Tuesday, 23 August 2011

MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI ,4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN

Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan termasuk daripada meratap" (HR. Ibnu Majah).
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk daripada  meratap" (HR. Ahmad).
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut "niyahah" adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, "Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama'/punya sifat rahmat)" (HR. Bukhari). Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.
Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.
Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada 'illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali. Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan "oncom" sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.   
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi'I atau ulama lain saat mengatakan "akrahu" (saya membenci), "makruh" (dibenci), "yukrahu" (dibenci), "bid'ah munkarah" (bid'ah munkar), "bid'ah ghairu mustahabbah" (bid'ah yang tidak dianjurkan), dan "bid'ah mustaqbahah" (bid'ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum "makruh" untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta'ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo'akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.
Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I'aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo'a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I'anatuth-Thalibiin.
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku "Membongkar Kesesatan Tahlilan" (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali" (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
"Dan di antara bid'ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya" (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
"Di antara bid'ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram" (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)
Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
"Dan di antara bid'ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya." (I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).  

Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan "pengharaman" agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
"… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: 'Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram."

Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis "bodoh", "kufur", dan "syirik" yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi "makruh") sebagaimana termaktub di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك      وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)
(Sayid Bakri Syatha' ad-Dimyathi, penulis I'aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah "apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta'ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta'ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta'ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: 'Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far', apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?" (lihat I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).
Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta'ziyah itu dalam hal mana "mereka menunggu makanan" di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid'ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum "haram" kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.          
Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta'ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta'ziyah yang datang.
Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang "keberatan" dan "beban" keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikitpun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu. Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap "makruh" dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang "makruh" tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo'akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo'akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!
Jika alasan "berkumpulnya orang akan menambah kesedihan" membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah "kebaikan" bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?
Sungguh, hukum "makruh" yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi "menambah kesedihan atau beban kerepotan" meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo'akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.
Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.
********
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid'ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya, "larangan" yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa "larangan" tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri saat beliau minum sambil berdiri. 

WAHABI&SALAFI BERDALIL SECARA SERAMPANGAN

Setelah membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut tuduhan mereka tentang bid'ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman anti bid'ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah seperti memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia.
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid'ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar kesan "salah" pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid'ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid'ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa begitu?
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual). Mau tahu buktinya? Mari kita ambil beberapa contoh.
1.      Dalil tentang tuduhan "menambah-nambahi agama" yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid'ah.

" …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ..." (QS. Al-Maidah: 3)
Agama Islam memang sudah sempurna, siapa pun orang Islamnya tahu itu. Melakukan amal kebajikan adalah perkara yang diperintahkan di dalam agama, meski bentuk kebajikannya tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan menurut agama.
Bagi kaum Salafi & Wahabi, umat Islam yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya dituduh telah "menganggap agama Islam ini masih kurang" alias belum sempurna sehingga mereka tega "menambah-nambahi agama", bahkan dengan begitu mereka dituduh telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama. Sungguh keji tuduhan ini!
Sesungguhnya, tidak seorang pun dari para ulama dan umat pelaku Maulid atau tahlilan itu berniat menambah-nambahi agama, apalagi sampai menuduh Rasulullah Saw. berkhianat. Sungguh hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak mereka, yang ada hanyalah pikiran-pikiran tentang mengupayakan peluang amal kebajikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan begitu diharapkan setiap orang yang ikut serta dalam acara-acara tersebut mendapatkan pahala, ampunan, rahmat, dan pengkabulan do'a dari Allah Swt.
Format acara yang memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau hanyalah suatu wadah yang dibuat secara kreatif untuk melaksanakan amalan-amalan yang sesungguhnya diperintahkan oleh Rasulullah Saw. sendiri, seperti: Bersilaturrahmi, berzikir, bershalawat, mendo'akan orang meninggal, bersedekah, mendengar nasihat atau ilmu, memupuk kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Saw., berdo'a, berbagi rezeki, dan memelihara keimanan serta ketakwaan. Bisa dibayangkan, tanpa acara-acara kreatif seperti itu, apa jadinya keadaan umat Islam di zaman belakangan ini yang nota bene perhatiannya kepada akhirat sangat rendah; cintanya kepada dunia sudah menguasai pikirannya; ditambah lagi acara-acara dunia dan maksiat sudah dikemas jauh lebih kreatif dan menarik.
Kreasi kebajikan yang digagas oleh para ulama itu pun tidak pernah diklaim sebagai "tambahan atas kekurangan agama", melainkan hanya sebagai kegiatan keagamaan yang ditradisikan sebagai adat atau budaya yang dilaksanakan dalam rangka syi'ar agama. Jadi tuduhan kaum Salafi & Wahabi adalah tuduhan berlebihan yang diada-adakan dan tidak ada kenyataannya, sedangkan ayat di atas hanyalah pernyataan dari Allah tentang kesempurnaan Islam, bukan berisi tuduhan menambah-nambahi agama!       
2.      Dalil tentang tuduhan "membuat-buat syari'at".

