Friday 6 January 2012

TEPUNG TAWAR/PEUSIJEUK Menurut Hukum Islam adalah boleh menurut(Kajian dari sudut teori tafa-ul, tabarruk, tasyabbuh dan bid’ah)

A. Pengertian bid’ah
Sebagian umat Islam ada yang mengatakan bahwa tepung tawar/peusijeuk merupakan amalan bid’ah yang tidak pernah ada contoh dari Nabi SAW dan sahabatnya. Sedangkan bid’ah tidak ada kecuali bid’ah sesat yang diharamkan dalam agama. Oleh karena itu, tepung tawar/peusijeuk ini diharamkan dalam agama. Untuk menjawab tuduhan ini, perlu ada pembahasan lebih dahulu mengenai apa itu bid’ah dan pembagiannya berdasarkan dalil-dalil syara’ yang menjadi pegangan umat Islam.
Perkataan bid’ah secara lughawi (bahasa) menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah disebutkan,
“abda’a al-syai’, artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Ibnu Faris dalam Kamus Mu’jam Maqayis al-Lughat mengatakan :
“Huruf baa’ daal dan ‘ain ada dua asal, salah satunya memulai dan menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.

Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain :
1. Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)

Lafazh “Badii’” pada ayat di atas menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.

2. Firman Allah, Q.S. al-Ahqaf : 9 ;
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul (Q.S. al-Ahqaf; 9)

Lafazh “bid’an minarrasul” pada ayat di atas, mengandung arti yang pertama dari rasul-rasul. Artinya, tidak ada rasul sebelumnya. Jadi, maksud ayat di atas adalah Muhammad bukanlah rasul yang pertama yang pernah diturunkan Allah, tetapi pernah ada rasul-rasul yang diutus-Nya sebelumnya.
3. Perkataan orang Arab ;
ابتدع فلان بدعة
ِِArtinya : Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah).

Dengan arti ia membuat suatu tatanan (cara)yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya.1

4.Perkataan orang Arab ;
هذا أمر بديع
ِArtinya : Ini adalah perkara yang mengagumkan
Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya.2

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya, dinamakan sebagai bid'ah secara bahasa.
Adapun dalam pembahasan fiqh, berdasarkan keterangan para ulama setelah ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu :
1.Bid’ah hasanah,
Yaitu : Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya.
2.Bid’ah dhalalah,
Yaitu :Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini tidak diterima amalannya

B. Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Berikut keterangan ulama mengenai kedudukan amalan yang tidak contoh dari Nabi SAW, selanjutnya amalan ini disebut dengan bid’ah, antara lain :
1.Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji” 3.

2.Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).4

3.Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar. 5 Pembagian model Abdussalam ini, bid’ah dikelompokkan sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembagian ini apabila kita perkecilkan, maka kelompok bid’ah haram, makruh, masuk dalam kelompok bid’ah dhalalah. Sedangkan kelompok bid’ah sunnah, mubah dan wajib, masuk kelompok bid’ah hasanah. Intinya, pembagian ini mengakui adanya bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Pembagian bid’ah seperti yang dilakukan oleh Abdussalam di atas juga dilakukan Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim. 6

4.Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Fath al-Mubin berpendapat amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dapat diterima amalannya, asalkan ada dalil syara’ yang bersifat umum mendukungnya. Beliau mengatakan :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. 7

5.Senada dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas adalah pendapat Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”8

6.Badruddin al-‘Aini dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan :
“Bid’ah terbagi dua, jika termasuk dalam katagori baik pada syara’ , maka bid’ah hasanah dan jika termasuk dalam katagori keji pada syara’, maka bid’ah mustaqbihah (keji) 9

7.Dr. Wahbah al-Zuhaili (ulama Timur Tengah yang cukup terkenal pada zaman sekarang) mengatakan :
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori terpuji, meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar. 10

C. Dalil bid’ah terbagi kepada hasanah dan dhalalah
1.Firman Allah
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Artinya : Dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.(Q.S. al-Hadid : 27)

Rahbaniyah adalah sikap meninggalkan kehidupan dunia dengan menjauhi perempuan dan menetap dalam gereja.11 Pada ayat di atas, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada orang-orang beriman diantara mereka, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah dan memeliharanya dengan semestinya. Penafsiran seperti ini dapat kita lihat antara lain dalam Tafsir al-Shawy, beliau mengatakan :
“Firman Allah Ta’ala “rahbaniyah ibtatada’uuha” maksudnya adalah orang-orang yang shaleh diantara mereka melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah. “Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”, yakni orang lain yang datang setelah mereka. “Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya”, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah rahbaniyah karena mencari keredhaan Allah. “Dan banyak di antara mereka orang-orang fasik”, yakni orang-orang yang datang setelah mereka. 12

Menurut penjelasan Tafsir al-Shawy di atas, bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yaitu bid’ah rahbaniyah justru mendapat pahala dari Allah Ta’ala karena dilakukan dengan keikhlasan mencari redha dari Allah. Ta’ala. Allah Ta’ala hanya mencela sekelompok orang dari mereka yang tidak memelihara bid’ah itu dengan pemeliharaan yang semestinya, yaitu menambahnya dengan trinitas, kekufuran dan lain-lain. Penafsiran yang serupa dapat kita perhatikan dari penafsiran yang dikemukakan oleh Abubakar al-Jashas, yaitu :
“Allah memberitakan tentang bid’ah yang mereka lakukan yaitu qurbah dan rahbaniyah, kemudian Allah mencela mereka karena meninggalkan pemeliharaan bid’ah itu dengan semestinya melalui firman Allah “Famaa ra’auha haqqa ri’ayatiha”.

Selanjutnya Abubakar al-Jashas mengutip sebuah hadits sebagai pendukung penafsirannya tersebut, yaitu riwayat dari Abi Umamah al-Bahily, beliau berkata :
“Orang-orang Bani Israil melakukan bid’ah yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka hanya karena mereka mencari keredhaan Allah. Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Allah mencela mereka dengan sebab meninggalkan pemeliharaan bid’ah tersebut.” 13

Berdasarkan penafsiran ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah itu tidak selamanya tercela, tetapi sebagiannya justru ada yang dianggap baik, bahkan mendapat pahala dari Allah Ta’ala sebagaimana kisah Bani Israil yang termaktub dalam firman Allah Surat al-Hadid di atas.

2. Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari 14 dan Muslim 15 )

Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”.16

Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah dalam pembahasan di sini. Dengan demikian, hadits di atas dapat menjadi dalil adanya bid’ah hasanah. Penjelasan serupa tentang pengertian perkataan “maa laisa minhu” pada hadits di atas, juga disampaikan Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Artinya adalah suatu pemikiran yang tidak ada ‘azhid (sokongan) yang dhahir atau tersembunyi dari al-Kitab atau as-Sunnah, baik dalam bentuk lafazh maupun hasil istinbath”.

