Monday, 30 January 2012

MENGENAL KESESATAN WAHABI DAN PENDIRI NYA

Menurut riwayat Muhammad ibnu Abdul Wahhab ini dilahirkan di perkampungan `Uyainah dibagian selatan kota Najd (Saudi Arabia) tahun 1703 masehi dan wafat tahun 1792 masehi, ia mengaku sebagai salah satu penerus ajaran Ibnu Taimiyyah. Pengikut akidah dia ini dikenal sekarang dengan nama ‘golongan Wahabi atau dikenal juga dengan Salafi ’. Nama Wahabi atau al-Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama pendiri- nya yaitu Muhammad `Abd al-Wahhab al-Najdi. Ia tidak dinamakan golongan/madzhab al-Muhammadiyyah tidak lain bertujuan untuk membedakan di antara para pengikut Nabi Muhammad saw. dengan pengikut madzhab mereka, dan juga bertujuan untuk menghalangi segala bentuk eksploitasi (istighlal). Penganut Wahabi sendiri menolak untuk dijuluki sebagai penganut madzhab Wahabi dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) atau madzhab Salafus-Sholeh atau Salafi (pengikut kaum Salaf) karena mereka menurut pendapatnya ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah saw.

Menurut ulama Muhammad Ibnu Abdul Wahhab ini amat mahir didalam mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Oleh karena itu, sebagian kaum Muslimin berbaik sangka kepadanya dan menggelarinya dengan sebutan Syeikhul Islam, sehingga dengan demikian namanya menjadi masyhur dan ajarannya menjadi tersebar, padahal itu semua telah banyak dikecam oleh ulama-ulama pakar karena kebatilan akidah dan pahamnya itu. Pada masanya keyakinan madzhab Hanbali (Ahmad bin Hanbal rh) untuk pertama kali didalam sejarahnya mencapai kemuliaan dan kebesarannya, yang mana pada dua periode sebelumnya tidak memperoleh keberhasilan yang besar.

Adapun yang menjadi sebabnya ialah karena golongan Asy'ariyyah secara langsung memonopoli bidang keyakinan sepeninggal Imam Ahmad bin Hanbal. Muhamad Ibnu Abdul Wahhab mempunyai akidah atau keyakinan bahwa tauhid itu terbagi dua macam yaitu; Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah. Adapun mengenai tauhid rububiyyah, baik orang Muslim maupun orang kafir mengakui itu. Adapun tauhid uluhiyyah, dialah yang menjadi pembeda antara kekufuran dan Islam.

Dia berkata: “Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini, dan mengetahui bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari Allah swt. sebagai Pencipta, Pemberi rezeki dan Pengatur”. Dia dengan berdalil firman-firman Allah swt. berikut ini:  “Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihat an, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (S.Yunus [10];31).  “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? 'Tentu mereka akan menjawab, 'Allah', maka betapakah mereka dapat dipalingkan (dari jalan yang benar)” (S. Al ‘Ankabut [29]; 61)

Selanjutnya Ibnu Abdul Wahhab berkata: Jika telah terbukti bagi Anda bahwa orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya anda mengetahui bahwa perkataan anda yang mengatakan "Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah", tidaklah menjadikan diri anda seorang Muslim sampai anda mengatakan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah' dengan mengikuti/disertai melaksanakan artinya." (Fi ‘Aqaid al-Islam, Muhmmad bin Abdul Wahhab, hal. 38) .


Dengan pemahaman Muhammad Abdul Wahhab yang sederhana dan salah mengenai ayat-ayat Allah swt. ini dia mudah mengkafirkan masyarakat muslim dengan mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang musyrik zaman kita yaitu orang-orang Muslim lebih keras kemusyrikannya dibandingkan orang-orang musyrik yang pertama. Karena, orang-orang musyrik zaman dahulu (yang pertama), mereka hanya menyekutukan Allah disaat lapang, sementara disaat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. yang berbunyi, 'Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)." (Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4)

Dia juga mengatakan setiap orang yang bertawassul kepada Rasulallah saw. dan para Ahlul-Baitnya (keluarganya), atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik; dan bahkan kemusyrikannya jauh lebih besar dari pada kemusyrikan para penyembah Lata, 'Uzza, Mana dan Hubal. Dibawah naungan keyakinan inilah mereka membunuh orang-orang Muslim yang tidak berdosa dan merampas harta benda mereka, pedoman yang sering mereka kumandangkan ialah: “Masuklah ke dalam ajaran Wahabi. Dan jika tidak, niscaya Anda terbunuh, istri Anda menjadi janda, dan anak Anda menjadi yatim”. Dapat dibaca dalam kitab al-Radd `ala al-Akhna’i oleh Ibnu Taimiyyah bahwa dia menganggap hadits-hadits yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulallah saw. sebagai hadits mawdu` (palsu).

Dia juga turut menjelaskan ‘orang yang berpegang kepada akidah bahwa Nabi saw. masih hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup, dia telah melakukan dosa yang besar’. Inilah juga yang sering di-iktiqadkan oleh Muhamad Abdul Wahhab dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan kebatilan mengenai masalah tersebut. Memonopoli ajaran Tauhid dan pengkafiran terhadap para ulama

Sekte Wahabi mengaku sebagai satu-satunya pemilik ajaran Tauhid yang bermula dari pendirinya, Muhamad bin Abdul Wahhab. Dengan begitu akhirnya mereka tidak mengakui konsep Tauhid yang dipahami oleh ulama muslimin selain sekte Wahabi dan pengikutnya. Kini kita akan melihat beberapa teks yang dapat menjadi bukti atas pengkafiran Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap para ulama, kelompok dan masyarakat muslim selain pengikut sekte- nya.