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? …"(QS. Asy-Syuuraa: 21).

Senada dengan tuduhan "menambah-nambahi agama", ayat ini digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh pelaku Maulid, tahlilan, zikir berjama'ah, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain-lainnya sebagai "pembuat syari'at" yang "tidak diizinkan Allah".
Ada tiga hal yang semestinya mereka sadari tentang tuduhan tersebut:
a.                   Para ulama tidak pernah menganggap bahwa amalan-amalan tersebut sebagai bagian dari ibadah mahdhah atau syari'at kecuali bila benar-benar ada dalil yang menunjukkannya, melainkan hanya sebagai adat atau kebiasaan baik yang mengandung maslahat. Di sinilah pangkalnya kenapa kaum Salafi & Wahabi menuduh demikian, karena mereka selalu menganggap amalan "berbau agama" sebagai "ibadah", di mana ibadah tidak boleh dilakukan kecuali bila ada dalil yang memerintahkannya.
b.                  Ayat di atas jelas-jelas menyebut "sembahan-sembahan selain Allah" yang menunjukkan adanya indikasi "syirik", dan memang ayat ini ditujukan oleh Allah untuk orang-orang musyrik Jahiliyah penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Adalah sangat keterlaluan bila para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan seperti Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh mempunyai "sembahan-sembahan selain Allah" yang telah mensyari'atkan kepada mereka amalan-amalan tersebut. Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi ini bisa dengan seenaknya menuduh saudaranya yang muslim sebagai orang-orang musyrik yang tidak mau menerima syari'at Allah lalu malah mengambil syari'at tuhan selain Allah, padahal mereka jelas-jelas mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji?  
c.                   Kaum Salafi & Wahabi juga menuduh amalan-amalan tersebut sebagai amalan "yang tidak diizinkan Allah". Pertanyaannya, dari mana mereka tahu bahwa amalan tersebut tidak diizinkan Allah, padahal ayat itu tidak menyebut perincian jenis atau macamnya? Tidak cukupkah mereka menipu umat dengan mengatasnamakan tuduhan mereka dengan firman Allah? Sungguh terlalu! Lagipula, para ulama tafsir sudah menjelaskan, bahwa "yang tidak diizinkan Allah" itu maksudnya adalah syirik (menyembah berhala atau menyembah selain Allah), mengingkari pembangkitan di hari Kiamat, atau keyakinan-keyakinan Jahiliyah lainnya.              
3.      Dalil tentang tuduhan "Beragama Tradisi" atau "Fanatik Terhadap Tokoh Bid'ah"

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170).