Selanjutnya beliau berkata :
“ Adapun yang ada azhid-nya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.” 17

Ibnu al-Mulaqqan dalam memaknai hadits di atas mengatakan :
”Makna hadits adalah barangsiapa yang mengada-adakan pada syara’ sesuatu yang tidak didukung oleh dalil dari dalil-dalil agama, maka tidak boleh diamalkannya dan tidak melihat kepadanya.” 18

Dipahami dari penafsiran Ibnu Mulaqqan di atas, maka bid’ah yang ditolak adalah bid’ah yang tidak ada dalil dari dalil-dalil agama. Adapun bid’ah yang didukung oleh dalil agama, maka tidak ditolak berdasarkan hadits tersebut, bahkan dapat diterima jika dipahami dari mafhum mukhalafahnya.

3.Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim) 19

Pengertian hadits ini sama dengan pengertian hadits tersebut pada point kedua di atas. Pemahaman adanya bid’ah hasanah dari mafhum mukhalafah dua hadits di atas, juga didukung oleh hadits tersebut dibawah ini.

4.Sabda Rasulullah SAW
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بعده مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئ

Artinya : Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR Muslim) 20

Dalam mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan :
“Pada hadits tersebut ada ajakan sungguh-sungguh memulai melakukan perbuatan kebaikan, melakukan sunnah yang baik dan menjauhi mengada-ada yang bathil dan keji.”

Selanjutnya beliau berkata :
“Hadits ini mengkhususkan sabda Rasulullah SAW ;
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
dan pengertian hadits tersebut adalah muhdats yang bathil dan bid’ah yang tercela.”21

Al-Nawawi telah menjadikan hadits riwayat Muslim yang tersebut pada dalil keempat di atas, sebagai pen-takhshis (yang mengkhususkan) hadits “semua bid’ah adalah sesat”. Dengan demikian, beliau telah menafsirkan perkataan “sunnah hasanah” pada hadits riwayat Muslim tersebut sebagai bid’ah hasanah.
Al-Sanadi, salah seorang tokoh ulama Mazhab Hanafi, setelah menjelaskan bahwa pengertian “sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah jalan yang diridhai serta dijadikan sebagai pedoman, beliau membedakan antara sunnah yang baik dengan sunnah yang keji dengan mengatakan :
Perbedaan antara yang baik dengan yang keji adalah sesuai dengan ushul syara’ atau tidak sesuai” 22

Dengan kata lain, al-Sanadi ingin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah bid’ah hasanah. Karena pengertian bid’ah hasanah adalah sesuatu yang sesuai dengan ushul syara’, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sedangkan bid’ah dhalalah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan ushul syara’.
Namun demikian, ada sekelompok umat Islam, dalam rangka menolak bid’ah hasanah, mereka mengartikan “sunnah” pada hadits tersebut adalah sunnah Nabi SAW yang sudah pernah dilupakan ummat. Sehingga makna hadits tersebut lengkapnya adalah :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”

Jadi, pengertian hadits tersebut bukanlah membuat bid’ah yang baru, tetapi hanya menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang. Pemahaman seperti ini jelas nampak keliru apabila ada keinginan memperhatikan dengan sebaik-baiknya argumentasi di bawah ini, antara lain :
a.Pemahaman tersebut khilaf dhahir hadits. Memahami nash syara’ menurut dhahirnya adalah wajib sebagaimana dimaklumi dalam ushul fiqh, kecuali ada qarinah (keadaan) yang memalingkannya
b.Pemahaman tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah disebut sebelum dan sesudah ini
c.Pemahaman tersebut akan menjadi rancu apabila dihadapkan kepada penggalan kedua dari hadits tersebut. Lengkapnya hadits tersebut dengan penggalan keduanya sebagaimana terdalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut :
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Apabila kita mengikuti pemahaman bahwa maksud hadits tersebut adalah menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang, maka makna “sunnah” pada penggalan kedua dari hadits tersebut juga bermakna sama. Sehingga makna hadits tersebut, lengkapnya kurang lebih sebagai berikut :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang keji dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun

Ini tentunya sama halnya dengan menuduh Nabi SAW mempunyai dua sunnah, yaitu sunnah yang baik dan sunnah yang keji. Padahal itu tidak mungkin terjadi pada Nabi SAW. Oleh karena itu, berdasarkan ini dan dalil-dalil sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pemahaman sekelompok umat Islam tersebut terhadap hadits tersebut adalah keliru.

5.Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa yang melakukan bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan merestuinya dan ia akan ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut melakukannya dengan tidak mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini hadits hasan) 23

Yang dicela dalam hadits ini adalah bid’ah yang disebut dengan sifat dhalalah. Mafhum mukhalafah-nya, bid’ah yang tidak bersifat dengan dhalalah, yaitu bid’ah hasanah merupakan perbuatan tidak tercela.

6.Pengakuan Rasulullah SAW terhadap perbuatan atau perkataan sahabat yang dilakukan atau dikatakan oleh sahabat tanpa bersandar kepada dalil khusus dari al-Kitab atau al-Sunnah.
Penjabaran pernyataan di atas adalah seorang sahabat Rasulullah SAW melakukan (meng-ihdats) suatu tindakan dalam ibadah tanpa menyandarkan kepada dalil khusus, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits, kemudian Rasulullah SAW mengetahui kasus tersebut, beliau diam atau mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau merestui tindakan tersebut. Pengakuan Rasulullah SAW ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah, karena tindakan sahabat yang direstui oleh Rasulullah SAW tersebut meskipun tanpa mempunyai dalil khusus, tetapi didukung oleh dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Tindakan sahabat Nabi SAW yang termasuk katagori ini antara lain :
1). Hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) 24

Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada contoh sebelumnya) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”. 25

Mendatangkan dalam shalat zikir yang tidak bertentangan dengan yang ma’tsur merupakan bid’ah hasanah. Sebaliknya zikir yang bertentangan dengan yang ma’tsur, termasuk bid’ah dhalalah. Karena bid’ah dhalalah merupakan sesuatu yang diada-adakan serta bertentangan dengan dalil-dalil agama.

