Saturday 25 February 2012

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid  walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.

Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat

Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:


مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Imam Syafi’i (150 – 204 H)


Imam Syafi’i (150 – 204 H)
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. (767 M) di Ghaza, Palestina, dan meninggal dunia pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab 204 H (20 Januari 820M) di Pusthat, Mesir.
Para penulis biografi Imarn Syafi’i sepakat mengenai tahun kelahirannya, dan pada tahun itu pula Imam Abu Hanifah wafat di Bagdad. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tempatnya. Ada tiga nama tempat atau daerah yang disebut-sebut, yaitu Ghazza(h), ‘Asqalan, Yaman. Ghazzah dan ‘Asqalan kebetulan

Tuesday 21 February 2012

Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih?!


Sebagian kawan kita yang menyatakan Allah berada di langit atau bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog dengan Rasul Saw.. Dalam hadits tersebut  Rasul Saw. melakukan dialog untuk mengetahui keimanan atau indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang dimaksud sudah beriman atau belum? Budak dimaksud apakah telah memenuhi persyaratan untuk bisa menjadi kafarah, berupa pembebasan seorang budak beriman bagi muslim yang melanggar perbuatan tertentu di dalam syariat atau tidak?!

Monday 20 February 2012

Apakah mungkin Allah tidak berada di langit dan Allah tidak bertempat???

Barangkali saat ini masih ada yang bingung dengan keberadaan Allah. Merekapun bertanya dimana sich Allah sebenarnya? Kok kita punya Tuhan yang Maha Segala-galanya, tapi keberadaanNya tidak diketahui?! Sehingganya merekapun kadang berkomentar, “Tidak bisa dipahami bahwa ada yang maujud tapi tidak menempati satu tempat pun?”

Sebelum menjawab pertanyaan mereka, mari kita renungi dua ayat berikut:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa Allah berbeda dengan makhluqNya.

Memahami Allah Istiwa` Di atas `Arsy

Barangkali ada yang yang menduga bahwa saya tidak mengimani istiwa`.  Pada tulisan ini saya tegaskan bahwa mazhab Asyairah adalah mazhab yang mengakui segala sifat Kamal (kesempurnaan) bagi Allah dan menafikan  (mengingkari) segala sifat lemah dan aib bagi Allah.

Dalam masalah istiwa  mazhab kami, mazhab `Asyairah menyatakan:

Benarkah Al Qur`an menyatakan Allah berada di langit atau diatas `Arsy?!


Jikalau sebagian kawan-kawan ketika mendakwa bahwa Al Quran menyatakan bahwa Allah berada di atas arsy dan atau diatas langit. Dakwaan mereka bermula dari pemahaman tekstual terhadapi QS: Thaahaa: 5
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”
dan ayat semisalnyal, kemudian menyimpulkan bahwa Allah berada di atas `arsy atau berada di atas langit. Jikalau demikian titik tolok memahaminya, mari kita perhatikan sebagian ayat-ayat Al Qur`an di bawah ini dan kita pahami secara tekstual juga. Apakah ayat-ayat berikut singkron dengan pemahaman mereka atau justru terjadi kotradiktif:

1.    QS: An Nahal: 128:

إِنَّ اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
2.    QS: Al Ankabut: 69

وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Jika kita lihat 2 ayat di atas secara tekstual, maka akan kita pahami bahwa Allah secara Zat bersama mereka yang bertaqwa dan berbuat baik. Berarti Allah turun dari `arsy?!
3.    QS: Al Hadid: 4

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاء وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
Pada satu ayat yang sama Allah menyatakan bahwa Allah berada di atas `arsy dan di akhir ayat Allah menyatakan bahwa Allah berada bersama hambaNya di mana saja hambaNya berada.
4.    QS; Al Mujadilaah: 7

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada.
Jikalau kita pahami secara tekstual Allah adalah ke 4 diantara 3 orang dan Allah adalah yang ke 6 diantara 5 orang yang berbicara. Dan Allah bersama mereka dimana saja mereka berada.
5.    QS: Al Baqarah: 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
6.    QS: Qaaf: 16

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,
7.    QS: Al Waqi`ah: 85

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لَّا تُبْصِرُونَ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat,
Jikalau kita pahami secara tekstual 3 ayat di atas, maka Allah sangat dekat sekali dengan kita, bagaimana mungkin berada di atas `arsy yang jauh dari kita, bahkan kita tidak tahu `arsy itu sendiri dimana. Langit itu sendiri entah dimana, yang jelas nun jauh lebih jauh dari pandangan mata kita!
8.    QS:Al An`am: 3

وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ
Dan Dialah Allah, baik di langit maupun di bumi;
9.    QS: Al Zukhruf: 84

وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاء إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
Dan Dia-lah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Bukankah dua ayat di atas menjelaskan bahwa Allah ada di langit dan di bumi, bukan hanya di langit saja atau di atas `arsy!
10.    QS: Al `Alaq: 19

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan),
Bukankah Allah menyuruh kita bersujud kemudian mendekat kepada Nya?! Apakah mungkin kita disuruh sujud dan disuruh mendekat sementara Allah jauh di atas arsy atau di atas langit?!
11.    QS: Maryam: 52

وَنَادَيْنَاهُ مِن جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ
Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur
12.    QS: Al Qashash: 30

 نُودِي مِن شَاطِئِ الْوَادِي الْأَيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَن يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam,
Pada dua ayat di atas dari mana kah Allah menyeru Nabi Musa?! Apakah Allah menyeru dari langit atau dari aats `arsy?!
13.    QS: Al Baqarah: 115

فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ
Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Kemanapun kita menghadap, ada Allah, kita mendapatiNya selalu, bukan hanya saat menengadahkan tangan ke langit!
14.    QS: Al Ra`d: 2

اللّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Di ayat ini baru dijelaskan bahwa Allah berada di atas arsy.
Kesimpulan
Jikalau ayat-ayat diatas dipahami keseluruhan secara tekstual, maka akan kita pahami bahwa kebanyakan ayat justru menjelaskan Allah berada di bawah, di alam ini, bukan berada di atas langit atau di atas `arsy. Meskipun sebagiannya tetap menegaskan Allah berada di langit. Ini artinya secara sekilas nampak kotradiktif tentang tempat keberadaan Allah sesungguhnya. Saya yakin sahabat-sahabat saya tidak akan mengambil sebagian ayat al Qur`an dan mengabaikan sebagian yang lain. Karena ini bukan ciri-ciri seorang muslim yang baik, apalagi dikatakan sebagai manhaj salaf!
Saya juga yakin, bahwa kita tidak akan mengambil makna secara zahirnya (makna yang langsung di pahami dari lafaz), karena akan menyebabkan kita menyatakan Allah berada pada beberapa tempat yang disebutkan oleh ayat. Berarti tidak ada jalan lain selain;
1. Tafwidl (takwil ijmaly/global), mengimani bahwa apa yang disampaikan oleh Allah dan Rasul Saw adalah haq, makna yang mereka maksudkan adalah haq, dan kita tidak memaksa diri untuk mengetahuinya secara rinci, namun kita mesti menafikan makna yang dipahami secara langsung dari tekstual.
2. Takwil tafshily (takwil secara rinci), memahami setiap nash yang bermakna ambigu untuk Al Khaliq dan makhluq, dengan makna yang sesuai dengan bahasa arab dan sifat yang layak bagi Allah. Karena setiap nama berasal dari bahasa atau langsung dari syariat.
Tentu saja kita tidak akan melakukan takwil kepada sebagian ayat dan menghalangi sebagian ayat sesuai dengan kehendak kita.
Menurut Ibnu Al Jauzy di dalam kitab Daf`u Syubhatu Al Tasybih, kesalahan kelompok musyabihhah dan mujassimah dalam memahami sifat khabariyah, seperti tentang istiwa` , disebabkan karena;
1. Mereka menamakan khabar-khabar dengan khabar sifat, padahal realitanya hanyalah sebagai idhafat (penyandaran). Secara kaidah dijelaskan bahwa tidak semua idhafah bermakna sifat. Perhatikanlah Allah berfirman :
ونفخت فيه من روحى
“Aku meniupkan kepadanya ruhKu”
Di sini jelas bahwa ada idhafah Allah dengan ruh. Akan tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat ruh.
2. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan adalah hadits mutasyabihat, yang tidak diketahui makna dan maksudnya kecuali oleh Allah. Namun kemudian mereka menafsirkannya dengan makna yang zhahir! Sangat mengherankan sekali, hal yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, akan tetapi zhahir bagi mereka! Bukankah makna zhahir dari kalimat استواء (bersemayam) kecuali bermakna القعود (duduk) ?! dan kalimat النزول (turun) tidak dipahami, kecuali bermakna الانتقال (perpindahan) ?!
3. Mereka kemudian menetapkan pelbagai sifat bagi Allah, sedangkan sifat yang layak bagi Allah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang layak untuk Zat Allah, yang bersifat qath`iy.
4. Di dalam masalah istbat  (mentapkan sifat), mereka tidak bisa membedakan, bahwa khabar ada yang bersifat khabar masyhur seperti:
ينزل تعالى الى سماء الدنيا
Allah turun ke langit dunia
Dan ada khabar yang tidak sahih, seperti: hadits  رأيت ربى فى أحسن صورة .
Aku melihat Tuhanku pada sebaik-baik bentuk.
Akan tetapi mereka justru menetapkan sifat bagi Allah dengan hadits masyhur dan hadits yang tidak sahih ini!
5. Mereka tidak bisa membedakan antara hadits yang marfu`  (bersambungan sanad) kepada Rasul Saw., dan hadits yang mauquf (terputus sanad hanya sampai) kepada sahabat dan tabi`in, namun mereka menetapkan sifat dengan kedua hadits tersebut.
6. Mereka mentakwil sebagian lafaz pada tempat-tempat tertentu, seperti hadits:
ومن أتانى يمشى اتيته هرولة
Dan barangsiapa yang mendatangi Ku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berlari.
Mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah untuk menunjukkan makna Allah memberikan nikmat. Anehnya mereka tidak melakukan takwil pada tempat yang lain?!
7. Mereka memahami hadits-hadits berdasarkan pemahaman indrawi, oleh karena itu mereka berani mengatakan: “Allah turun dengan zatNya dan berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain”, kemudian mereka mengatakan “bukan sebagaimana yang difikirkan!” Mereka justru sudah duluan memikirkan dan membuat bingung orang-orang yang mendengar pernyataan mereka serta melumpuhkan indra dan akal mereka.
Wallahu a`lam

Saturday 18 February 2012

Aqidah Dasar Yang Terkandung Dalam Kalimat Syahadat


Kaligrafi
Kaligrafi
Wajib bagi semua mukallaf untuk memeluk agama Islam, meyakininya untuk selamanya dan melaksanakan segala hukum-hukum yang diwajibkan atasnya. Di antara hal yang wajib diketahui dan diyakini secara mutlak, dan wajib diucapkan seketika jika memang dia (mukallaf) kafir, atau jika tidak (ia bukan seorang kafir) maka wajib mengucapkannya dalam shalat, adalah dua kalimat syahadat: Makna ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH : aku mengetahui, meyakini dan mengakui (dengan ucapan) bahwa tidak ada yang disembah dengan hak (benar) kecuali Allah, yang Esa,tiada sekutu bagi-Nya, tidak terbagi-bagi, tidak bermula, tidak didahului dengan ketiadaan, Maha Hidup, tidak membutuhkan kepada yang lain, tidak berakhir, Maha Pencipta, Pemberi rizki, Maha mengetahui, Maha Kuasa, yang mudah bagi-Nya melakukan segala apa yang Ia kehendaki. Segala apa yang Ia kehendaki terjadi dan segala apa yang tidak Ia
kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada daya untuk menjauhi perbuatan dosa kecuali dengan pemeliharaan-Nya, dan tidak ada kekuatan untuk berbuat ta’at kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-
Nya. Allah memiliki segala sifat kesempurnaan yang layak bagi-Nya dan Maha Suci dari segala kekurangan bagi-Nya.
Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Hanya Allah yang tidak memiliki permulaan (Qadim), segala sesuatu selain-Nya memiliki permulaan (Hadits-baharu). Dia-lah sang Pencipta,segala sesuatu selain-Nya adalah ciptaan-Nya (makhluk). Segala yang ada (masuk ke dalam wujud),benda dan perbuatannya, mulai dari (benda yang terkecil) dzarrah hingga (benda terbesar) ‘Arsy, segala gerakan manusia dan diamnya, niat dan lintasan fikirannya; semuanya itu (ada) dengan penciptaan Allah, tidak ada yang menciptakannya selain Allah,bukan thabi’ah (yang menciptakannya) dan bukan pula ‘Illah. Akan tetapi segala sesuatu tersebut masuk pada keberadaan (ada) dengan kehendak Allah dan kekuasaan-Nya, dengan ketentuan dan ilmu-Nya yang azali (yang tidak bermula),
sebagaimana firman Allah:”Dan Allah menciptakan segala sesuatu”(Q.S. al Furqan: 2)
Artinya Allah mengadakannya dari tidak ada menjadi ada.
Makna (Khalaqa) demikian ini tidak layak
bagi siapapun kecuali hanya bagi Allah.
Allah berfirman:Maknanya: “Tidak ada pencipta selain Allah” (Q.S.Fathir: 3)
“Apabila seseorang melempar kaca dengan batu hingga pecah, maka
lemparan, hantaman batu dan pecahnya kaca
semuanya adalah ciptaan Allah. Jadi seorang hamba hanyalah melakukan kasb. Adapun penciptaan hanya
milik Allah,
Allah berfirman:”Bagi setiap jiwa (balasan baik dari) kebaikan yang ia lakukan dengan kasabnya dan atas setiap jiwa
(balasan buruk atas) keburukan yang ia lakukan” (Q.S. al-Baqarah: 286)
Kalam Allah (sifatNya bukan lafaz Al-quran) Qadim (tidak bermula) seperti seluruh sifat-sifat-Nya. Karena Allah tidak menyerupai semua makhluk-Nya, baik pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
Allah Maha Suci dari apa yang dikatakan orang-orang zhalim (orang kafir)dengan kesucian yang agung.
Kesimpulan dari makna (syahadat pertama) ini adalah ketetapan adanya tiga belas sifat bagi Allah,
yang sering terulang penyebutannya dalam al Qur’an,baik dengan lafazh maupun maknanya saja. Yaitu: al Wujud (Allah ada), al Wahdaniyyah (tidak ada sekutu
bagi-Nya pada dzat, sifat dan perbuatan-Nya), al Qidam(tidak bermula), al Baqa (tidak berakhir), Qiyamuhu bi nafsihi (tidak membutuhkan kepada yang lain dan segala sesuatu membutuhkan kepada-Nya), al Qudrah (Maha Kuasa), al Iradah (berkehendak), al ‘Ilm (mengetahui segala sesuatu), as-Sam’u (mendengar segala sesuatu), al Bashar (melihat segala sesuatu), al Hayat (yang maha hidup), al Kalam (berbicara dengan kalam yang bukan huruf, suara dan bahasa),
Mukhalafatuhu li al hadits (tidak menyerupai segala yang baharu). Karena sifat-sifat
ini banyak penyebutannya dalam teks-teks syari’at,
para ulama mengatakan: Wajib atas setiap Mukallaf (Wajib ‘Aini) untuk mengetahuinya/mengimaninya.
Dan karena Dzat Allah adalah Azali (tidak bermula), maka demikian pula sifat-sifat-Nya pasti (wajib) Azali, karena kebaharuan sifat suatu dzat melazimi kebaharuan dzat tersebut.
Makna ASHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH
“Aku mengetahui, meyakini dan mengakui (dengan ucapan) bahwa Muhammad ibn ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn ‘Abd Manaf al Qurasyi (dari kabilah Quraisy) shallallahu ‘alayhi wasallam adalah hamba Allah dan utusan-Nya kepada segenap makhluk. Dan bahwa Sayyidina Muhammad SAW lahir dan diutus
(menjadi seorang Nabi dan Rasul) di Makkah, hijrah ke Madinah dan dimakamkan di sana”.
Termasuk cakupan makna syahadat kedua ini,meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW jujur dalam segala
berita yang ia bawa dan sampaikan dari Allah. Di antaranya : (adanya) siksa dan nikmat kubur,pertanyaan dua malaikat; Munkar dan Nakir, al Ba’ts(dibangkitkannya semua orang mati), al Hasyr (saat dikumpulkannya makhluk di suatu tempat), al Qiyamah (hari kiamat), al Hisab (perhitungan atas segala perbuatan), ats-Tsawab (balasan bagi seorang mukmin yang membuatnya senang), al ‘Adzab (balasan bagi seseorang yang membuatnya sedih dan merugi), al Mizan (timbangan yang memiliki dua neraca; satu untuk kebaikan dan lainnya untuk keburukan), an-Nar (neraka Jahannam), ash-Shirath (jembatan terbentang di atas neraka, satu ujungnya pada bumi yang telah diganti – al Ardl al Mubaddalah- dan ujung lainnya di satu tempat menuju ke arah surga), al Haudl (telaga), as Syafa’ah (Syafa’at), al Jannah (sorga), ar Ru’yah (melihat Dzat Allah –di akhirat kelak– dengan mata kepala dengan tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk, tanpa bentuk, tanpa tempat dan tanpa arah, tidak seperti terlihatnya makhluk), dan kekekalan di dalam surga dan neraka.
Juga beriman dengan para malaikat Allah,para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, ketentuan (al maqdur)- Nya yang baik dan buruk, dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan pemimpin seluruh manusia (keturunan Adam). Wajib berkeyakinan juga bahwa setiap nabi Allah pasti (wajib) memiliki sifat jujur, dapat dipercaya (Amanah) dan cerdas. Mustahil bagi mereka sifat bohong, khianat, ar-Radzalah (terjatuh dalam perbuatan hina), bodoh dan dungu.
Mereka pasti (wajib) terjaga dari kekufuran, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang
menandakan rendahnya jiwa pelakunya, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya. Mereka
mungkin (ja-iz) saja melakukan dosa-dosa kecil (yang tidak menandakan rendahnya jiwa pelakunya),
namun mereka diingatkan langsung untuk taubat sebelum dosa-dosa tersebut diikuti oleh orang lain.
WA BILLAHIT TAUFIQ WAL HIDAYAH