Ayat ini termasuk dalil pamungkas yang digunakan kaum Salafi & Wahabi untuk menyudutkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai pelaku bid'ah. Di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah hal. 84 disebutkan begini, "Bila mereka diajak untuk mengikuti Kitab al-Qur'an dan Sunnah, dan diajak meninggalkan apa yang mereka kerjakan yang bertentangan dengan keduanya (al-Qur'an dan as-Sunnah) mereka berdalil (berargumen) dengan madzhab-madzhab mereka dan dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek moyang mereka."
Orang awam akan terhenyak mendengar ayat ini, lalu mereka akan membenarkan penjelasan kaum Salafi & Wahabi, kemudian mengikuti pendapat mereka. Padahal lagi-lagi mereka telah melakukan penipuan yang sangat fatal, yaitu:
a.                          Ayat tersebut di atas berbicara tentang orang-orang kafir atau musyrikin penyembah berhala yang tidak mau diajak untuk hanya menyembah kepada Allah dengan alasan mengikuti keyakinan para leluhur dan nenek moyang mereka dalam menyembah berhala. Keterangan seperti ini bisa didapat di dalam kitab tafsir yang mana saja, dan itu berarti para ulama tafsir tidak ada yang berbeda pendapat tentang maksud ayat ini. Hanya kaum Salafi & Wahabi yang mengarahkan maksud ayat itu kepada umat Islam yang mereka tuduh sebagai ahli bid'ah, padahal penafsiran mereka yang semacam inilah yang lebih pantas disebut bid'ah.
b.                         Kaum Salafi & Wahabi, dengan penafsiran ayat di atas, bukan hanya memfitnah orang-orang muslim yang dituduh melakukan bid'ah saja, tetapi juga sekaligus memfitnah guru-guru dan pendahulu mereka atau nenek moyang mereka yang muslim lagi shaleh yang mengajarkan amalan-amalan kebaikan seperti Maulid, tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya berdasarkan prinsip ajaran Islam. Para guru dan pendahulu yang alim dan shaleh itu mereka anggap sebagai orang-orang yang "tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk", padahal ratusan bahkan ribuan jilid "kitab kuning" dalam berbagai cabang ilmu agama telah mereka hasilkan dan telah menjadi hantaran petunjuk bagi banyak orang dari zaman ke zaman.
Salahkah bila seorang muslim ditanya, "Kenapa kamu mengadakan tahlilan atau Maulid?" lalu ia menjawab, "Karena kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh guru-guru kami dan orang-orang tua kami sejak dahulu", sedangkan yang mengikuti dan yang diikuti sama-sama muslim dan sama-sama memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam? Sungguh, hanya orang berpikiran picik saja yang menganggap sama antara orang muslim yang mengikuti jejak pendahulunya yang muslim dengan orang kafir atau musyrik yang mengikuti pendahulunya yang kafir atau musyrik juga.   
c.                          Dengan mengajukan ayat di atas sebagai dalil, kaum Salafi & Wahabi seolah mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang mengikuti " apa yang telah diturunkan Allah", sedang selain mereka tidak. Seharusnya mereka bertanya, apakah Allah menurunkan perintah untuk menyamakan orang muslim dengan orang kafir atau musyrik? Mereka juga seharusnya bertanya, apakah mereka benar-benar tidak mengikuti guru-guru dan pendahulu mereka dalam keterlaluan sikap mereka itu??!
Bila ternyata Allah tidak menurunkan perintah-Nya untuk menyamakan muslim dengan kafir atau musyrik, dan bila sikap yang keterlaluan itu tidak pernah dicontohkan oleh para guru dan pendahulu mereka, maka ajaran siapakah yang mereka ikuti sehingga mereka merasa paling benar dan selain mereka dianggap salah atau sesat? Selama ini, sebagaimana sudah diketahui secara umum, tidak ada yang mengajarkan arogansi seperti itu dalam hal apapun selain iblis, saat ia berkata "Aku lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. Shaad: 76).            
4.      Dalil tentang tuduhan "Mendahului Allah dan Rasul-Nya"

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Hujuraat: 1)