2). Hadits Anas, beliau berkata :
أن رجلا جاء فدخل الصف وقد حفزه النفس. فقال:الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال: "أيكم المتكلم بالكلمات؟" فأرم القوم. فقال "أيكم المتكلم بها؟ فإنه لم يقل بأسا" فقال رجل: جئت وقد حفزني النفس فقلتها. فقال "لقد رأيت اثني عشر ملكا يبتدرونها. أنهم يرفعها.
Artinya : Dari Anas, beliau berkata : “Seorang laki-laki tiba memasuki shaf (shaf shalat) dengan tersengal-sengal napasnya, lalu berkata : “Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi. Manakala Rasulullah SAW selesai dari shalatnya, beliau bertanya : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?” semua orang terdiam. Rasulullah bertanya lagi : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?”. Tidak ada yang menjawab seorangpun. Maka berkata seorang laki-laki : “Aku tiba dengan tersengal-sengal napasku, karena itu aku katakan kalimat itu”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya aku telah melihat dua belas orang malaikat berebutan mengangkatnya (pahalanya)”(H.R. Muslim)26

Rasulullah SAW tidak mencela sahabatnya mengucapkan Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi dalam shalatnya, bahkan beliau memujinya, padahal ucapan tersebut tidak disandarkan kepada dalil khusus, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah pada saat itu. Hal ini karena tindakan sahabat tersebut masuk dalam dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah.

3). Hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بينما نحن نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ قال رجل من القوم: الله أكبر كبيرا. والحمد لله كثيرا. وسبحان الله بكرة وأصيلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من القائل كلمة كذا وكذا؟" قال رجل من القوم: أنا. يا رسول الله! قال "عجبت لها. فتحت لها أبواب السماء".قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذلك
Artinya : Dari Ibnu Umar, beliau berkata : “Manakala kami shalat bersama Rasulullah SAW, berkata seorang laki-laki yang berasal dari suatu kaum : “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, Rasulullah SAW bertanya : “Siapa yang mengatakan kalimat seperti ini dan seperti ini ?. laki-laki dari kaum itu menjawab : “Aku Ya Rasulullah” Rasulullah bersabda : “Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”. Ibnu Umar berkata : “Aku tidak meninggalkannya selama setelah aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan yang demikian”.(H.R. Muslim)27

Ucapan “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, diucapkan oleh seorang sahabat Rasulullah SAW dalam shalat tanpa menyandarkan kepada al-Kitab dan al-Sunnah. Namun ucapan tersebut mendapat pujian dari Rasulullah SAW, beliau mengatakan :
“Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”

Dengan demikian, peristiwa yang tersebut dalam hadits di atas menunjukkan kepada adanya bid’ah hasanah.

4) Kisah Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci sebagaimana disebut dalam Shahih Bukhari. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-¬orang yang lebih dahulu masuk surga, padahal perbuatan tersebut tidak ada contoh dari Nabi SAW sebelumnya. Riwayat tersebut adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ ، أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepada Bilal pada waktu Shubuh: "Hai Bilal, coba ceritakan kepadaku apa amalan yang paling disukai yang kamu kerjakan dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di sorga.'' Bilal berkata; "Tidak ada amal yang paling di sukai di sisiku melainkan aku tidak bersuci (berwudhu’) pada satu sa’atpun pada malam atau siang kecuali aku shalat dengan kesucian itu sebagaimana telah ditentukan untukku."(H. R. Bukhari) 28

Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Dipahami dari hadits tersebut kebolehan ijtihad mengenai waktu ibadah, karena Bilal telah melakukan apa yang telah kita sebutkan dengan istinbath beliau. Kemudian Nabi SAW membenarkannya.” 29

5). Hadits riwayat Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy, padahal shalat ini tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW sebagaimana digambarkan dalam riwayat di bawah ini :
فَلَمَّا خَرَجُوا بِهِ مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ دَعُونِي أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنْ تَحْسِبُوا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَزِدْتُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا وَاقْتُلْهُمْ بَدَدًا ، وَلاَ تُبْقِ مِنْهُمْ أَحَدًا ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ. فَلَسْتُ أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَىِّ جَنْبٍ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي ، وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ. ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ أَبُو سِرْوَعَةَ عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ فَقَتَلَهُ ، وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا الصَّلاَةَ
Artinya : Ketika mereka keluar dari daerah Haram untuk membunuhnya di daerah Halal, Khubaib berkata kepada mereka: "Biarkanlah aku hendak shalat dua rakaat". Mereka membiarkan Khubaib dan dia shalat dua rakaat, kemudian berkata: "Seandainya kalian tidak menaruh sangkaan bahwa diriku tidak gelisah, niscaya aku berlama-lama shalat. Ya Allah, hitunglah mereka, dengan bilangan (yakni binasakanlah mereka semuanya). Aku tidak peduli, ketika aku terbunuh sebagai muslim, di lambung mana saja, di mana tergeletakku adalah karena Allah. Dan (pembunuhan) demikian adalah dalam Dzat Allah. Dan Bila Dia berkehendak niscaya Dia memberkati sendi-sendi badan yang terpotong-potong."Lalu Khubaib dibunuh oleh (Ugbah bin Harits). Dan adalah Khubaib (orang pertama) yang membuat sunah (amalan) shalat dua rakaat bagi setiap orang Islam yang hendak dibunuh dengan penahanan (diberi kesempatan).30

Khubaib r.a. seorang sahabat Nabi SAW, tentu tidak mungkin melakukan suatu amalan kalau memang amalan tersebut diharamkan. Bahkan beliau wafat sebagai seorang syuhada sebagaimana riwayat di bawah ini ;

Rasulullah SAW bersabda :
هو سيد الشهداء وهو رفيقي في الجنة
Artinya : Khubaib adalah penghulu syuhada dan kawanku dalam syurga”. 31

Namun demikian, tidak semua ihdats (bid’ah) sahabat diterima oleh Rasulullah SAW, tetapi ada juga yang beliau ingkarinya. Hal ini karena bertentangan dengan ruh dan qawaid agama yang bersifat umum. Ini dapat kita simak dari peristiwa antara lain :
1). Perkataan Abdullah bin ’Amr :
قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو بَلَغَنِى أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ فَلاَ تَفْعَلْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda kepadaku : ”Hai Abdullah bin ’Amr, telah sampai berita kepadaku, bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam, maka jangan kamu lakukan itu, karena tubuh, dua mata dan isterimu ada hak atasmu” (H.R. Muslim) 32

Rasulullah SAW mengingkari tindakan sahabat di atas, karena puasa dan shalat sepanjang masa bertentangan dengan sifat agama Islam yang hanif, tidak memberatkan dan lemah lembut.