Kita akan menjadikan buku karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Hanbali an-Najdi yang berjudul “Ad-Durar as-Saniyah” sebagai rujukan kita . Beberapa ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab berikut ini yang berkaitan dengan dakwaannya atas monopoli kebenaran konsep Tauhid versinya, dan menganggap selain apa yang dipahami sebagai kebatilan yang harus diperangi:  “…Dahulu, aku tidak memahami arti dari ungkapan Laailaaha Illallah. Kala itu, aku juga tidak memahami apa itu agama Islam. (Semua itu) sebelum datangnya anugerah kebaikan yang Allah berikan (kepadaku). Begitu pula para guru (ku), tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Atas dasar itu, setiap ulama ’al-Aridh’ yang mengaku memahami arti Laailaaha Illallah atau mengerti makna agama Islam sebelum masa ini (anugerah kepada Muhamad bin Abdul Wahhab, red) atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahui hal tersebut, maka ia telah melakukan kebohongan dan penipuan. Ia telah mengecoh masyarakat dan memuji diri sendiri yang tidak layak bagi dirinya.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51) Dengan ungkapannya itu Muhamad Abdul Wahhab mengaku hanya dirinya sendiri yang memahami konsep tauhid dari kalimat Laailaaha Illallah dan telah mengenal Islam dengan sempurna. Dia menafikan pemahaman ulama dari golongan manapun berkaitan dengan konsep Tauhid dan pengenalan terhadap Islam, termasuk guru-gurunya sendiri dari mazhab Hanbali, apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak memahami konsep Tauhid dan Islam –ala versinya- telah melakukan penyebaran ajaran batil, ajaran yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran.  ‘Mereka (ulama Islam) tidak bisa membedakan antara agama Muhammad dan agama ‘Amr bin Lahyi yang dibuat untuk di ikuti orang Arab. Bahkan menurut mereka, agama ‘Amr adalah agama yang benar.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51)

Siapakah gerangan ‘Amr bin Lahyi itu? Dalam kitab sejarah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa: “ Ia adalah pribadi yang pertama kali pembawa ajaran penyembah berhala ke Makkah dan sekitarnya. Dahulu ia pernah bepergian ke Syam. Di sana ia melihat masyarakat Syam menyembah berhala. Melihat hal itu ia bertanya dan lantas dijawab: ‘Berhala-berhala inilah yang kami sembah. Setiap kali kami menginginkan hujan dan pertolongan maka merekalah yang menganugerah- kannya kepada kami, dan memberi kami perlindungan”. Lantas Amr bin Lahy berkata kepada mereka: ‘Apakah kalian tidak berkenan memberikan patung-patung itu kepada kami sehingga kami bawa ke tanah Arab untuk kami sembah?’. Kemudian ia mengambil patung terbesar yang bernama Hubal untuk dibawa ke kota Makkah yang kemudian diletakkan di atas Ka’bah. Lantas ia menyeru masyarakat sekitar untuk menyembahnya” (Lihat: as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam jilid 1 halaman 79)

Dengan demikian Muhamad bin Abdul Wahhab telah menyamakan para ulama Islam selain dia dan pengikutnya dengan ‘Amr bin Lahy pembawa ajaran syirik dan menuduh para ulama mengajarkan ajaran syirik serta para pengikut- nya sebagai penyembah berhala yang dibawa oleh ulama-ulama Islam itu. Siapapun yang memahami ajaran Tauhid ataupun pemahaman Islam yang berbeda dengan versi Muhamad Ibnu Abdul-Wahhab dan pengikutnya, maka ia masih tergolong sesat karena tidak mendapat anugerah khusus Ilahi. Tidak lain karena, para ulama Islam selain sekte Wahabi meyakini legalitas ajaran seperti Tabarruk, Tawassul…dsb.nya
Tanggapan 

KEWAJIBAN MENGIKUTI [TAQLID] PENDAPAT ULAMA MAZHAB [MUJTAHID]

Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra]). Ulama golongan ini berkata: “Sesungguhnya ilmu figih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.

Ulama yang melarang taqlid ini telah membikin heboh dunia Islam karena beliau telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti salah satu dari empat madzhab. Nama ulama yang melarang ini adalah Syekh Khajandi yang menulis dalam kitabnya Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Madzhabin Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. Beliau ini juga mengatakan bahwa orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat. Mereka ini telah memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt. dalam surat At-Taubah: 31: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surat Al-Kahfi: 103-104: “Katakanlah (wahai Muhammad); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya.” Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya sangat keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang oleh ulama-ulama pakar dunia. Syekh ini sama halnya dengan golongan wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka. Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi yang sangat berbahaya dan membingungkan ummat Islam yang di kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh ini yang mengarahkan sesat, bodoh perilaku orang yang bertaqlid terhadap salah satu dari imam empat itu, walaupn yang taqlid itu tergolong orang awam.

Setiap dalil yang di tulis oleh Syeikh Khajandi akan kami tulis jawabannya langsung menurut Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuti dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’ .

l. Syekh Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut ini:
Pertama; hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu!
Kedua; hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata: ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
Ketiga; hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting. Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh ini menegas- kan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidaklah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk mengikutinya.