TAUHID IMAM ABU HANIFAH


Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna “Istawa”, beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..
Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:
“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah…
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, …
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, –di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia–,…
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.
Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”.
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).
Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:
“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.
Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).
Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:
Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.
Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.
Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).
Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99).
Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).
Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.
Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409).
Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433).
Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).
Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.
(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah.
(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah…” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah…” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah…” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).
Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini:
“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).
Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).
Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).
Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).
Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Monday 13 February 2012

MEMAHAMI AYAT DAN HADITS DENGAN ILMU ALAT, WAJIBKAH ?

Sebelum saya memberikan kesimpulan tuntas atas permasalahan furu’ yang masih dipersoalkan oleh kawan-kawan salafi wahhabi yaitu tentang hukum sholat di dalam masjid yang ada makamnya,walaupun saya sudah membuat pembahasan tersendirinya, maka sangatah penting saya menjelaskan tentang urgenitasi memahami nash ayat atau hadits dengan tuntunannya yaitu ilmu kaidahnya.
Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya. Terutama ilmu Nahwu, shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“ Sesungguhnya kami menurunkannya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti “ (QS; Yusuf : 2)
Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tsb sebagai berikut :
وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات ،
“ Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh bahasa, paling jelas dan luasnya.  Dan paling banyak membawa makna-makna yang sesuai kalimatnya. Oleh karena itu Allah menurunkan paling mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa “.
Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran yang penuh makna hikmah dan mu’jizat dengan jalan tuntunannya yaitu tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang berkaitan dengannya seperti :
1. Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)
2. Ilmu qiraat
3. Ilmu naskhil utsmani
4. Ilmu tafsir
5. Ilmu nasikh wal mansukh
6. Ilmu ghoribil quran
7. Ilmu i’jazil quran
8. Ilmu i’rabil quran
9. Dan selainnya yang berkaitan
Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
“ Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya “.
Maka bermunculan lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari pemahaman yang sebenarnya. Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid pada pemahaman ulama salaf. 
Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelajari bahasa arab ??
Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab pada al-Quran itu sendiri. Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz per lafadznya saja tanpa menjelaskan maksudnya. Nah maksud dar ayat al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang berkaitan dengannya. Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.
Dan kitab-kitab tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang berkompeten di bidangnya. Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab), membutuhkan penerjemahannya ke dalam bahasa masing-masing penduduk. Atau mempelajari ilmu bahasa arab untuk mempelajari kitab-kitab tafsir tersebut. Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-benar menguasai ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya. Dan seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.
Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami al-Quran.
Jawabanya :
Rasul Saw bersabda :
تعلموا العربيية وعلموها الناس
“ Pelajarilah bahasa arab dan ajarkanlah ia pada orang-orang “
Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu alat dan ilmu tafsir. Mereka memiliki tahapannya masing-masing.
Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca al-Qurannya. Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran, sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits yang telah di racik oleh para ulama.
Bisa juga melalui pengajian-pengajian, majlis-majlis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.  Ini  mrupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw. Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits. Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makan sndiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.
Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat racun atau unsure ksengajaan untuk mencelakakan org lain.
Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu ainnya, maka ia mnginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya dengan dalil-dalilnya.
Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat. Apalgi yang berhubungan lansgung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya.
Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya agama Islam ini. Karena akan banyak timbul pemahaman-pemahamn keliru, salah bahkan mennyimpang dari maksud yang sebenarnya, maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam aliran-aliran sempalan Islam.
Ibnu Taimiyyah berkata :
ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولو سقط لسقط الإسلام
“ Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tdk mau mempelajarinya), maka akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya pemhaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam “
Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini, sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya. Berikut pendapatnya :
واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكن وعلى هذا كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربية لا مع القدرة و لا مع العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون  هو القرأن المنزل
“ Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini tidaklah mungkin bisa dilakukan. Oleh karena itu para imam Agama berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya. karena yang demikian itu akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya “
Umar bin Khoththob Ra berkata :
تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران
“ Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran “.
Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan “ Wahai Abu Sa’id, seseorang belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara bicaranya dan bacaan qurannya? Maka Hasan menjawab :
حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجهها فيهلك فيها
“ Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarilah bahasa arab, karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya maka dia celaka di dalamnya “.
Dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :
من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين
“ Brangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajari al-Quran “
Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :
يعني اصول العلم
“ Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) “. (Zubdatul itqan; 143)
Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :
Contoh pertama;
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira  dengan apa yang telah mereka kerjakan  dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang pedih “. (Al-Imran : 188)
Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas karya kita.
Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari dan Muslim berikut :
“ Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya dan member tahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah memberitahukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu “. (HR. bukhari dan Muslim)
Contoh kedua :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
“ Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentng apa yang mereka makan “ (Al-Maidah : 93)
Dengan ayat ini Utsman bin Madh’un dan Amr bin Ma’ad berkata “ Khomr itu mubah bagi kita “
Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab nuzulnya yaitu “ Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan “ Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum khomr ?” Maka turunlah ayat tsb. Artinya Allah memaafkan perbuatan yang dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkannya pelarangan khomr.
Contoh ketiga :
افرايت من اتخذ الهه هواه
“ Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya / keinginannya ? ” (Al-Furqan : 43)
Ayat tsb jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya. Artinya tidaklah mengapa menjadikan Tuhan sebgai keinginannya dan ini hal terpuji.
Namun maksud ayat tsb bukanlah demikian, maka ayat tsb mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :
افرايت من اتخذ هواه الهه
“ Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? ”
Inilah maksud yang sebenarnya. Lafadz ilahahu mrupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.
Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya. Demikian pula dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah dari ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesempurnaan bahasa.