2). Utsman bin Math’un pernah mencoba hidup dengan tabattul (membujang), tetapi Rasulullah melarangnya, sebab bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan dan qawaid agama yang menganjurkan mempunyai keturunan. Larangan Rasulullah SAW dapat disimak dalam hadits di bawah ini :
سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا.
Artinya : Sa’ad bin Waqash berkata : Rasulullah SAW menolak permintaan Utsman bin Math’un melakukan tabattul (membujang). Seandainya Rasulullah SAW mengizinkannya, maka kami akan mengibiri. (H.R. Bukhari) 33

Beberapa perbuatan sahabat Nabi SAW yang lain yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah, antara lain :
1.Tindakan Utsman bin Affan menambah azan pada shalat Jum’at menjadi dua kali sebagaimana tersebut dalam Kitab Shahih al-Bukhari 34
2.Tindakan Ibnu Umar menambah zikir pada tasyahud dalam shalat sebagaimana riwayat Abu Daud di bawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى التَّشَهُّدِ "التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُه" قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَبَرَكَاتُهُ."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ."وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
Artinya : Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW tentang tasyahud ;

"التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ"
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan :

"وَبَرَكَاتُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ".
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan

“وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
(H.R. Abu Daud) 35

Al-‘Ainy dalam syarah Sunan Abu Daud mengatakan : “sanad ini shahih” 36

Dengan memahami uraian di atas, maka semua hadits yang dhahirnya menunjukkan kepada keumuman tercela bid’ah, harus dipahami bahwa yang tercela itu hanya sebagian bid’ah saja, karena keumuman hadits tersebut sudah dikhususkan dengan dalil-dalil tersebut di atas.Termasuk yang dikhususkan oleh dalil-dalil tersebut adalah hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat(H. R. Muslim) 37

Dengan demikian, makna hadits ini adalah sebagian bid’ah adalah tercela, bukan semuanya. Kesimpulan ini juga didukung oleh keterangan ulama sebagaimana disebut di bawah ini :
1). Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits Nabi SAW, ”Setiap bid’ah adalah sesat” , ini termasuk ‘am makhshus (lafazh umum yang dikhususkan), karena bid’ah adalah setiap amalan yang tidak ada contoh sebelumnya.” 38

An-Nawawi menjelaskan, bahwa tidak setiap bid’ah merupakan amalan yang sesat, karena keumuman pada hadits tersebut dikhususkan hanya kepada sebagian bid’ah, yaitu bid’ah dhalalah, amalan yang yang tidak didukung dalil umum dan khusus dari syara’.
2). Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Syaraf al-Nawawi mengatakan :

”Sesungguhnya lafazh muhdats dan lafazh bid’ah tidak dicela karena namanya, tetapi karena makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan dan tidak dicela yang demikian itu secara mutlaq.” 39

Bid’ah tidak dicela secara mutlak, tetapi hanya yang mengandung makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan saja. Komentar di atas, mafhumnya mengakui adanya bid’ah hasanah.
Namun demikian, ada juga ulama yang menafsirkan perkataan ”kullu bid’ah” pada hadits di atas bermakna mutlaq, yakni dengan makna ”semua bid’ah”, tidak dikhususkan hanya sebagian bid’ah saja. Tetapi berdasarkan pemahaman ini, perkataan bid’ah dipahami sebagai setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung sama sekali oleh dalil syari’at yang sah, baik dalil yang umum maupun yang sifatnya khusus. Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
1.Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 40

2.Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
a.wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
b.haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
c.sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
d.makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
e.mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan minuman. 41
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.

3.Ibnu Katsir membagi bid'ah menjadi dua, yaitu :
a.Bid'ah menurut syar'i , seperti sabda Nabi SAW :
"Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."

b.Bid'ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat tarawih berjama'ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
"Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini.” 42

4.Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela. 43

Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 44

D. Kriteria bid’ah hasanah
Isa bin Abdullah al-Humairy menyebutkan syarat-syarat sesuatu disebut sebagai bid’ah hasanah, yaitu45 :
1.termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah. Ini sesuai dengan manthuq dan mafhum hadits :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak”..(H.R. Bukhari dan Muslim)

Makna urusan agama dalam hadits tersebut adalah urusan yang bersifat ibadah. Oleh karena itu, tidak disebut sebagai bid’ah perbuatan seperti memakai mobil, sepeda motor dan lainnya, meskipun tidak ada contoh sebelumnya pada masa Nabi SAW

2.masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.

3.tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.

4.dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik. Menurut Isa bin Abdullah al-Humairy, syarat terakhir ini telah disebut oleh Badruddin al-’Ainy. Persyaratan ini sesuai dengan hadits :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : Apa saja yang dianggap oleh kaum muslimin baik, maka di sisi Allah juga baik.

Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad dalam Musnadnya. Menurut al-‘Ilaiy, hadits ini mauquf, yaitu perkataan Abdullah bin Mas’ud 46
Hukum tepung tawar/peusijeuk ditinjau dari sudut teori bid’ah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami sebagai berikut :
1.Praktek tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, karena memang menurut pengetahuan penulis, tidak ada riwayat yang shahih yang meriwayatkan adanya amalan tepung tawar/peusijuk dari Nabi SAW atau sahabat.
2.Namun demikian, amalan tepung tawar/peusijeuk ini termasuk dalam jenis tafa-ul (apabila pelakunya meniatkan sebagai tafa-ul) atau termasuk jenis tabarruk (apabila pelakunya meniatkan tabarruk). Mengenai tafa-ul dan tabarruk ini dan alasan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam jenis tafa-ul atau tabarruk sudah dibahas sebelum ini pada masalah tafa-ul dan tabarruk
3.Mengingat tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang dianggap baik oleh umat Islam dan tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, tetapi amalan ini termasuk dalam jenis dan keumuman pensyari’atan tafa-ul dan tabarruk, maka amalan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori bid’ah hasanah sebagaimana dapat dilihat dalam kriteria-kriteria bid’ah hasanah pada pembahasan di atas.