Jawaban: Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti mengomentari ucapan Syeikh Khayandi di atas sebagai berikut: “Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah saw kepada orang arab badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya tidaklah kitab-kitab shohih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan hadits yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama beberapa hari. Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya. Maka diutuslah Khalid bin Walid ke Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang-orang yang sekelas (sederajad ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat. (Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah saw. Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih sedikit. Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat- istiadat yang tidak ada sebelumnya. Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini. Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel) mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh Khajandi itu bisa mengatakan; ‘Adapun madzhab-madzhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat, ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘. Ucapan Syeikh ini sama persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert dimana dengan sombong dan kasar mengatakan; ‘Figih Islam yang ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang istimerwa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah’. Rasulallah saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi kesepakat- an bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulallah saw pun menyetujui kesepakatan mereka itu. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa ketika Nabi saw mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau saw.bersabda: ‘Apa yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah’. Rasulallah saw. kembali bertanya; ‘Jika tidak ada dalam Kitabullah..?’. Mu’az menjawab:’Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah’. Rasulallah bertanya lagi: ‘Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan saya tidak akan melebihkannya’. Mu’az berkata:’Rasulallahpun akhirnya menepuk-nepuk dada saya dan bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhai olehNya’. Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat. Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa madzhab-madzhab itu adalah ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikutinya? Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi yang hanya berargumentasi dengan beberapa dalil yang sudah kami kemukakan itu. Hukum Islam itu meluas dan mencakup hal-hal yang berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung melalui dilalah dhahirnya yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath. Mana saja diantara dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami hukum, maka itulah hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah tetap pada hukum tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun yang datang meminta fatwa kepadanya. Kalau benar bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulallah saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?

2. Syeikh Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah saw.

Jawaban: Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan tadi sebagai berikut: “Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw melalui haditsnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an dan hadits itu sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-qur’an dan hadits yang termasuk dalil-dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir dari keqath’iyyan (kepastian) dalil tersebut. Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan di atas maka pemahaman mereka yang termasuk mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam. Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..? Apakah jika pemahaman terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal diketika hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak akan pernah terjadi. Syeikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas memiliki persangkaan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan madzhab Rasulallah saw, dan kemunculannya hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah tersebut. Sebuah persangkaan yang sangat keterlaluan…!

3. Syeikh Khajandi berkata; Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran!

Jawaban: Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi berkata: Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur. Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan, maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari ucapan Syeikh yang gegabah. Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian masalah tersebut dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama kita.

Jadi walaupun masalah taqlid kepada salah satu madzhab diantara madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur nanti, bukanlah berarti dia harus disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan orang awam bertaqlid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis sebagaimana nanti akan diuraikan secara lebih rinci.
Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh ulama dan kaum muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur mereka.

Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa yang menjadi sasarannya hanya madzhab yang empat…? Apa bedanya madzhab imam yang empat ini dengan madzhab Zaid bin Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin ‘Abbas dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam? Apa perbedaan madzhab yang empat ini dengan madzhab ahlu al-ra’yi di Irak dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz dan pelopor berdiri- nya dua madzhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in yang terbaik? Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan madzhab-madzhab yang tersebut di atas adalah juga termasuk para mukallid…? Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan, bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasulallah saw....? Ataukah Syeikh ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari agama dan memecah-belah madzhab Rasulallah hanyalah madzhab yang empat itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan dapat berdampingan bersama madzhab Rasulallah saw…..? Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan terakhir di atas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling utamanya adalah satu kedustaan.

Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad
a. Firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya’: 7 yang artinya: “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”. Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaqlid kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah swt. dalam surat At-Taubah: 122 yang artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang). Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”. Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an jilid 8/293-294 diterangkan bahwa Allah swt. melarang manusia pergi berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah swt.
b. Ijma’ ulama bahwa para sahabat Nabi saw sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa.
Ibnu Khaldun berkata: ‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua: Ada yang termasuk mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang bertaqlid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti ketika menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti pasti menjelaskan dalil-dalil hukum itu. Rasulallah saw pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut, baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalahan yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, maka terhadap perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.
c. Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385 pada bab Taqlid dan Istifta’ bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaqlid, berkata sebagai berikut: “Kami berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa”.
d. Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata: ‘Ijma’ dimaksud adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in sebelum munculnya orang-orang yang menyimpang yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat, mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan para sahabat nabi yang bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.
e. Pada zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu
Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits. Diantara tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari.
Adapun tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi; ‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari. Antara tokoh-tokoh kedua madzhab di atas ini sering juga terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah bertaqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga perdebatan yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.
f. Syekh Abdullah Darras berkata: “Dalil logika untuk masalah ini adalah bahwa orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan caranya bersikap: Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taqlid. Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan hukum”. Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil,
maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur'an sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang yang mujtahid “.
Dalam hal ini As-Syatibi berkata: “Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam adalah seperti dalil-dalil syar’i bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi orang-orang awam yang taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena mereka tidak mampu mengambil pengertian dari Al Quran. Maka masalah meneliti dalil dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman: ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’ (Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.

Syekh Khajandi (dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat) telah menjadikan ucapan Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah sebagai dalil yang betul-betul telah mem- perkuat pendapatnya dan beliaupun tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan dari ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah demikian adanya. Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut di atas dan sanggahan/jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti terhadap ucapan Syeikh Khajandi.

1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’ seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukimin “. Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.

Jawaban: Terhadap kutipan tersebut, Dr. Sa’id Ramdhan mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata: “Ketahuilah! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “ Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.

2) Syeikh Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban: Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i. Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qawaa’idul Ahkam 11/135: “Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang taqlid kepada seorang imam (dalam satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian? Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni:
-a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan kebatalannya.
-b) Jika dua madzhab itu berdekatan (keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh pula berpindah-pindah. Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”. Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Qur’an maupun Hadits. Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi

3) Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qayyim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban: Syeikh Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul Qayyim akan berpendapat seperti yang tersebut di atas. Karena beliau (Ibnul Qayyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali.
Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168:Artinya: (“Rincian pendapat tentang taqlid dan pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni taqlid yang haram terdiri dari tiga macam: a). Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taqlid kepada nenek moyang. b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak. c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang ditaqlid”.
Kemudian Ibnul Qayyim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taqlid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut). Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qayyim yang panjang lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah berkisar pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul Qayyim mengatakan sebagai berikut: “Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela orang-orang kafir yang taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl: 43) yakni para ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka). Ayat An-Nahl: 43 ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama. maksud pernyataan Ibnul Qayyim di atas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini adalah taqlid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah namun sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia taqlid kepada orang yang lebih alim darinya, maka taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.