Ayat ini sering dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah para wali, dan lain sebagainya telah "mendahului Allah dan Rasulullah Saw." dalam menetapkan suatu amalan di dalam agama. Dalam bahasa lain, telah berbuat lancang, karena mengadakan sesuatu amalan yang belum diperintahkan oleh Allah atau Rasulullah Saw.
Penggunaan dalil tersebut sepertinya tepat, padahal secara logika sangat tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, mana mungkin disebut mendahului sedangkan yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi sampai hari Kiamat (wahyu al-Qur'an sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw. sudah wafat)? Bisa disebut mendahului apabila ada suatu masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah Saw., lalu ada orang yang berani angkat suara untuk menjawabnya di saat beliau belum menjawabnya; atau Rasulullah Saw. membuat suatu keputusan atau pilihan, lalu ada orang yang mengusulkan agar keputusan atau pilihan itu diganti; atau ada orang yang melakukan suatu amalan sebelum waktunya padahal waktu pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Allah atau Rasulullah Saw seperti: Menyembelih hewan kurban sebelum shalat 'Ied, shalat fardhu sebelum waktunya, dan lain-lain. Intinya, disebut mendahului, bila proses pensyari'atan masih berlangsung di mana wahyu masih turun dan Rasulullah Saw. masih hidup, atau bila ketentuan amalan syari'at yang telah ditetapkan waktunya dilakukan sebelum waktunya tiba.
Lebih fatal lagi kalau tuduhan "mendahului Allah dan Rasul-Nya" ini diartikan bahwa orang-orang yang melakukan peringatan Maulid atau tahlilan sudah melakukan kegiatan tersebut padahal Allah atau Rasulullah Saw. belum menetapkan perintah atau hukumnya. Itu berarti ada pemahaman seolah-olah wahyu masih diharap akan turun dan Rasulullah Saw. masih akan bersabda, hanya saja didahului oleh orang-orang itu. Bukankah proses pensyari'atan sudah selesai, dan bukankah Islam sudah disempurnakan sehingga tidak akan mungkin lagi turun syari'at baru dari Allah atau dari Rasulullah Saw. dalam hal menyuruh atau melarang? Jadi tuduhan "mendahului" ini ngawur, tidak pada tempatnya, terlalu dipaksakan, dan sangat mengada-ngada.       
5.      Dalil tentang tuduhan "Berlebihan Dalam Urusan Agama".
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد)
Rasulullah Saw. bersabda: "Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian  dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama" (HR. Ahmad).

Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi "berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara "amalan bernuansa agama" dengan "amalan di dalam agama".
Para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan-amalan tersebut sesungguhnya tidak pernah menganggapnya bagian dari agama atau syari'at, melainkan hanya sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata "berlebihan", sebab rumusnya di dalam agama, "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah: 120). Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan "berlebihan di dalam agama", sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw" (berlebihan) pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang sebelum kalian".
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar,  yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama."          
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang "berlebihan di dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
 Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: "Tidak ada pahalanya!", "sesat!", "sia-sia", "musyrik!", "kafir!", "masuk neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi agama!", "mengada-ngada!", "haram!", "jangan bergaul dengan ahli bid'ah!", dan lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan "Quburiyyun",   bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan "Abdun-Nabi" (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?
***********

Pembahasan di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang muslim.
Lihatlah satu contoh lagi dalil yang sering mereka gunakan untuk menghukumi orang-orang yang biasa berziarah kubur para shalihin dan para wali yang sering mereka juluki dengan Quburiyyun, atau orang-orang yang bertawassul kepada Allah melalui para wali atau dengan jaah (kemuliaan) mereka, yang dengan itu mereka anggap orang-orang itu telah mengambil "perantara" dalam berdo'a atau beribadah kepada Allah sebagaimana para penyembah berhala (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 212), seperti yang difirmankan Allah sebagai berikut:

"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar." (QS. Az-Zumar: 3).