V. Penutup
Di bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba membuat kesimpulan dari pembahasan di atas, yaitu sebagai berikut :
1.Tepung tawar/peusijeuk yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Melayu pada umumnya merupakan amalan tafa-ul yang dianjur dalam Islam
2.Tepung tawar/peusijeuk tersebut dapat menjadi amalan tabarruk apabila orang yang merencanakan acara tersebut meniatkan mencari keberkahan dengan benda-benda yang disentuh oleh orang-orang shaleh
3.Teupung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan bid’ah hasanah, karena amalan tersebut termasuk dalam keumuman disyari’atkan tafa-ul atau tabbarruk, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW
4.Berdasarkan uraian sebelum ini, maka tepung tawar/peusijeuk tidak termasuk dalam amalan menyerupai kafir yang diharamkan (tasyabbuh)

Sebagian umat Islam ada juga mengutip hadits di bawah ini sebagai hujjah kebolehan acara tepung tawar/peusijeuk, yaitu hadits dari Anas, beliau berkata :
قَالَ: جَاءَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَلِكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَسَكَتَ عَنْهُ، أَوْ قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ، فَرَجَعَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتَ، قَالَ: وَمَا ذَلِكَ؟ قَالَ: خَطَبْتُ فَاطِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقَالَ: مَكَانَكَ حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْلُبُ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْتَ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ يَنْتَظِرُ أَمْرَ اللَّهِ فِيهَا، انْطَلِقْ بنا إِلَى عَلِيٍّ حَتَّى نَأْمُرَهُ أَنْ يَطْلُبَ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْنَا، قَالَ عَلِيٌّ: فَأَتَيَانِي وَأَنَا فِي سَبِيلٍ، قَالا: بنتُ عَمِّكَ تُخْطَبُ، فَنَبَّهَانِي لأَمْرٍ، فَقُمْتُ أَجُرُّ رِدَائِي طَرَفٌ عَلَى عَاتِقِي، وَطَرَفٌ آخَرُ فِي الأَرْضِ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ قِدَمِي فِي الإِسْلامِ وَمُنَاصَحَتِي، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ يَا عَلِيُّ؟قُلْتُ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، قَالَ:وَمَا عِنْدَكَ، قُلْتُ: فَرَسِي وَبُدْنِي، يَعْنِي دِرْعِي، قَالَ:أَمَّا فَرَسُكَ، فَلا بُدَّ لَكَ مِنْهُ، وَأَمَّا دِرْعُكَ فَبِعْهَا، فَبِعْتُهَا بِأَرْبَعَ مِائَةٍ وَثَمَانِينَ فَأَتَيْتُ بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهَا فِي حِجْرِهِ، فَقَبَضَ مِنْهَا قَبْضَةً، فَقَالَ:يَا بِلالُ، ابْغِنَا بِهَا طِيبًا، ومُرْهُمْ أَنْ يُجَهِّزُوهَا، فَجَعَلَ لَهَا سَرِيرًا مُشَرَّطًا بِالشَّرَيطِ، وَوِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ، حَشْوُهَا لِيفٌ، وَمَلأَ الْبَيْتَ كَثِيبًا، يَعْنِي رَمَلا، وَقَالَ:إِذَا أَتَتْكَ فَلا تُحْدِثْ شَيْئًا حَتَّى آتِيَكَ، فَجَاءَتْ مَعَ أُمِّ أَيْمَنَ فَقَعَدَتْ فِي جَانِبٍ الْبَيْتِ، وَأَنَا فِي جَانِبٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:هَهُنَا أَخِي، فَقَالَتْ أُمُّ أَيْمَنَ: أَخُوكَ قَدْ زَوَّجْتَهُ بنتَكَ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِفَاطِمَةَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَقَامَتْ إِلَى قَعْبٍ فِي الْبَيْتِ فَجَعَلَتْ فِيهِ مَاءً فَأَتَتْهُ بِهِ فَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهَا:قَوْمِي، فَنَضَحَ بَيْنَ ثَدْيَيْهَا وَعَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا:أَدْبِرِي، فَأَدْبَرَتْ فَنَضَحَ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَعَمِلْتُ الَّذِي يُرِيدُهُ، فَمَلأْتُ الْقَعْبَ مَاءً فَأَتَيْتُهُ بِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ بِفِيهِ، ثُمَّ مَجَّهُ فِيهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِي وَبَيْنَ يَدَيْ، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ادْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ بِسْمِ اللَّهِ وَالْبَرَكَةِ.
Artinya: Abu Bakar datang kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan beliau dan berkata, “Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Abu Bakar berkata, nikahilah aku dengan Fathimah, lantas beliau diam (atau berkata perawi) beliau berpaling darinya, maka Abu Bakar kembali kepada Umar dan berkata kepadanya, celaka aku dan celaka aku, Umar berkata, kenapa demikian? Abu Bakar berkata, aku meminang Fatimah kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW Berpaling dariku. Umar berkata, tetaplah ditempatmu, aku akan menemui Nabi SAW dan memintakan hal serupa. maka datanglah Umar kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan Nabi SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, Engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam, Beliau berkata, lantas ada apa? Umar berkata, nikahi saya dengan Fathimah, Rasulullah SAW-pun berpaling darinya, lalu kembalilah Umar kepada Abu Bakar dan berkata kepadanya bahwa Rasulullah menunggu perintah Allah, mari kita pergi kepada Ali sehingga ia meminta hal serupa. Ali berkata, keduanya mendatangiku, padahal aku sedang berada di jalan. Keduanya berkata, kamu harus meminang anak perempuan pamanmu, maka keduanya memberitahukan kepadaku suatu hal, lalu aku berdiri menjulur ujung rida’ku atas bahuku dan ujung satu lagi atas tanah sehingga aku menemui Nabi SAW dan aku duduk dihadapan Rasulullah SAW, maka aku katakan, Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Lalu aku mengatakan, nikahilah aku dengan Fathimah. Lantas Rasulullah SAW berkata, apa yang ada di sisimu ?Aku menjawab, kuda dan badanku (baju besi), Rasulullah SAW berkata, Adapun kudamu suatu yang sangat penting. Karena itu, juallah baju besimu. Maka aku menjualnya dengan harga empat ratus delapan puluh. Kemudian aku menemui Nabi SAW kembali dan meletakkan harga baju besi tadi pada pangkuan Nabi SAW, lalu beliau mengambilny, kemudian mengatakan, Ya Bilal !, Carilah untuk Fatimah wewangian dan suruh mereka menyiapkan segala sesuatu. Maka dibuatlah tempat tidur yang diikat dengan pita dan bantal dari kulit yang tepinya dipenuhi serabut serta membuat rumah dari pasir. Rasulullah SAW berkata, apabila dia datang kepadamu, maka jangan kamu bilang sesuatupun sehingga aku datang memenuhimu. Kemudian datanglah Fatimah bersama Ummul Aiman yang duduk pada satu sisi rumah dan aku duduk pada sisi lain. Nabi SAW pun muncul dan berkata, Ke sini! Hai saudaraku. Ummul Aiman menyela, saudaramu ingin kamu kawinkan dengan anakmu. lalu Rasulullah kemudian masuk kedalam rumah dan berkata kepada Fatimah, bawakan saya air ! maka Fatimah bangkit mengambil mangkok dalam rumah dengan mengisikan air dalamnya, lalu memberikan kepada Nabi SAW, kemudian beliau meludahi air itu dan berkata kepada Fatimah, Berdirilah! Maka Nabi SAW memercik dengan air antara hadapan dan atas kepalanya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Kemudian berkata, Membelakanglah, maka Fatimah membelakang, lalu Nabi SAW memercik air di antara dua bahunya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah itu, Nabi SAW berkata kepadaku, bawakan aku air. Aku sudah mengerti maksud beliau, maka aku isi mangkok dengan air dan berikan kepada beliau. Beliau mengambil, kemudian meludahinya, lalu memercik air itu atas kepalaku dan di antara hadapanku. Kemudian beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah selesai semua, Nabi SAW berkata, Temuilah isterimu dengan nama Allah dan keberkahan (H.R. al-Thabrany) 47