Pembelaan Nashiruddin al-Albani (wahabi) pada Syeikh Khajandi Pendapat Syekh Khajandi tersebut di atas mengenai pengharamannya untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang tersebut di atas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani dan dibela mati-matian, suatu hal yang meng- herankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain karena Syeikh Khajandi ini sepaham dan satu kelompok golongan dengannya dan al-Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.

I. Al-Albani mengatakan: “Sanggahan dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi itu tidak benar. Dia (Albani) pembela Syeikh Khajandi ini mengatakan juga bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab tertentu”

Jawaban: Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qayyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21: “Agama, figh dan ilmu tersebar ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Bahkan dalam sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama. Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi madzhab kedua imam tersebut.

II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini:
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”. Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ di atas adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud, Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “. Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama”. Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.

Jawaban: Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan takwil agar tetap dikesankan berada di atas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya bahwasanya seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah wafat. Dan karena dia seorang muslim maka haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhan (bersangka baik) kepadanya. Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhan kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albaniakan dibantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan!!. Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arabi seper empat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan mereka (para sufi)! Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II c di atas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap membantahnya. Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan, kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini mengatakan bahwa Ibnul Qayyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234 telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu.

Ibnul Qayyim berkata:  “(Faidah ke 48): Apabila seseorang memiliki dua kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil). Bila makna yang dikandung oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomendasi lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang), maka dia tidaklah boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadits itu “.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata:  “Semua yang dibicarakan di atas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah swt.: ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’ (An-Nahl:43) “.

III. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar. Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang di atas namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini. Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan ini [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata: “Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah: ‘Ketahuilah bahwa kaum muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu madzhab tertentu.

Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Quutul Qulub mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas mujtahidin tidaklah mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw.. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “. Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi!!. Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazmin: “Ibnu Hazmin berkata: ‘ Taqlid itu haram dan seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”. Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban: Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin bukanlah seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini: “Ketahuilah! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri. “ Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata: “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan: ‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalil mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu masalah”. Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalam Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah saw. dan mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah.

Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham mereka. Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu dicela oleh golongan ini. Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya mereka tidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah!

IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut: “Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara; Pertama, ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.

Jawaban: Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’. Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 3 halaman 253 guna melihat bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya. Berikut keterangannya: “(Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah memperhatikan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya “.
Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.

Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar: “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagai- mana anda sendiri telah melihatnya?
Bagaimana seorang muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid?