Nur Muhammad Menurut Ahlusunnah dan Ibnu taymiyah

بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم
Nur Muhammad Menurut Al-qur’an & Hadits
Adapaun mengenai konsep nur muhammad dijelaskan sebagai berikut :
A. Ayat-ayat Al-qur’an dalil tawassul dan Nur Muhammad
1. Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah swt. berfirman:

“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad saw.) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhammad saw.) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
2. Dalam surat  Al-Maidah ayat 35:

‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….”
Keterangan :
Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:
“Mencari washilah atau bertawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya. Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak. Bagi setiap muslim, tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) ummat manusia.
Beliau saw. adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong ummatnya masing-masing. Muhammad Rasulallah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw. lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada beliau saw. Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.
Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri, sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul sedemikian itu di- benarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin sepen- dapat.”
3. Dalam Surat Al-Baqarah :37, mengenai Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.:


فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Keterangan :
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw..  Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) diatas. Menurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib,  oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada  cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:
وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ النَّـارَ
‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.
Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits lagi yang olehnya dijadikan dalil. Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan sebagai berikut :
قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَما وَا تٍ,
وَ خَلَقَ العَرْشَ كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ اللهِ  خَاتَمُ الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي أسْكَـنَهَا
آدَمَ وَ حَوَّاءَ فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ
تَعَالَى نَظَرَ إلَى العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ  تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِإسْمِي عَلَيْهِ
“Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit, kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muham- mad Rasulallah khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya, dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia. Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka ber- taubat kepada Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.
Sedangkan hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:
لَمَّا أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ, وَمَا مُحَمَّدٌ ؟
وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي وَرَفَعْتُ رَأسِي إلَى عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ
لإلَهِ إلااللهُ مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ ,
وَهُوَ آخِرُ الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.
Yang lebih heran lagi dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan dan di benarkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi beliau ini belum yakin bahwa hadits-hadits tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah saw.. Namun Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap sementara golongan yang meng- anggap makna hadits tersebut bathil/salah atau bertentangan dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak pada tempatnya. Ibnu Taimiy yah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata sebagai berikut:
“Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang terkemuka, manusia yang paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena itulah ada orang yang mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam semesta, dan ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah swt. tidak menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah), tidak menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu bukan ucapan Rasulallah saw, bukan hadits shohih dan bukan hadits dho’if, tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya sebagai ucapan (hadits) Nabi saw. dan tidak dikenal berasal dari sahabat Nabi. Hadits tersebut merupakan pembicaraan yang tidak diketahui siapa yang mengucapkannya. Sekalipun demikian makna hadits tersebut tepat benar dipergunakan sebagai tafsir firman Allah swt.: “Dialah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa yang ada dilangit dan dibumi ” (S.Luqman : 20), surat Ibrahim 32-34 (baca suratnya dibawah ini–pen.) dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi alam ini untuk kepentingan anak-anak Adam. Sebagai- mana diketahui didalam ayat-ayat tersebut terkandung berbagai hikmah yang amat besar, bahkan lebih besar daripada itu. Jika anak Adam yang paling utama dan mulia itu, Muhammad saw. yang diciptakan Allah swt. untuk suatu tujuan dan hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan dan kesempurnaan semua ciptaan Allah swt. berakhir dengan terciptanya Muhammad saw.“. Demikianlah Ibnu Taimiyyah.
Firman-Nya dalam  surat Ibrahim 32-34 yang dimaksud Ibnu Taimiyyah ialah:
اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرْضَ وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً َفاَََخْرَجَ بِهِ
مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى البَحْرِ بِاَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ
الاَنْهَارَ َوَسَخَّرَ  لَكُمُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَآتَاكُمْ مِنْ
كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْه وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا اِنَّ الاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia telah menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi kalian. Dan Dia jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya masing-masing dan telah menundukkan bagi kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan kepada kalian apa yang kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat mengetahui berapa banyaknya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.(QS Ibrahim :32-34). DAPAT DISIMPULKAN JUGA BAHWA IBNU TAYMIYAH MENGAKUI KONSEP “NUR MUHAMMAD” BAHWA NUR NABI MUHAMMAD ADALAH MAKHLUQ YANG PERTAMA KALI DICIPTAKAN. Dan perhatikan kebiasaan buruk dan kedustaan ibnu taymiyah (mati 721 H)  yang mengatakan “tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya” padahal imam Thabrani (wafat 360 H) menulisnya dalam al -ausath, Abu Nu’aim (wafat 430 H)  dalam Dala’ilun Nubuwwah dsb.