Namun menurut al-Haitsamy, salah seorang ahli hadits dalam kitab beliau , al-Majma’ al-Zawaid, hadits ini telah diriwayat oleh al-Thabrany dan dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ya’la al-Aslami, sedangkan dia ini dha’if. 48 Hadits di atas juga diriwayat oleh Ibnu Hibban yang sanadnya juga berujung kepada Yahya bin Ya’la al-Aslami 49 Zainuddin al-‘Iraqi juga mengatakan bahwa Yahya bin Ya’la al-Aslami adalah dha’if.50 Dengan demikian, hadist ini kualiatasnya dha’if dan tentunya tidak dapat menjadi hujjah. Andai kata hadits ini shahih, maka perbuatan Nabi SAW memercik air dalam acara perkawinan Ali r.a. dan Fatimah r.a. tersebut merupakan amalan tafa-ul atau tabarruk yang dianjurkan dalam Syari’at Islam.
Perlu menjadi catatan, bahwa anggapan ulama kita bahwa acara tepung tawar/peusijeuk tidak bertentangan dengan Islam, bahkan dianjurkan bukanlah semata-mata karena berhujjah dengan hadits di atas, tetapi adalah karena tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan tafa-ul atau tabarruk sebagaimana sudah dijelas sebelum ini. Oleh karena itu, kalau sebagian ulama kita ada yang mengutip hadits ini, hal itu hanyalah sekedar sebagai penguat dalil-dalil lain yang membolehkan tepung tawar/peusijeuk.

(----Selesai------)

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
2.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
3.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
4.Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li Syarh al-Jami’i al-Shahih, al-Wazarah al-Auqaf wa Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. XIII, Hal. 554
5.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
6.An-Nawawi dalam Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. VII, Hal. 104-105.
7.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
8.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
9.Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qary Syarah al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155
10.Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290
11.Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, di cetak dalam Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
12.Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
13.Abubakar al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 623
14.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
15.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1343, No.Hadits 1718
16.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
17.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
18.Ibnu al-Mulaqqan, I’lam bi Fawaid ‘Umdah al-Ahkam, Darul ‘Ashimah, Juz. X, Hal. 10
19.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1344, No.Hadits 1718
20.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 704-705, No.Hadits 1017
21.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VII, Hal. 104
22.Al-Sanadi, Hasyiah al-Sanadi ‘ala Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 189
23.Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 150-151, No. Hadits : 2818
24.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
25.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
26.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 600
27.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 601
28.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 67, No. Hadits : 1149
29.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 34
30.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 101-103, No. Hadits 3989
31.Dr. Mustafa Khan, Mustafa al-Bagha dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab Imam Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 152
32.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 166, No. Hadits : 2800
33.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 5, No. Hadits : 5073
34.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 8, No. Hadits : 913
35.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 367, No. Hadits : 973
36.Al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 250
37.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 592, No. Hadits 867
38.An-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 519
39.Ibnu Syaraf al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25
40.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
41.Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 12
42.Ibnu Katsir, Tafisr Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. I, Hal. 398
43.Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 253
44.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
45.Isa bin Abdullah al-Humairy, al-Bid’ah al-Hasanah ashl min Ushul al-Tasyri, Hal. 115-120
46.Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Hal. 63
47.Al-Thabrany, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 263-264. No. Hadits : 18454
48.Nuruddin Ali al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IX, Hal. 331, No. Hadits : 15210
49.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 393-395, No. Hadits : 6944
50.Zainuddin al-‘Iraqi, Takhrij Ahadits al-Ihya, Maktabah Syamilah, Juz. I,

PENGERTIAN WAHABI DAN SIAPA MUHAMMAD BIN ADBUL WAHHAB

Orang-orang biasa menuduh "wahabi " kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo'a (memohon) hanya kepada Allah semata.

Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawa-wiyah. Hadits itu berbunyi.

"Artinya : Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah."[Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih]

Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya menurut tradisi di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."

Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, "Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah." Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!"

Penulis lalu bertanya, "Apa dalil anda?" Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd![1]" dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?" Ia menjawab, "Aku berdo'a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."

Lalu penulis berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."

Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."

Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."

Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh."

Kemudian penulis tanyakan jama'ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.

Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata
dalam hati, "Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu' (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati)."

Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,

"Artinya : Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan.", dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.

Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya.

Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur'anul Karim dan sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam . Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf.[2].

Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu
dengan firmanNya,

"Artinya : Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk."[Al-Hujurat: 11]

Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi'i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, "Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah."

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi."

Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, "Inilah syaikh yang sesungguhnya!"

PENGERTIAN WAHABI

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa'ul Husnaa).

Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama'ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur'an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid'ah.

Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini."

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.

Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, serta berdo'a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur'an dan sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Al-Qur'an menegaskan:

"Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." [Yunus : 106]

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

"Artinya : Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." [Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo'a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain
daripada Allah.

[1]. Penentangan Orang-Orang Batil Terhadapnya

Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

"Artinya : Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." [Shaad : 5]

Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhannahu wa Ta'ala menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima[3], padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahullah- telah menulis kitab "Mukhtashar Siiratur Rasuul Shalallaahu alaihi wasalam ". Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur'an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

[2]. Dalam Sebuah Hadits Disebutkan:

" Artinya : Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali Radhiyallahu anhuma dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan seba-liknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

[3]. Sebagian Ulama Yang Adil Sesungguhnya Menyebutkan

Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah", di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah[4] agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo'a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.