ALLAHUMMA IHDINA ILA SHIRATHAL MUSTAQIM

Cara Mudah Membantah Ajaran Sesat Wahabi

Anda katakan kepada orang-orang Wahabi: “Ajaran agama kalian itu baru, dirintis oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Buktinya, tidak ada seorang muslim-pun sebelum Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang mengharamkan perkataan: ”Yaa Muhammad (Wahai Muhammad)...”. Bahkan orang yang oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab disebutnya sebagai “Syaikh al-Islam”; yaitu Ahmad ibn Taimiyah telah membolehkan mengucapkan “Ya Muhammad…” bagi orang yang sedang kesusahan karena tertimpa semacam lumpuh pada kakinya (al-Khadar). Ibn Taimiyah mengatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan pada kaki yang tidak dapat digerakan untuk mengucapkan “Yaa Muhammad…”. Yang dimaksud al-khadar pada kaki di sini bukan artinya “kesemutan”, juga bukan lumpuh yang permanen, tapi yang dimaksud adalah lumpuh sementara karena terlalu lama duduk atau semacamnya. Rekomendasi Ibn Taimiyah ini ia dasarkan kepada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Abdullah ibn Umar, bahwa suatu ketika sahabat yang mulia ini tertimpa al-khadar pada kakinya, lalu ada orang yang berkata kepadanya: “Sebutkan orang yang paling engkau cintai!!”, kemudian Abdullah ibn Umar berkata: “Yaa Muhammad…”.
Anda katakan kepada kaum Wahhabi: “Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai “syaikh al-Islam” membolehkan perkara di atas, sementara kalian menamakan itu sebagai kekufuran. Dalam hal ini, bahkan Ibn Taimiyah sendiri terbebas dan tidak sejalan dengan apa yang kalian yakini. Dengan dasar apa kalian mengaku sebagai bagian dari orang-orang Islam?! Kalian bukan orang-orang Islam, karena kalian mengkafirkan seluruh umat Islam yang mengucapkan ”Yaa Muhammad...”, padahal tidak ada seorangpun yang mengharamkan perkataan ”Yaa Muhammad...” kecuali kalian sendiri yang pertamakali mengharamkannya. Dan sesungguhnya barangsiapa mengkafirkan umat Islam maka dia sendiri yang kafir, karena umat ini akan senantiasa akan berada dalam agama Islam hingga hari kiamat. Imam al Bukhari dalam kitab Shahih meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَنْ يَزَال أمْرُ هذِه الأمّةِ مُسْتَقِيْمًا حَتّى تَقُوْمَ السّاعَةُ أوْ حَتّى يَأتِيَ أمْرُ اللهِ (روَاه البُخَاري)
“Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang kiamat, atau hingga datang urusan Allah” (HR. al Bukhari)
Jika mereka berkata: ”Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!!”, maka anda katakan kepada mereka: ”Ada buktinya, itu ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya berjudul ”al Kalim ath Thayyib”. Para ulama yang menuliskan biografi Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ”al Kalim ath Thayyib” benar-benar sebagai salah satu dari karya-karyanya, di antaranya disebutkan oleh Shalahuddin ash-Shafadi; salah seorang yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri dan banyak mengambil darinya.
Kemudian salah seorang pemuka kaum Wahhabi; al Albani, juga mengakui bahwa al Kalim ath Thayyib adalah salah satu karya Ibn Taimiyah, dan bahkan ia membuat catatan tambahan (ta’liq) terhadap kitab tersebut, walaupun ia berkata bahwa sanad tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar tersebut adalah dla’if. Namunbegitu, walaupun al-Albani menilai sanad tentang perkataan Ibn Umar tersebut dla’if tetapi penilaiannya itu sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun, oleh karena Ibn Taimiyah telah mengutip riwayat itu dalam kitabnya tersebut dengan menamakannya ”Pasal: Tentang kaki apa bila terkana al-khadar”, lalu ia menamakan kitabnya tersebut dengan ”al-Kalim ath-Thayyib”, artinya ”Perkataan yang baik” (Lihat kitab, h. 73).
Bahkan, seandainya benar sanad riwayat tersebut berkualitas dla’if (seperti yang sangka al Albani); tetapi Ibn Taimiyah telah jelas-jelas membolehkan hal itu yang karenanya ia mengutip dalam kitabnya tersebut, dan ia namakan dengan ”al Kalim ath Thayyib”. Dari sini anda katakan kepada mereka: ”Dengan demikian siapa sebenarnya yang telah kafir, apakah Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai ”Syaikh al-Islam” atau kalian sendiri?! Secara tersirat sebenarnya orang-orang wahhabi tersebut telah mengkafirkan Ibn Taimiyah; baik mereka sendiri sadar atau tidak. Sampai di sini tentu mereka tidak berani untuk mengatakan Ibn Taimiyah kafir, juga mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka sendiri sebagai orang-orang kafir. Mereka tidak akan memiliki jawaban untuk ini. Dari sini kita katakan kepada mereka: ”Jika demikian, maka benar bahwa ajaran agama kalian itu adalah ajaran yang baru. Karena dengan pendapat kalian yang mengharamkan perkataan ”Yaa Muhammad...” berarti kalian telah mengkafirkan seluruh umat Islam dari semenjak masa Rasulullah hingga masa kita sekarang ini. Dan bahkan baik disadari oleh kalian atau tidak; kalian telah mengkafirkan ”Imam utama” kalian, yaitu Ibn Taimiyah yang jelas-jelas telah membolehkan perkataan ”Yaa Muhammad...” saat kaki terkena al-khadar”. Mereka akan terdiam seribu bahasa tidak memiliki argumen.
Terlebih dari pada itu semua, tentang penilaian al-Albani yang mengklaim sanad riwayat perkataan Ibn Umar tersebut sebagai sanad yang dla’if, penilaiannya ini sedikitpun tidak dapat dijadikan landasan, karena dia seorang yang tidak memiliki otoritas untuk melakukan penilaian hadits; dla’if atau shahih. Dia bukan seorang hafizh al-hadits, bahkan ia sendiri mengaku bahwa ia tidak hafal walaupun hanya sepuluh buah hadits saja dengan sanad-sanadnya hingga Rasulullah. Ia hanya mengaku-aku bagi dirinya sendiri bahwa dia adalah ”muhaddits kitab” bukan ”muhaddits hifzh”. [Gelar ”aneh” yang ia buat sendiri].
Kemudian jika orang-orang Wahhabi berkata: ”Ibn Taimiyah meriwayatkan perkataan Ibn Umar tersebut dari seorang perawi yang masih diperselisihkan (Mukhtalaf fih)”, maka anda katakan kepada mereka: ”Ibn Taimiyah jelas-jelas meriwayatkannya dalam kitabnya tersebut, itu artinya sebagai bukti bahwa ia menganggap baik perkataan ”Ya Muhammad...”, baik riwayat tersebut shahih atau tidak shahih. Karena seorang yang meriwayatkan sesuatu yang batil sementara ia tidak mengingkarinya itu artinya ia menganggap baik sesuatu tersebut dan menyeru kepadanya.