B.  Kitab “al-Wafaa bi ahwaalil Musthofa s.a.w.” (Ibnu Qudamah al-Maqdisy 509 H)
Imam ‘Abdur Rahman bin ‘Ali yang terkenal dengan nama Imam Ibnul Jawzi ulama besar bermazhab Hanbali yang dilahirkan pada tahun 509/510H di Baghdad. Beliau adalah pengarang dan daie yang terkenal yang banyak menyedarkan umat serta ramai yang memeluk Islam di tangannya. Beliau adalah guru kepada Ibnu Qudamah al-Maqdisy yang masyhur itu.Tersebutlah dalam karya beliau yang berjodol “al-Wafaa bi ahwaalil Musthofa s.a.w.” akan kisah penciptaan Junjungan Nabi s.a.w. yakni penciptaan benih asal jasad baginda s.a.w. Kisahnya adalah sebagai berikut:-
عن كعب الأحبار قال: لما أراد الله تعالى أن يخلق محمداً صلى الله عليه وسلم أمر جبريل عليه السلام أن يأتيه فأتاه بالقبضة البيضاء التي هي موضع قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم، فعجنت بماء التَّسْنيم، ثم غمست في أنهار الجنة، وطيف بها في السموات والأرض، فعرفت الملائكة محمداً وفَضْله قبل أن تعرف آدم، ثم كان نور محمد صلى الله عليه وسلم يُرى في غُرَّة جبهة آدم. وقيل له: يا آدم هذا سيد ولدك من الأنبياء والمرسلين.
فلما حملت حواء بشيت انتقل عن آدم إلى حواء، وكانت تلد في كل بطن ولدين إلا شيتاً، فإنها ولدته وحده، كرامة لمحمد صلى الله عليه وسلم. ثم لم يزل ينتقل من طاهر إلى طاهر إلى أن ولد صلى الله عليه وسلم.
Daripada Ka’ab al-Ahbar: ” Tatkala Allah ta’ala berkehendak untuk menciptakan Nabi Muhammad s.a.w., Dia memerintahkan Jibril a.s. untuk membawakan segenggam tanah putih yang merupakan tanah tempat Junjungan Nabi s.a.w. dimakamkan nanti. Maka diulilah tanah tersebut dengan air Tasniim (air syurga) lalu dicelupkan ke dalam sungai-sungai syurga. Setelah itu, dibawakan dia berkeliling ke serata langit dan bumi. Para malaikat pun mengenali Junjungan Nabi s.a.w. dan keutamaan baginda sebelum mereka mengenali Nabi Adam a.s. Ketika nur Junjungan Nabi s.a.w. kelihatan di kening dahi Nabi Adam a.s., dikatakan kepadanya: “Wahai Adam, inilah sayyid (penghulu) keturunanmu daripada para anbiya’ dan mursalin.
Tatkala Siti Hawa mengandungkan Nabi Syits berpindahlah Nur Muhammad tersebut kepada Siti Hawa. Siti Hawa yang biasanya melahirkan anak kembar setiap kali hamil, tetapi pada hamilnya ini dia hanya melahirkan seorang anak sahaja iaitu Nabi Syits kerana kemuliaan Junjungan Nabi s.a.w. Maka sentiasalah berpindah-pindah Nur Muhammad daripada seorang yang suci kepada orang suci yang lain sehinggalah baginda dilahirkan.
C. Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’raawi dalam “Anta tas-al wal Islam yajib”

Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’raawi dalam “Anta tas-al wal Islam yajib” , cetakan Darul Muslim, Qahirah, tahun 1982 / 1402, juzuk 1, mukasurat 41 telah ditanya berhubung an-Nur al-Muhammadiy dan permulaan penciptaan. Soalannya lebih kurang:-
  • Telah warid dalam hadis: “Bahawa Jabir bin ‘Abdullah r.a. telah bertanya kepada Junjungan Rasulullah s.a.w.: “Apa yang awal-awal diciptakan Allah ?”, lalu Junjungan bersabda:”Nur nabimu, wahai Jabir.” Bagaimana disesuaikan/diselarikan hadis ini dengan bahawa seawal makhluk itu Adam dan dia daripada tanah ?
Antara jawapan Syaikh Mutawalli:-
  • Daripada kesempurnaan yang mutlak dan dari segi tabi`ienya, bahawa Allah memulakan penciptaan dengan menciptakan makhluk yang tinggi, kemudian diambil daripadanya akan yang rendah. Tidaklah masuk akal, bahawa diciptakan bahan baku materi / material / unsur tanah (al-maadah ath-thiniyyah) dahulu kemudian baru Dia mencipta daripadanya Muhammad, kerana sesungguhnya insan yang paling tinggi adalah para rasul, dan yang tertinggi daripada mereka adalah Muhammad bin ‘Abdullah.
  • Oleh itu, tidak sah (dikatakan) bahawa diciptakan unsur materi kemudian diciptakan daripadanya Muhammad. Tak dapat tiada bahawa jadilah an-Nur al-Muhammadiy itulah yang wujud dahulu, dan daripada an-Nur al-Muhammadiy timbulnya segala sesuatu, dan jadilah hadis Jabir itu benar……
Jelas daripada jawapan tersebut Syaikh Mutawalli asy-Sya’raawi termasuk ulama yang menerima kebenaran hadis Jabir r.a. Sebenarnya sandaran untuk konsep Nur Muhammad ini bukanlah hanya pada hadis Jabir ini sahaja, tetapi ada lagi hadis-hadis yang dijadikan sandaran. Silalah tuan-tuan rujuk segala kitab karangan ulama kita. Bahkan, jika ada pun yang menolak tsabitnya hadis Jabir, maka tidak bermakna mereka juga menolak konsep Nur Muhammad. Oleh itu selayaknya kita menghormati perbezaan pendapat dengan lapang dada tanpa saling tuduh – menuduh, kerana jari yang kau tuding itu mungkin mencucuk mata para ulama yang kita disuruh memuliakan mereka.
D. Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki rhm. Dalam kitab “al-Fatawa al-Haditsiyyah” mukasurat 206

Ikhwah, aku nukilkan dari karangan-karangan al-Imam al-Faqih, Syaikhul Islam, pemuka ulama Syafi`i mutakhir, Mufti Makkah, sandaran umat, Shohibut Tohfah, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki rhm. Dalam kitab “al-Fatawa al-Haditsiyyah” mukasurat 206 dinyatakan:-
  • (Dan telah ditanyai) akan orang yang mudah-mudahan Allah memanfaatkan dengannya (yakni Syaikh Ibnu Hajar rhm.) mengenai hadis “Seawal-awal yang diciptakan Allah adalah ruhku dan alam keseluruhannya dicipta daripada nurku, setiap sesuatu kembali kepada asalnya”, siapakah perawinya ?
  • (Maka dijawab) dengan perkataannya:- “Aku tidak mengetahui sesiapa yang meriwayatkannya sedemikian. Dan bahawasanya yang diriwayatkan dia ‘Abdur Razzaq adalah bahawasanya Junjungan s.a.w. bersabda bahawa Allah telah mencipta nur Muhammad sebelum segala sesuatu daripada nurNya.”
Imam besar ini juga dalam syarahnya bagi kitab Syama-il menyatakan antara lain:-
  • ….Dan diriwayatkan ‘Abdur Razzaq dengan sanadnya bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersabda: ” Sesungguhnya Allah telah mencipta Nur Muhammad sebelum segala sesuatu daripada nurNya (yakni nur yang dimiliki Allah) lalu dijadikan nur tersebut berputar dengan qudrahNya mengikut kehendak Allah dan belumlah ada pada waktu tersebut loh dan tidak ada qalam”, al-hadis dengan panjangnya (yakni hadis ini ada lagi sambungannya yang panjang………….Maka diketahui bahawasanya seawal-awal sesuatu yang dijadikan secara ithlaq ialah an-Nur al-Muhammadiy, kemudian air, kemudian arsy, kemudian qalam……….
Juga dalam mukhtasar beliau bagi kitab mawlidnya ‘an-Ni’matul Kubra ‘alal ‘alam bi mawlidi Sayyidi Waladi Adam”, beliau menyatakan:-
  • Ketahuilah bahawa Allah ta`ala telah memuliakan nabiNya s.a.w. dengan terdahulu/terawal nubuwwah baginda pada azali lagi. Dan yang sedemikian itu adalah kerana apabila Allah ta`ala berkehendak untuk mewujudkan makhluk, diwujudkanNya (yakni diciptakanNya) al-Haqiqatul Muhammadiyyah dari semata-mata nur sebelum wujud apa-apa ciptaan dari segala makhluk, kemudian diambil daripadanya sekalian alam….

