya,
hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if, karena kelemahan riwayat Abu
Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah diselamatkan oleh riwayat
Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah berkata:
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ:
كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ
وَقَتَادَةَ
(الحافظ محمد بن طاهر المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ ابن حجر، النكت على مقدمة ابن الصلاح ص/٦٣٠)
Al-Nadhar bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku
cukupkan kalian dari tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan
Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu
Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn al-Shalah, 630]).
Ulama Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:
مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ
السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ
فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ
تَضُرُّ عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ
ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ
عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ
أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ هَذَا مَضْمُوْنُ
كَلاَمِهِ
Soal: Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq
al-Sabi’i? Jawab: Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima
langsung dari gurunya) karena mereka perawi mudallis. Akan tetapi
apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari mereka, maka ‘an’anah mereka
tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata: “Aku cukupkan kalian
dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya. Al-Hafizh Ibnu
Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari, bahwa
riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya
mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi,
[Syarh ‘Ilal al-Hadits, h. 56]).
Paparan di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq
al-Sabi’i yang dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari
kelemahan karena faktor tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah
meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas melalui dua
jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i.
Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:
) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى إٍسْحِاقَ عَمَّنْ
سمِعَ ابن عُمَرَ قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ
النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲) حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ يُونُسَ
حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ
سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ :
مَالِرِجْلِكَ ؟ قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ
النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.
1) Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami
Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang
tersebut berkata: “Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.” Lalu dikatakan
kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar berkata:
“Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah
bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin
Sa’ad: “Aku mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku
berkata: “Ada apa dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku
berkata: “Panggil orang yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya
Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan kakinya.” (Al-Imam al-Harbi,
[Gharib al-Hadits, h. 673-674]).
Dalam riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar,
melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan
demikian, hadits Ibnu Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan
alasan tadlis-nya Abu Ishaq. Hadits tersebut harus dikatakan shahih
sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang berlaku.
Di sini ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, mungkin kaum Wahabi
akan menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi
mubham (tidak jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai
shahih. Gugatan tersebut dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam
riwayat Syu’bah di atas telah dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu
riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib al-Haditsmelalui jalur Zuhair, dan
riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad melalui Sufyan al-Tsauri,
bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad, perawi yang
dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama menjelaskan
kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang
menjelaskan namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]).
Oleh karena itu, setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi
menceritakan riwayat Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam
riwayat Syu’bah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad.
Kedua, mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan
hadits tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath.
Gugatan ini dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan
dikuatkan dengan riwayat Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits
tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Dengan demikian,
periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelahikhtilath dapat diselamatkan
dari kelemahan.
Berdasarkan paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa
semua argumen kaum Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA
di atas tidak proporsional dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhu di atas adalah hadits shahih tanpa keraguan
berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli
hadits. Wallahu a’lam.
Tks atas ilmunya,,,,
ReplyDeletemakasi udah share ilmu......
ReplyDeletethanks......
ReplyDelete