Kisah tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar di atas diriwayatkan oleh al Hafizh Ibn as Sunny (Lihat ’Amal al Yaum Wa al Laylah, h. 72-73), juga oleh Imam al Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad (Lihat h. 324) dengan jalur sanad selain sanad Ibn as Sunny. Demikian pula telah diriwayatkan oleh al Hafizh al Kabir Imam Ibrahim al Harbi; seorang yang dalam ilmu dan sikap wara’-nya serupa dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Gharib al Hadits, yang juga dengan jalur sanad selain sanad Ibn as-Sunny (Lihat Gharib al Hadits, j. 2, h. 673-674). Diriwayatkan pula oleh al Hafizh an Nawawi (Lihat al Adzkar, h. 321), oleh al Hafizh Ibn al Jazari dalam kitab al Hishn al Hashin dan dalam kitab ’Iddah al Hishn al Hashin (Lihat h. 105), dan oleh asy Syaukani; seorang yang dalam beberapa masalah sejalan dengan pemahaman Wahabi. Lihat -wahai orang-orang Wahabi-, asy Syaukani meriwayatkannya dalam Tuhfah adz-Dzakirin (Lihat, h. 267), sementara kalian menganggap perkataan ”Yaa Muhammad...” sebagai kekufuran?! Wahai kaum Wahhabi hendak lari kemana kalian?! Jelas tersingkap ”kedok sesat ” ajaran kalian. Lihat pula, Ibn Taimiyah sebagai imam kalian, dan sebagai imam utama dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang banyak mengambil faham sesatnya telah meriwayatkannya dalam karyanya sendiri yang ia namakan dengan ”al-Kalim ath-Thayyib”.
Jika orang-orang Wahhabi berkata: ”Kita yang benar, sementara Ibn Taimiyah tidak benar, ia telah menghalalkan perbuatan syirik dan kufur”, kita katakan kepada mereka: ”Itu berarti kalian telah mengkafirkan imam terkemuka kalian sendiri yang merupakan referensi utama bagi kalian dalam akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dan dalam banyak kesesatannya. Dan itu berarti merupakan pengakuan dari diri kalian sendiri bahwa kalian mengikuti seorang yang kalian anggap sebagai orang kafir, padahal dia adalah rujukan utama kalian dalam berbagai permasalahan akidah yang kalian yakini. Lihat, kalian telah mengikuti Ibn Taimiyah dalam penyataan kufurnya bahwa Kalam Allah dan Kehendak-Nya adalah baharu dari segi materi (al-Afrad) dan qadim dari segi jenis (al-Jins/an-Nau’). Kalian juga mengikutinya dalam keyakinannya bahwa jenis alam ini azaly (tidak bermula) ada bersama Allah bukan sebagai makhluk. Lihat, dengan kekufurnya ini kalian telah menjadikan dia sebagai ikutan dan sandaran dalam segala keyakinan kalian yang nyata-nyata hal itu menyalahai kebenaran, sementara kalian menyalahi dia pada perkara di mana ia telah sesuai dengan kebenaran di dalamnya; yaitu dalam kebolehan mengucapkan kata “Yaa Muhammad...” ketika dalam keadaan sulit atau saat tertimpa musibah.
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; ”Pengakuan bahwa kalian sebagai kelompok salafi adalah bohong besar. Siapakah di antara ulama Salaf yang melarang mengatakan kata “Yaa Muhammad...” saat dalam kesulitan? Karena itu haram bagi kalian mengaku sebagai kaum Salafi, karena penamaan ini menipu banyak orang awam, padahal kalian sedikirpun tidak berada di atas keyakinan Ulama Salaf, juga tidak di atas keyakinan Ulama Khalaf, tetapi kalian datang dengan membawa agama dan ajaran yang baru. Sesungguhnya mengucapkan kata “Yaa Muhammad...” untuk tujuan meminta tolong (istigatsah) adalah perkara yang telah disepakati kebolehannya oleh para ulama Salaf dan ulama Khalaf; baik di masa Rasulullah masih hidup atau setelah beliau wafat.
Adapun yang dilarang dalam syari’at adalah mengucapkan kata “Yaa Muhammad...” di hadapan wajah Rasulullah di masa hidupnya untuk tujuan memanggilnya, yaitu setelah turun firman Allah
لاَتَجْعَلُوا دُعَآءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضَكُم بَعْضًا (النور: 63)
”Janganlah kalian menjadikan panggilan terhadap Rasulullah di antara kalian seperti sebagian kalian memanggil sebagian yang lainnya” (QS. An-Nur: 63).
Sebab diharamkan perkara tersebut adalah karena ada suatu kaum yang bersifat kasar memanggil Rasulullah dari laur rumahnya dengan mengatakan ”Wahai Muhammad (Yaa Muhammad) keluarlah engkau kepada kami...!!”. Dari sebab ini kemudian Allah mengharamkan perkara ini karena untuk memuliakan Rasulullah.
Adapun tentang seorang sahabat yang buta yang bertawassul dengan Rasulullah supaya ia mendapatkan kesembuhan dari butanya; yang kemudian Rasulullah mengajari sahabat buta tersebut beberapa kalimat doa untuk ia bacakan; maka bacaannya tersebut tidak dibacakan hadapan Rasulullah. Doa tersebut yaitu:
اللّهُمّ إنّي أسْألُكَ وَأتَوَجَّهُ إلَيكَ بِنَبِيّنَا مُحَمّدٍ نَبيّ الرّحْمَة يَا مُحَمّدُ إنّي أتَوَجّهُ بِكَ إلَى رَبّي عَزّ وَجَلّ فِي حَاجَتِيْ
”Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad sesungguhnya saya denganmu menghadap kepada Tuhan saya dalam kebutuhanku ini”.
Dalam riwayat hadits ini Rasulullah berkata kepada sahabat buta tersebut: ”Pergilah ke tempat wudlu, berwudlu-lah, lalu kerjakan shalat dua raka’at, kemudian berdoalah dengan membaca doa-doa itu” (HR. Ath Thabarani, lihat al Mu’jam al Kabir, j. 9, h. 17-18 dan al Mu’jam ash Shagir, h. 201-202). Sahabat buta tersebut kemudian keluar dari majelis Rasulullah, beliau berwudlu, lalu shalat dua raka’at, dan membacakan doa yang berisi tawassul dengan Rasulullah tersebut. Setelah beliau menyelesaikan itu semua maka beliau datang kembali menghadap Rasulullah dalam keadaan sudah dapat melihat. Dengan demikian doa yang dibacakan oleh sahabat buta tersebut tidak dihadapan Rasulullah pada masa hidup beliau saat itu. Dari sini kita katakan kepada kaum Wahabi; ”Kalian telah mengambil pendapat Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul at Tawassul Wa al Wasilah bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan orang yang hadir di hadapan dan dalam keadaan masih hidup, namun terhadap tawassul atau istighatsah dengan yang sudah meninggal; yang padahal itu oleh Ibn Taimiyah sendiri juga dikatakan sebagai perkara baik, seperti bertawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya; kalian menyalahinya, bahkan kalian mengklaim bahwa perkara tersebut adalah syirik dan kufur?! Alangkah naifnya kalian, betul-betul jauh dari kebenaran”.