E. Nur Muhammad s.a.w. – 18


Ikhwah, meh kita tengok karangan Tuan Guru Haji Wan Mohd. Shaghir berhubung Nur Muhammad. Aku rekomenkan kat ikhwah agar cari buku “Penutup Perdebatan Islam Alaf Kedua di Dunia Melayu” dan telaahlah dengan teliti. Tuan Guru bukan sahaja cerita pasal Nur Muhammad tetapi juga tentang Martabat Tujuh yang telah ditafsirkan secara songsang oleh geng sebelah. Aku kata jika Nur Muhammad dan Martabat Tujuh seperti apa yang ditafsirkan oleh Dr. Fattah dan geng-gengnya, maka itu memang songsang dan sesat, cuma masalahnya adakah tafsiran dan pemahaman Tuan Dr. tersebut menjadi pegangan para ulama kita ? Atau mereka mempunyai tafsiran yang jauh berbeza dari tafsiran geng-geng tersebut ? Kome kaji le bebetul ye. Seingat akulah, Tuan Guru Haji Daud Bukit Abal pun ada risalah yang membahaskan pegangan atau tafsiran Nur Muhammad yang songsang yang difahami oleh segelintir golongan sesat. Tetapi ini tidak bererti Allahyarham Tuan Guru tersebut menolak konsep Nur Muhammad menurut tafsiran para ulama yang terkemuka. Contohnya mudah sahaja, jika kita tolak tafsiran atau pemahaman rigid puak Wahhabi terhadap Islam atau pemahaman puak Syiah mengenai Islam, bukan ertinya kita menolak Islam, kerana Islam itu bukan semata-mata apa yang ditafsirkan oleh geng anak Pak Wahhab tersebut atau geng Khomeini.
Berhubung Nur Muhammad, Tuan Guru Haji Wan Shaghir membahas dengan panjang lebar, kome carilah bukunya. Antara tulisannya pada halaman 45 – 46 :-
  • ….Beberapa orang ulama dunia Islam yang terkenal di antara mereka ada mencatat sanad yang di dalamnya terdapat nama Syeikh Ibnu Hajar al-’Asqalani. Sanad yang tersebut sampai kepada ‘Abdur Razzaq. Ada sanad ‘am mengenai beberapa bidang keilmuan, dan ada pula sanad khash tentang hadis, termasuk hadis Nur Muhammad. Di antara mereka yang mempunyai sanad kepada Syeikh Ibnu Hajar al-’Asqalani (wafat 852H/1448M) ialah: Syeikh Hasan al-Masyath, Saiyid ‘Ali al-Maliki, Syeikh Muhammad Mahfuzh bin ‘Abdullah at-Tarmasi (1285H/1868M – 1385H/1965M), Syeikh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid Bogor (1278H/1861M – 1374H/1954M), Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani (1272H/1856M – 1325H/1908M), Saiyid Bakri bin Muhammad Zainal ‘Abidin Syatha, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan…..dan lain-lain.
  • Setelah melalui beberapa nama bertemu pada Syeikh ‘Abdullah asy-Syarqawi (1150H/1737M – 1227H/1821M), ia terima dari Syeikh Muhammad bin Salim al-Hifnawi/Hifni (Syaikhul Azhar 1173H/1715M – 1181H/1767M), ia terima dari ‘Abdul ‘Aziz az-Ziyadi, ia terima dari Syeikh Muhammad al-Babili, ia terima dari Syeikh Najamuddin Muhammad al-’Aithi, ia terima dari Qadhi Zakaria al-Anshari, ia terima dari Syeikh Ibnu Hajar al-’Asqalani (773H/1371M – 852H/1448M), ia terima dari Syeikh Abil Faraj ‘Abdur Rahman al-Ghazzi, ia terima dari Abin Nun Yunus bin Ibrahim ad-Dabbus, ia terima dari Abi Hasan ‘Ali, ia terima dari Muhammad bin Nashir as-Salami, ia terima dari ‘Abdul Wahhab bin Muhammad bin Mandah, ia terima dari Abil Fadhal Muhammad al-Kaukabi, ia terima dari Abil Qasim ath-Thabrani, ia terima dari Ya’qub Ishaq bin Ibrahim al-Mirwazi al-Hanzhali, ia terima dari ‘Abdur Razzaq bin Hammam bin Nafi dengan sanad sehingga sampai kepada Jabir bin ‘Abdullah.
Selain menjawab tuduhan puak-puak menentang kewujudan Nur Muhammad, Tuan Guru turut menyenaraikan beberapa nama ulama terkemuka yang membicarakan Nur Muhammad dalam karangan-karangan mereka, antaranya:-
  1. Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani, Sulthanul Awliya`;
  2. Syeikh ‘Abdullah ‘Arif;
  3. Imam as-Sayuthi;
  4. Imam al-Qasthalani;
  5. Imam al-Zarqani;
  6. Sayyidisy Syaikh Ja’far al-Barzanji;
  7. Syaikh Yusuf an-Nabhani;
  8. Syaikh Nawawi al-Bantani;
  9. Syaikh Nuruddin ar-Raniri;
  10. Syaikh ‘Abdur Rauf al-Fansuri / Singkel;
  11. Syaikh ‘Abdus Shomad al-Falimbani;
  12. Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari;
  13. Syaikh Daud al-Fathani;
  14. Tuan Guru Haji Ahmad bin Haji Yusuf bin ‘Abdul Halim Kelantan;
  15. ‘Allamah Abu ‘Abdullah asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilisy;
  16. ‘Allamah Syaikh Muhammad Bashri al-Manzalawi;
  17. Sayyid Utsman bin ‘Abdullah BinYahya;
  18. Syaikh Muhammad bin Ismail Daudi al-Fathani;
  19. Syaikh Zainal ‘Abidin al-Fathani, Tuan Minal;
  20. Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani;
  21. Syaikh Utsman bin Syihabuddin al-Funtiani;
  22. Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Ali Kudus;
Bagi menutup tulisannya, Tuan Guru menyebut:-
  • Perlulah diperhatikan bahawa dari keterangan di atas terdapat tiga buah hadis dari tiga orang sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Mereka ialah: Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib k.w.w.r.a. (wafat 40H/661M), ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. (wafat 68H/687M) dan Jabir bin ‘Abdullah r.a. (wafat 78H/697M). Ada lagi beberapa hadis mengenai Nur Muhammad atau yang sama maksud dengannya, yang berasal dari sahabat yang lain, di antaranya, yang berasal dari: Salman al-Farsi r.a., Abu Zar al-Ghifari r.a., dll, termasuk juga Abu Hurairah r.a.
  • Oleh itu teori para pengkritik hadis Nur Muhammad atau hadis yang sama maksud dengannya, dengan tuduhan melulu dan berbagai-bagai adalah teori yang bersifat khayal.
  • Di antara mereka ada yang mengkhayal bahawa hadis Nur Muhammad adalah doktrin Syi`ah, golongan ini mungkin lebih banyak mempelajari Mazhab Syi`ah atau hidup dilingkungan mazhab itu ketimbang belajar secara mendalam Islam cara tradisional.
  • Yang lain mengkhayal pula, bahawa hadis Nur Muhammad adalah doktrin berasal ajaran Greek ajaran Platonisme, sama dengan yang di atas golongan ini mungkin lebih banyak mempelajari ajaran Greek-Platonisme atau hidup dilingkungan itu ketimbang belajar secara mendalam Islam cara tradisional.
  • Yang lain mengkhayal pula hadis Nur Muhammad adalah doktrin berasal dari ajaran trinitas dalam Kristian.
  • Yang lain pula mengkhayal berasal dari ajaran al-Hallaj, yang lain pula mengkhayal berasal dari Abi Yazid al-Bisthami, dll.
  • Di antara mereka ada menganggap bahawa hadis Nur Muhammad atau hadis yang sama maksud dengannya, adalah hadis maudhu`(hadis palsu). Penilaian mereka juga tidak sepakat atau tidak sependapat kerana selain yang berpendapat hadis maudhu`, dari golongan mereka pula ada yang berpendapat hadis dhaif, dan lain-lain. Sudah maklum bahawa pengertian atau takrif hadis maudhu` dengan hadis dhaif adalah tidak sama. Sesuatu penilaian yang bersifat teori maka bukanlah merupakan hujah atau hukum qath`ie, apatah lagi jika masih terdapat pertentangan atau kontroversi antara yang satu dengan yang lainnya.
  • Oleh itu sekian banyak kitab yang dikarang oleh sekian ramai ulama Ahlis Sunnah wal Jama`ah yang membicarakan hadis Nur Muhammad atau hadis yang sama maksud dengannya, perlu mendapat pembelaan.
Allahumma sholli wa sallim ‘ala Nuril Anwar.
F. Quthubul Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi rhm. dalam mawlidnya “Simthud Durar”