[Disalin dari kitab Minhajul Firqah An-Najiyah Wat Thaifah Al-Manshurah, edisi Indonesia Jalan Golongan Yang Selamat, Penulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Penerbit Darul Haq]

Catatan:

Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa'd yang dikuburkan di dalam masjidnya.
Orang-orang Salaf adalah mereka yang mengikuti jalan para Salafus Shalih. Yaitu Rasulullah Shallallahu ˜alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi'in
Sebab yang terkenal dalam dunia Fiqih hanya ada empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.
Kaum Murtaziqoh yaitu orang-orang bayaran.

basmalah Wahabi Penghancur Peradaban Islam

wahabi1.1

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَأْمِنَا اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي يَمَنِنَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي نَجْدِنَا قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَأْمِنَا اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي يَمَنِنَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي نَجْدِنَا فَأَظُنُّهُ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ هُنَاكَ الزَّلَازِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ رواه البخاري، والترمذي، وأحمد وابن حبان في صحيحه

Daripada Abdullah Ibn Umar r.a., beliau berkata: Rasulullah SAW menyebut: Ya Allah! Berkatilah kami pada Yaman kami dan berkatilah kami Ya Allah! pada Syam kami.Maka sebahagian sahabat berkata: Dan pada Najd kami Ya Rasulallah! Rasulullah pun bersabda: Ya Allah! Berkatilah kami pada Yaman kami dan berkatilah kami Ya Allah! pada Syam kami.Maka sebahagian sahabat berkata: Dan pada Najd kami Ya Rasulallah!Dan aku menyangka (seingat aku) pada kali ketiga Rasulullah SAW bersabda: Di sanalah berlakunya gegaran-gegaran, fitnah-fitnah dan di sanalah terbitnya tanduk Syaitan.

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam al-Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hibban dan lain-lain.

najd-is-najd-iraq-is-iraq1
Najd adalah Najad, Iraq adalah Iraq

Inilah berita sedih dan memprihatinkan bagi peradaban Islam dan sejarah peradaban umat manusia secara umum. Pemerintahan Wahabi Arab Saudi telah menghancurkan ratusan situs/tempat sejarah Islam yang telah berusia 14 abad. Semua ini dilakukan semata-mata demi uang dan modernisasi walaupun dibungkus dengan ‘dalil-dalil agama’ versi mereka, bukan dalil-dalil agama yang difatwakan oleh jumhur ulama umat Islam dunia.

Bagaimana bisa dibiarkan begitu saja sepak terjang kaum Wahabi yang merupakan kelompok sangat minoritas dari umat Islam secara keseluruhan ini untuk mengobok-obok warisan peradaban Islam tanpa izin atau musyawarah dulu dengan mayoritas umat Islam dunia ?

Inilah yang akhirnya terjadi ketika orang-orang Arab Badui Nejed menguasai tanah suci Mekah-Madinah setelah berhasil memberontak dari Kekhilafahan Usmani (Ottoman Empire). Pemberontakan yang disokong Inggris ini akhirnya berujung pembentukan negara baru yang bernama Kerajaan Saudi Arabia yang wilayahnya meliputi kawasan Hijaz dan sekitarnya, termasuk dua tanah suci Mekah dan Madinah. Kaum Quraisy yang penduduk asli Mekah pun lama-kelamaan kian tersingkir. Bahkan bani Hasyim juga telah dipaksa bermigrasi ke Yordania (dengan skenario Inggris).

Kini Mekah dan Madinah sudah tak sama lagi dengan Mekah dan Madinah yang kita baca di buku-buku sejarah Islam. Suasana sakralnya makin tergerus oleh suasana hedonisme ala Amerika.

mekah-berubah-mengikuti-rencana-illuminati
Situs Peninggalan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang telah berubah fungsi mengikuti rencana Illuminati dalam menghilangkan perasaan patriotisme umat Islam sebagaimana ditulis oleh Doc Marquis dalam "The (Decoded) Illuminati's Protocols of the Learned Elders of Zion", Bab 25, hal.102.
Gambar: http://najd2.wordpress.com/

Dulu ketika kaum pemberontak Wahabi Nejed ini berhasil menguasai kota suci Mekah dan Madinah setelah mengalahkan pasukan pemerintah Khilafah Usmani, maka para ulama di Nusantara ini pun segera merespons dengan pembentukan ‘Komisi Hijaz’. Respons ini karena para pemberontak Wahabi tersebut telah mulai melakukan perusakan dan penghancuran situs-situs sejarah Islam yang mereka temui di kedua kota suci tersebut.

Namun lama-kelamaan karena kerajaan Wahabi Saudi Arabia ini makin eksis (apalagi dengan dukungan penuh dari Amerika dan Inggris) maka respons tersebut kian kendur. Dan tak terasa sudah sekitar 300 situs sejarah peradaban Islam yang mereka hancurkan.

Akankah ini dibiarkan terus oleh mayoritas umat Islam dunia ?

Seluruh situs sejarah Islam di kedua kota suci tersebut adalah milik umat Islam sedunia. Dan kaum Wahabi yang sekarang menduduki kedua kota suci itu sama sekali tak punya hak untuk mengacak-acaknya seenak perut mereka.

Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain. Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H/1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.

Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat: “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”

Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS: An-Nisa 115)

Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalahasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum mus mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa allimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.

Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, “Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?” Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim.” Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.

Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H/1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.

Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh. Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata: “Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya. Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.

masjid-nabawi-tempo-dulu
Masjid Nabawi Tempo Doeloe

Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum salihin tersebut. Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
masjid-nabawi-sekarang
Masjid Nabawi Sekarang

Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta, namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International maka dibangun perpustakaan. Kaum Wahabi benar-benar tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam. Semula AI-Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimakamkan juga akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah tapi karena ancaman International maka orang-orang biadab itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya. Begitu pula seluruh rangkaian yang menjadi manasik haji akan dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan digeser tapi karena banyak yang menentangnya maka diurungkan.

Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Bahkan sekarang, tempat kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terancam akan dibongkar untuk perluasan tempat parkir. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu digusur. Padahal, disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta Khadijah meninggal.

Islam dengan tafsiran kaku yang dipraktikkan Wahabisme paling punya andil dalam pemusnahan ini. Kaum Wahabi memandang situs-situs sejarah itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Pada bulan Juli yang lalu, Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1.400 tahun Itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah.

“Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun tempat parkir,” katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir. Bahkan sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada 1932. Hal tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis, “Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala.” (Mirip Masonic bukan?)

Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Ar-Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh modernisasi ala Wahabi. Sebaliknya mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata. Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.

Gerakan Wahabi dimotori oleh para juru dakwah yang radikal dan ekstrim, mereka menebarkan kebencian permusuhan dan didukung oleh keuangan yang cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid’ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan, mereka tak pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri. Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para Wali Songo yang menyebarkan dan meng-Islam-kan penduduk negeri ini.