Kemudian dari pada itu, kita katakan pula kepada mereka untuk membantah pendapat mereka yang telah mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau berada di arsy; ”Seseorang yang dalam posisi berdiri, apakah dari segi jarak posisi kepalanya lebih dekat kepada arsy dibanding seorang yang sedang dalam posisi sujud?” Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi berdiri lebih dekat kepada arsy. Lalu kita katakan kepada mereka: ”Kalian telah menjadikan arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada hadits Rasulullah yang menolak pemahaman sesat kalian ini; adalah riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فأكْثِرُوا الدّعَاء (رَوَاه مُسْلِمٌ)
”Seorang hamba yang paling ”dekat” kepada Allah adalah saat dia dalam posisi sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa (pada posisi tersebut)” (HR. Muslim).
Kalian mengatakan bahwa metode takwil sama dengan ta’thil; artinya menurut kalian memberlakukan takwil sama saja dengan mengingkari wujud Allah dan mengingkari sifat-sifat-Nya; atau dalam istilah kalian ”at-ta’wil ta’thil”. Ini artinya ketika kalian menolak takwil maka berarti sama saja kalian mengakui bahwa keyakinan kalian adalah keyakinan batil, karena keyakinan kalian berseberangan dengan pemahaman zahir (literal) hadits tersebut”.
Adapun kami kaum Ahlussunnah memahami firman Allah:
الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dan seluruh ayat-ayat atau hadits-hadits Nabi yang secara zahir (literal) seakan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, atau seakan bahwa Allah memiliki anggota badan, atau seakan bahwa Allah memiliki bentuk (batasan), atau bergerak, dan pindah, atau sifat-sifat apapun yang seakan bahwa Allah serupa dengan makhuk-Nya; ini semua kita pahami dengan metode takwil, baik dengan metode takwil Ijmali atau takwil tafshili, sebagaimana hal itu telah dicontohkan oleh beberapa orang dari ulama Salaf, yang kemudian diikuti oleh para ulama Khalaf. Kita katakan; ”Makna teks-teks semacam itu semua bukan dalam makna zahirnya, tetapi itu semua memiliki makna-makna yang sesuai bagi keagungan Allah yang sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Inilah yang dimaksud dari perkataan sebagian ulama Salaf ”Bila Kayf Wa La Tasybih”. Ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa makna ”Bila Kayf” yang dimasud adalah bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat semacam yang telah disebutkan di atas tidak dipahami dalam pengertian benda atau sifat-sifat benda. Inilah pemahaman yang benar dari maksud perkataan ulama Salaf dan ulama Khalaf ”Bila Kayif”, tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang Wahabi; dalam mulutnya mereka mengatakan ”Bila Kayf”, tapi dalam hati mereka meyakini adanya kayf (sifat benda).
Sesungguhnya metode takwil tafshili telah berlakukan oleh para ulama Salaf sekalipun tidak oleh semua mereka. Imam Ahmad ibn Hanbal misalkan, telah mentakwil firman Allah: ”Wa Ja’a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22) dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ”ja’a” dalam ayat tersebut adalah ”datangnya” pahala dari Allah, dalam riwayat lainnya beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ”datangnya perintah Allah” (Lihat al Bidayah Wa an Nihayah, j. 10, h. 327. Imam al Baihaqi mengatakan sanad riwayat ini tidak memiliki cacat sedikitpun). Sementara kalian wahai kaum Wahabi mengatakan dalam mamahami ayat tersebut bahwa Allah turun secara indrawi. Dalam keyakinan kalian bahwa Allah pindah dari arsy ke bumi sebagaimana para Mala’ikat turun secara indrawi; yaitu turun dengan pindah dari arah atas ke arah bumi pada hari kiamat kelak. Seandainya Imam Ahmad berkeyakinan seperti keyakinan kalian maka tentu beliau tidak akan mentakwil ayat di atas; tentu beliau akan memahami ayat tersebut sesuai zahirnya seperti yang kalian pahami, tapi terbukti beliau telah melakukan takwil. Perkataan Imam Ahmad ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan disahehkannya dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad.
Demikian pula firman Allah ”Yauma Yuksyafu ’An Saq” (QS. Al-Qalam: 42) oleh sebagian ulama Salaf telah ditakwil secara tafshili; mereka mengatakan yang dimaksud kata “as-Saq” dalam ayat ini adalah “huru-hara (kesulitan) yang teramat dahsyat”, (artinya bahwa Allah akan mengangkat huru-hara tersebut di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin) (Lihat Fath al Bari, j. 13, h. 428, al Asma Wa as Shifat, h. 345). Sementara kalian wahai orang-orang Wahabi memaknai makna “saq” pada ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah memiliki betis sebagaimana manusia memiliki betis yang merupakan salah satu anggota badannya. Bagaimana kalian mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya dengan keyakinan kalian yang rusak ini?! Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan kalian sebagai para pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bohong besar.
Sementara itu Imam al Bukhari telah menyebutkan takwil bagi dua ayat dari al Qur’an. Pertama; beliau mentakwil firman Allah:
كُلُّ شَىءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَه (القصص: 88)
Imam al Bukhari mengatakan bahwa makna “al Wajh” dalam ayat tersebut adalah “al Mulk”; artinya kerajaan atau kekuasaan (lihat Shahih al Bukhari, tafsir Surat al Qasas). Takwil ayat ini demikian juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats Tsauri dalam kitab Tafsir-nya (Lihat Tafsir al Qur’an al Karim, h. 194). Kedua; Imam al Bukhari mentakwil firman Allah:
هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56)