Quthubul Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi rhm. dalam mawlidnya “Simthud Durar” menulis antara lain:-
  • ……Telah sampai kepada kami dalam hadits-hadits yang masyhur, bahawa sesuatu yang mula pertama dicipta Allah ialah nur yang tersimpan dalam pribadi ini (yakni Junjungan Nabi s.a.w.). Maka nur insan tercinta inilah makhluk pertama muncul di alam semesta, daripadanya bercabang seluruh wujud ini, ciptaan demi ciptaan, yang baru datangnya ataupun yang sebelumnya (yang yang terlebih dahulu datangnya dari yang kemudian).
  • Sebagaimana diriwayatkan Abdur Razzaaq dengan sanadnya sampai kepada Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshaari (semoga ridha Allah atas keduanya): “Bahawasanya ia pernah bertanya: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, Beritahukanlah kepadaku tentang suatu yang dicipta Allah sebelum segalanya yang lain (yakni sebelum segala makhluk yang lain). Jawab baginda: “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur nabimu Muhammad s.a.w. dari nurNya sebelum sesuatu yang lain.”
Ikhwah, jika dikatakan bahawa Allah menciptakan nur Muhammad ini daripada nurNya, maka yang dimaksudkan di sini adalah nur yang menjadi milik Allah, bukannya sebahagian daripada zat Allah yang Maha Suci dan Maha Esa daripada berjuzuk-juzuk dan berpisah-pisah. Inilah yang dikatakan idhafah tasyrifiyyah iaitu suatu sandaran untuk memuliakan sesuatu. Sama seperti kita sandarkan bait (rumah) kepada Allah seperti BaitUllah (rumah Allah) atau ka’baatUllah (ka’bah Allah) dan sebagainya. Sebahagian golongan tersesat kerana beranggapan bahawa nur Muhammad ini asalnya adalah sebahagian dari zat Allah kerana beranggapan bahawa nur itu adalah sebahagian daripada zat Allah. Ini menjadikan pegangan mereka seumpama pegangan nasrani terhadap ketuhanan Nabi Isa a.s. Jelas ini bukanlah pegangan kita Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Kita berpegang bahawa Nur Muhammad ini adalah makhluk yang diciptakan Allah dan tidak lebih daripada itu walau betapa hebat dan agungnya ciptaan ini.
Apa yang jelas, para ulama daripada kalangan habaib Bani ‘Alawi pada umumnya menerima dan berpegang dengan hadits tersebut sebagaimana termaktub dalam karya Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi yang termasyhur “Simthud Durar” yang menyatakan sebagai berikut:-
G. ”Sabilul Iddikar wal I’tibaar” karangan Imam al-Haddad

Posting kali ini aku hendak memperkenalkan ikhwah kepada karangan Imam al-Haddad yang masyhur dengan jodol “Sabilul Iddikar wal I’tibaar“. Satu karangan yang cukup bernilai. Karangan yang membicarakan dan memperjelaskan mengenai fasa-fasa kehidupan yang telah dan akan dilalui oleh seseorang insan bermula di alam arwah sejak dari penciptaan Nabi Adam a.s. sehinggalah ke kehidupan yang kekal abadi di Syurga atau di neraka (moga-moga Allah jadikan kita sekalian dan ibubapa kita dari kalangan ahli syurga dan bukannya ahli neraka, aaaamiiin). Kitab ini telah diterjemahkan dalam Bahasa Melayu oleh almarhum Habib Ahmad BinSemait rhm. dengan jodol “Peringatan Tentang Umur Insan” dalam edisi Rumi dan Jawi. Juga diterjemahkan dalam Bahasa Inggeris oleh Dr. Mostafa al-Badawi (murid Habib Ahmad Masyhur al-Haddad rhm.) dengan jodol “The Lives of Man“.
Di sini aku nak nukilkan sedikit tulisan Imam ini berhubung Nur Muhammad s.a.w., di mana dinyatakan pada halaman 16:-
Dan telah diriwayat bahawasanya Nabi Adam a.s. pernah mendengar Nur Junjungan Rasulullah s.a.w. bertasbih di tulang belakangnya (di sulbinya yakni pada ketika itu Nur Muhammad atau roh Junjungan Nabi s.a.w. berada dalam sulbi Nabi Adam a.s.) seperti bunyi kibasan burung. Maka tatkala Siti Hawa mengandungkan puteranya Nabi Syits alaihimas salam, nur itu berpindah kepada Siti Hawa, kemudian kepada Nabi Syits a.s. pula. Kemudian berterusan nur tersebut berpindah-pindah kepada sulbi-sulbi yang suci dan rahim-rahim yang cemerlang, sehingga lahir Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada (pernikahan) kedua ibubapa baginda yang mulia. Tidaklah pernah terkena Junjungan Rasulullah s.a.w. akan sesuatu kekotoran jahiliyyah dan kekejiannya, walaupun ketika itu berlaku pada kalangan mereka (yakni kalangan umat-umat terdahulu) pernikahan-pernikahan yang dianggap batil, maka Allah telah mensucikan baginda daripadanya, sebagaimana disabdakan baginda ‘alaihis sholatu was salam: “Aku dilahirkan daripada nikah dan bukan daripada perzinaan.”
Sayyidina Ibnu ‘Abbas r.’anhuma dalam mentafsirkan firman Allah ta`ala:

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
menyatakan bahawa maksud ayat tersebut ialah berpindah-pindahnya (nur/ruh) Junjungan Nabi ‘alaihis sholatu was salam daripada sulbi seorang nabi kepada nabi yang lain seperti Nabi Ismail, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Syits dan Nabi Adam ‘alaihimus salam. Dalam hal ini (yakni dalam hal berpindah-pindahnya nur/roh Junjungan Nabi s.a.w. daripada sulbi seorang nabi kepada sulbi nabi yang lain) tidaklah ada khilaf padanya.
َ