Mereka mengatakan ajaran para wali itu masih kecampuran kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu telah meng-Islam-kan 90 % penduduk negeri ini. Mampukah Wahabi-wahabi itu meng-Islam-kan yang 10% sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari terkaman orang kafir saja tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 % sisanya. Justru mereka dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang dengan nyata bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika bukan karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo untuk berdakwah ke negeri kita ini, tentu orang-orang yang menjadi corong kaum Wahabi itu masih berada dalam kepercayaan animisme, penyembah berhala atau masih kafir. (Naudzu billah min dzalik).

Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-aku sebagai faham yang hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berdalih mengikuti keteladanan kaum salaf apalagi mengaku sebagai golongan yang selamat dan sebagainya, itu semua omong kosong belaka. Mereka telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah dengan membantai ribuan orang di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz (yang sekarang dinamakan Saudi). Tidakkah anda ketahui bahwa yang terbantai waktu itu terdiri dari para ulama yang shaleh dan alim, bahkan anak-anak serta balita pun mereka bantai di hadapan ibunya. Tragedi berdarah ini terjadi sekitar tahun 1805. Semua itu mereka lakukan dengan dalih memberantas bid’ah, padahal bukankah nama Saudi sendiri adalah suatu nama bid’ah” Karena nama negeri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diganti dengan nama satu keluarga kerajaan pendukung faham wahabi yaitu As-Sa’ud.

Sungguh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih BUKHARI & MUSLIM dan lainnya. Diantaranya: “Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana,” sambil menunjuk ke arah timur (Najed). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan)

“Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur (Gundul).” (HR Bukhari no 7123, Juz 6 hal 20748). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Hibban

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah berdo’a: “Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,” Para sahabat berkata: Dan dari Najed, wahai Rasulullah, beliau berdo’a: “Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,” dan pada yang ketiga kalinya beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Di sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk syaitan.” Dalam riwayat lain dua tanduk syaitan.

tanduk-setan

Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian.” Al-Allamah Sayyid AIwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah AI-Haddad menyebutkan dalam kitabnya Jala’uzh Zholam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Akan keluar di abad kedua belas (setelah hijrah) nanti di lembah BANY HANIFAH seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin” AI-Hadits.

BANY HANIFAH adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Saud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid Alwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun mengenai sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang mengisyaratkan bahwa akan ada keguncangan dari arah timur (Najed) dan dua tanduk setan, sebagian, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad Ibn Abdil Wahab. Pendiri ajaran Wahabiyah ini meninggal tahun 1206 H/ 1792 M.

.comments { clear: both; margin-top: 10px; margin-bottom: 0px; line-height: 1em; } .comments .comments-content { font-size: 12px; margin-bottom: 16px; font-family: Verdana; font-weight: normal; text-align:left; line-height: 1.4em; } .comments .continue a, .comments .comment .comment-actions a { display:inline; font-family:Arial, Helvetica, sans-serif; font-size:12px; padding: 2px 5px; text-decoration: none; text-shadow:0 1px 1px rgba(0,0,0,.3); color:#FFF; -webkit-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -moz-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -webkit-border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; border-radius: 3px; margin-right: 10px; border: 1px solid #3079ED; background: #0066FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0099FF), to(#009999)); background: -moz-linear-gradient(top, #0099FF, #009999); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0099FF', endColorstr='#009999'); } .comments .continue a:hover, .comments .comment .comment-actions a:hover { text-decoration: none; background:#0099FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#009999), to(#0099FF)); background: -moz-linear-gradient(top, #009999, #0099FF); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#009999', endColorstr='#0099FF'); } .comments .continue a:active, .comments .comment .comment-actions a:active { position: relative; top:1px; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0066FF), to(#0099CC)); background: -moz-linear-gradient(top, #0066FF, #0099CC); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0066FF', endColorstr='#0099CC'); } .comments .comments-content .comment-thread ol { list-style-type: none; padding: 0; text-align: none; } .comments .comments-content .inline-thread { padding: 0.5em 1em 0 1em; } .comments .comments-content .comment-thread { margin: 8px 0px 0px 0px; } .comments .comments-content .comment-thread:empty { display: none; } .comments .comments-content .comment-replies { margin-top: 1em; margin-left: 40px; font-size:12px; } .comments .comments-content .comment { padding-bottom:8px; margin-bottom: 0px } .comments .comments-content .comment:first-child { padding-top:16px; } .comments .comments-content .comment:last-child { border-bottom:0; padding-bottom:0; } .comments .comments-content .comment-body { position:relative; } .comments .comments-content .user { font-style:normal; font-weight:bold; } .comments .comments-content .user a { color: #444; } .comments .comments-content .user a:hover { text-decoration: none; color: #555; } .comments .comments-content .icon.blog-author { width: 18px; height: 18px; display: inline-block; margin: 0 0 -4px 6px; } .comments .comments-content .datetime { margin-left:6px; color: #999; font-style: italic; font-size: 11px; float: right; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; text-align:none; margin: 15px 0 15px; } .comments .comments-content .owner-actions { position:absolute; right:0; top:0; } .comments .comments-replybox { border: none; height: 250px; width: 100%; } .comments .comment-replybox-single { margin-top: 5px; margin-left: 48px; } .comments .comment-replybox-thread { margin-top: 5px; } .comments .comments-content .loadmore a { display: block; padding: 10px 16px; text-align: center; } .comments .thread-toggle { cursor: pointer; display: inline-block; } .comments .comments-content .loadmore { cursor: pointer; max-height: 3em; margin-top: 3em; } .comments .comments-content .loadmore.loaded { max-height: 0px; opacity: 0; overflow: hidden; } .comments .thread-chrome.thread-collapsed { display: none; } .comments .thread-toggle { display: inline-block; } .comments .thread-toggle .thread-arrow { display: inline-block; height: 6px; width: 7px; overflow: visible; margin: 0.3em; padding-right: 4px; } .comments .thread-expanded .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAAc AAAAHCAYAAADEUlfTAAAAG0lEQVR42mNgwAfKy8v/48I4FeA0AacVDFQBAP9wJkE/KhUMAAAAAElFTkSuQmCC") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .thread-collapsed .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAA AcAAAAHCAYAAADEUlfTAAAAJUlEQVR42mNgAILy8vL/DLgASBKnApgkVgXIkhgKiNKJ005s4gDLbCZBiSxfygAAAAB JRU5ErkJggg==") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .avatar-image-container { float: left; overflow: hidden; } .comments .avatar-image-container img { width: 36px; } .comments .comment-block { margin-left: 48px; position: relative; padding: 15px 20px 15px 20px; background: #F7F7F7; border: 1px solid #E4E4E4; overflow: hidden; border-radius: 4px; -moz-border-radius: 4px; -webkit-border-radius: 4px; border-image: initial; }