Ayat ini ditakwil oleh beliau dalam makna “al mulk wa as sulthan” artinya “kerajaan dan kekuasaan” (Lihat Shahih al Bukhari, Tafsir Surat Hud). Imam al Bukhari tidak pernah mentakwil ayat ini seperti yang kalian yakini dalam pengertian bahwa Allah bersentuhan. Benar, makna literal dari ayat tersebut seakan Allah menyentuh setiap ubun-ubun dari segala binatang, tapi memaknainya seperti demikian ini jelas merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), karena Allah tidak disifati dengan menyentuh, dan atau disentuh; sebab menyentuh maupun disentuh adalah dari tanda-tanda makluk.
Adapun takwil hadits riwayat Imam Muslim yang telah kita sebutkan di atas adalah bahwa makna “al Qurb” di sini bukan dalam pengertian dekat dari segi jarak. Demikian pula dengan redaksi-redaksi hadits yang seakan Allah berada atau bertempat di arah atas; itu semua tidak boleh dipahami secara literal (harfiah), tetapi harus dipahami dengan metode takwil. Dengan demikian bagaimana kalian mengatakan bahwa metode takwil sama saja dengan ta’thil (menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah)?! Juga dengan dasar apa kalian mengatakan bahwa metode takwil adalah kufur?!
Anda katakan kepada mereka: “Jika kalian tidak memahami hadits riwayat Imam Muslim ini dengan makna zahirnya (harfiah) maka berarti kalian telah melakukan takwil, dan bila demikian maka berarti kalian telah menyalahi diri kalian sendiri yang anti terhadap takwil. Kalian mengatakan: “Takwil adalah ta’thil”, sementara kalian sendiri memberlakukan takwil.
Tanggapan 
.comments { clear: both; margin-top: 10px; margin-bottom: 0px; line-height: 1em; } .comments .comments-content { font-size: 12px; margin-bottom: 16px; font-family: Verdana; font-weight: normal; text-align:left; line-height: 1.4em; } .comments .continue a, .comments .comment .comment-actions a { display:inline; font-family:Arial, Helvetica, sans-serif; font-size:12px; padding: 2px 5px; text-decoration: none; text-shadow:0 1px 1px rgba(0,0,0,.3); color:#FFF; -webkit-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -moz-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -webkit-border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; border-radius: 3px; margin-right: 10px; border: 1px solid #3079ED; background: #0066FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0099FF), to(#009999)); background: -moz-linear-gradient(top, #0099FF, #009999); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0099FF', endColorstr='#009999'); } .comments .continue a:hover, .comments .comment .comment-actions a:hover { text-decoration: none; background:#0099FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#009999), to(#0099FF)); background: -moz-linear-gradient(top, #009999, #0099FF); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#009999', endColorstr='#0099FF'); } .comments .continue a:active, .comments .comment .comment-actions a:active { position: relative; top:1px; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0066FF), to(#0099CC)); background: -moz-linear-gradient(top, #0066FF, #0099CC); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0066FF', endColorstr='#0099CC'); } .comments .comments-content .comment-thread ol { list-style-type: none; padding: 0; text-align: none; } .comments .comments-content .inline-thread { padding: 0.5em 1em 0 1em; } .comments .comments-content .comment-thread { margin: 8px 0px 0px 0px; } .comments .comments-content .comment-thread:empty { display: none; } .comments .comments-content .comment-replies { margin-top: 1em; margin-left: 40px; font-size:12px; } .comments .comments-content .comment { padding-bottom:8px; margin-bottom: 0px } .comments .comments-content .comment:first-child { padding-top:16px; } .comments .comments-content .comment:last-child { border-bottom:0; padding-bottom:0; } .comments .comments-content .comment-body { position:relative; } .comments .comments-content .user { font-style:normal; font-weight:bold; } .comments .comments-content .user a { color: #444; } .comments .comments-content .user a:hover { text-decoration: none; color: #555; } .comments .comments-content .icon.blog-author { width: 18px; height: 18px; display: inline-block; margin: 0 0 -4px 6px; } .comments .comments-content .datetime { margin-left:6px; color: #999; font-style: italic; font-size: 11px; float: right; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; text-align:none; margin: 15px 0 15px; } .comments .comments-content .owner-actions { position:absolute; right:0; top:0; } .comments .comments-replybox { border: none; height: 250px; width: 100%; } .comments .comment-replybox-single { margin-top: 5px; margin-left: 48px; } .comments .comment-replybox-thread { margin-top: 5px; } .comments .comments-content .loadmore a { display: block; padding: 10px 16px; text-align: center; } .comments .thread-toggle { cursor: pointer; display: inline-block; } .comments .comments-content .loadmore { cursor: pointer; max-height: 3em; margin-top: 3em; } .comments .comments-content .loadmore.loaded { max-height: 0px; opacity: 0; overflow: hidden; } .comments .thread-chrome.thread-collapsed { display: none; } .comments .thread-toggle { display: inline-block; } .comments .thread-toggle .thread-arrow { display: inline-block; height: 6px; width: 7px; overflow: visible; margin: 0.3em; padding-right: 4px; } .comments .thread-expanded .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAAc AAAAHCAYAAADEUlfTAAAAG0lEQVR42mNgwAfKy8v/48I4FeA0AacVDFQBAP9wJkE/KhUMAAAAAElFTkSuQmCC") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .thread-collapsed .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAA AcAAAAHCAYAAADEUlfTAAAAJUlEQVR42mNgAILy8vL/DLgASBKnApgkVgXIkhgKiNKJ005s4gDLbCZBiSxfygAAAAB JRU5ErkJggg==") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .avatar-image-container { float: left; overflow: hidden; } .comments .avatar-image-container img { width: 36px; } .comments .comment-block { margin-left: 48px; position: relative; padding: 15px 20px 15px 20px; background: #F7F7F7; border: 1px solid #E4E4E4; overflow: hidden; border-radius: 4px; -moz-border-radius: 4px; -webkit-border-radius: 4px; border-image: initial; }