H. Nur Muhammad 20 – Syaikh Wan `Ali Kutan

Syaikh Wan ‘Ali bin Wan `Abdul Rahman bin Wan `Abdul Ghafur al-Kelantani atau lebih dikenali dengan gelaran Syaikh Wan `Ali Kutan, adalah ulama terkenal kelahiran Kelantan dan mengajar di Masjidil Haram Makkah. Beliau adalah gurunya para ulama kita terdahulu seperti Syaikh Muhammad Yusuf bin Ahmad (Tok Kenali), Syaikh Ahmad bin Muhammad Said al-Linggi ( mufti pertama Negeri Sembilan, Syaikh `Abdullah Fahim (mufti pertama Pulau Pinang), Syaikh Ismail bin Haji Senik (Tok Kemuning), Syaikh `Uthman bin Haji Muhammad (Tok Bachok), Dato` Laksamana Haji Muhammad bin Haji Muhammad Said Khatib, Dato` Perdana Menteri Paduka Raja Haji Nik Mahmud bin Ismail. Tuan Guru Haji Wan Muhammad Shoghir telah menulis biografi beliau dan ikhwah bolehlah mencari tulisan beliau tersebut atau baca di laman saudara MuhibMahbub.
Antara karya Syaikh Wan `Ali Kutan yang masyhur dan tersebar luas adalah kitab “al-Jawharul Mawhub wa Munabbihaatul Quluub“. Pada mukaddimah kitab tersebut beliau memuji-muji Allah antara lain kerana Dia telah mencipta daripada nurNya (yakni nur yang menjadi miliknya) akan nur kekasihNya Junjungan Nabi Muhammad SAW 2,000 tahun sebelum diciptakanNya Nabi Adam AS, lalu diciptakan daripada nur kekasihNya tersebut segala sesuatu daripada arsy sehinggalah ke bumi. Penciptaan segala sesuatu daripada Nur Muhammad itu boleh difahami dengan erti bahawa penciptaan segala yang ada ini adalah dikeranakan oleh penciptaan nur Junjungan SAW yang merupakan seawal-awal makhluk yang dijadikan Allah. Silalah ikhwah semak segala entri yang sudah-sudah berhubung nur Muhammad SAW, antaranya kepada pernyataan Tok Syaikh Isma`il bin ‘Abdul Qadir al-Fathani (Pak Da `Eil al-Fathani) yang menyebut dalam nota no.4 di tepi kitab karangannya yang berjodol “Tabshiratul Adaani bi alhaan Bakurah al-Aamaani” mukasurat 9, antara lain:-
  • …. Adapun barang yang termasyhur bahawasanya dijadikan beberapa banyak alam ini daripada Nur Nabi kita s.a.w., maka yang zahir bagi hamba bahawasanya bukanlah dijadikan suku-suku nur itu akan alam, hanya dimulakan dia daripadanya dan dijadikan dia dengan sebabnya.
Oleh itu sebelum memberikan tafsiran-tafsiran yang entah apa-apa atau menolak mentah-mentah segala yang berkaitan dengan Nur Muhammad, eloklah lihat dan kaji tafsiran dan pandangan para ulama kita yang terdahulu. Dan jika pun tidak bersetuju, maka janganlah bersikap fanatik yang hanya mau benar sendiri dalam isu yang boleh dianggap sebagai khilaf yang diiktibar pada kalangan ulama, kerana di samping terdapat ulama yang menolaknya, wujud ramai lagi ulama yang menerimanya. Jadi bertasamuhlah, jangan bermudah-mudah menuduh syirik, karut dan khurafat.
.comments { clear: both; margin-top: 10px; margin-bottom: 0px; line-height: 1em; } .comments .comments-content { font-size: 12px; margin-bottom: 16px; font-family: Verdana; font-weight: normal; text-align:left; line-height: 1.4em; } .comments .continue a, .comments .comment .comment-actions a { display:inline; font-family:Arial, Helvetica, sans-serif; font-size:12px; padding: 2px 5px; text-decoration: none; text-shadow:0 1px 1px rgba(0,0,0,.3); color:#FFF; -webkit-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -moz-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -webkit-border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; border-radius: 3px; margin-right: 10px; border: 1px solid #3079ED; background: #0066FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0099FF), to(#009999)); background: -moz-linear-gradient(top, #0099FF, #009999); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0099FF', endColorstr='#009999'); } .comments .continue a:hover, .comments .comment .comment-actions a:hover { text-decoration: none; background:#0099FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#009999), to(#0099FF)); background: -moz-linear-gradient(top, #009999, #0099FF); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#009999', endColorstr='#0099FF'); } .comments .continue a:active, .comments .comment .comment-actions a:active { position: relative; top:1px; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0066FF), to(#0099CC)); background: -moz-linear-gradient(top, #0066FF, #0099CC); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0066FF', endColorstr='#0099CC'); } .comments .comments-content .comment-thread ol { list-style-type: none; padding: 0; text-align: none; } .comments .comments-content .inline-thread { padding: 0.5em 1em 0 1em; } .comments .comments-content .comment-thread { margin: 8px 0px 0px 0px; } .comments .comments-content .comment-thread:empty { display: none; } .comments .comments-content .comment-replies { margin-top: 1em; margin-left: 40px; font-size:12px; } .comments .comments-content .comment { padding-bottom:8px; margin-bottom: 0px } .comments .comments-content .comment:first-child { padding-top:16px; } .comments .comments-content .comment:last-child { border-bottom:0; padding-bottom:0; } .comments .comments-content .comment-body { position:relative; } .comments .comments-content .user { font-style:normal; font-weight:bold; } .comments .comments-content .user a { color: #444; } .comments .comments-content .user a:hover { text-decoration: none; color: #555; } .comments .comments-content .icon.blog-author { width: 18px; height: 18px; display: inline-block; margin: 0 0 -4px 6px; } .comments .comments-content .datetime { margin-left:6px; color: #999; font-style: italic; font-size: 11px; float: right; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; text-align:none; margin: 15px 0 15px; } .comments .comments-content .owner-actions { position:absolute; right:0; top:0; } .comments .comments-replybox { border: none; height: 250px; width: 100%; } .comments .comment-replybox-single { margin-top: 5px; margin-left: 48px; } .comments .comment-replybox-thread { margin-top: 5px; } .comments .comments-content .loadmore a { display: block; padding: 10px 16px; text-align: center; } .comments .thread-toggle { cursor: pointer; display: inline-block; } .comments .comments-content .loadmore { cursor: pointer; max-height: 3em; margin-top: 3em; } .comments .comments-content .loadmore.loaded { max-height: 0px; opacity: 0; overflow: hidden; } .comments .thread-chrome.thread-collapsed { display: none; } .comments .thread-toggle { display: inline-block; } .comments .thread-toggle .thread-arrow { display: inline-block; height: 6px; width: 7px; overflow: visible; margin: 0.3em; padding-right: 4px; } .comments .thread-expanded .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAAc AAAAHCAYAAADEUlfTAAAAG0lEQVR42mNgwAfKy8v/48I4FeA0AacVDFQBAP9wJkE/KhUMAAAAAElFTkSuQmCC") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .thread-collapsed .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAA AcAAAAHCAYAAADEUlfTAAAAJUlEQVR42mNgAILy8vL/DLgASBKnApgkVgXIkhgKiNKJ005s4gDLbCZBiSxfygAAAAB JRU5ErkJggg==") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .avatar-image-container { float: left; overflow: hidden; } .comments .avatar-image-container img { width: 36px; } .comments .comment-block { margin-left: 48px; position: relative; padding: 15px 20px 15px 20px; background: #F7F7F7; border: 1px solid #E4E4E4; overflow: hidden; border-radius: 4px; -moz-border-radius: 4px; -webkit-border-radius: 4px; border-image: initial; }