Benarlah sebagian ulama (seperti Syaikh Ibnu 'Abidin al-Hanafi dan yang lainnya) yang menganggap kaum Salafi & Wahabi ini sebagai bagian dari kelompok "Khawarij" yang dianggap sesat oleh seluruh ulama, di mana salah satu cirinya adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari:
باب قتل الخوراج والملحدين بعد إقامة الحجة عليهم وقول الله تعالى {وما كان الله ليضل قوما بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما يتقون} وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقال إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين (صحيح البخاري، دار ابن كثير، اليمامة بيروت، ج. 6، ص. 2539)
Bab Membunuh kelompok Khawarij dan Mulhidin (kafir/menyimpang) setelah menegakkan hujjah (argumen) atas mereka. Dan firman Allah ta'ala: "Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi" (QS. At-Taubah: 115). Dan adalah Ibnu Umar Ra. memandang mereka sebagai seburuk-buruknya makhluk Allah, dan ia berkata, "Sesungguhnya mereka menelusuri ayat-ayat yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu mereka jadikan (terapkan) ayat-ayat itu atas orang-orang beriman." (lihat Shahih al-Bukhari, Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah Beirut, juz 6, hal. 2539).
.comments { clear: both; margin-top: 10px; margin-bottom: 0px; line-height: 1em; } .comments .comments-content { font-size: 12px; margin-bottom: 16px; font-family: Verdana; font-weight: normal; text-align:left; line-height: 1.4em; } .comments .continue a, .comments .comment .comment-actions a { display:inline; font-family:Arial, Helvetica, sans-serif; font-size:12px; padding: 2px 5px; text-decoration: none; text-shadow:0 1px 1px rgba(0,0,0,.3); color:#FFF; -webkit-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -moz-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -webkit-border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; border-radius: 3px; margin-right: 10px; border: 1px solid #3079ED; background: #0066FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0099FF), to(#009999)); background: -moz-linear-gradient(top, #0099FF, #009999); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0099FF', endColorstr='#009999'); } .comments .continue a:hover, .comments .comment .comment-actions a:hover { text-decoration: none; background:#0099FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#009999), to(#0099FF)); background: -moz-linear-gradient(top, #009999, #0099FF); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#009999', endColorstr='#0099FF'); } .comments .continue a:active, .comments .comment .comment-actions a:active { position: relative; top:1px; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0066FF), to(#0099CC)); background: -moz-linear-gradient(top, #0066FF, #0099CC); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0066FF', endColorstr='#0099CC'); } .comments .comments-content .comment-thread ol { list-style-type: none; padding: 0; text-align: none; } .comments .comments-content .inline-thread { padding: 0.5em 1em 0 1em; } .comments .comments-content .comment-thread { margin: 8px 0px 0px 0px; } .comments .comments-content .comment-thread:empty { display: none; } .comments .comments-content .comment-replies { margin-top: 1em; margin-left: 40px; font-size:12px; } .comments .comments-content .comment { padding-bottom:8px; margin-bottom: 0px } .comments .comments-content .comment:first-child { padding-top:16px; } .comments .comments-content .comment:last-child { border-bottom:0; padding-bottom:0; } .comments .comments-content .comment-body { position:relative; } .comments .comments-content .user { font-style:normal; font-weight:bold; } .comments .comments-content .user a { color: #444; } .comments .comments-content .user a:hover { text-decoration: none; color: #555; } .comments .comments-content .icon.blog-author { width: 18px; height: 18px; display: inline-block; margin: 0 0 -4px 6px; } .comments .comments-content .datetime { margin-left:6px; color: #999; font-style: italic; font-size: 11px; float: right; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; text-align:none; margin: 15px 0 15px; } .comments .comments-content .owner-actions { position:absolute; right:0; top:0; } .comments .comments-replybox { border: none; height: 250px; width: 100%; } .comments .comment-replybox-single { margin-top: 5px; margin-left: 48px; } .comments .comment-replybox-thread { margin-top: 5px; } .comments .comments-content .loadmore a { display: block; padding: 10px 16px; text-align: center; } .comments .thread-toggle { cursor: pointer; display: inline-block; } .comments .comments-content .loadmore { cursor: pointer; max-height: 3em; margin-top: 3em; } .comments .comments-content .loadmore.loaded { max-height: 0px; opacity: 0; overflow: hidden; } .comments .thread-chrome.thread-collapsed { display: none; } .comments .thread-toggle { display: inline-block; } .comments .thread-toggle .thread-arrow { display: inline-block; height: 6px; width: 7px; overflow: visible; margin: 0.3em; padding-right: 4px; } .comments .thread-expanded .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAAc AAAAHCAYAAADEUlfTAAAAG0lEQVR42mNgwAfKy8v/48I4FeA0AacVDFQBAP9wJkE/KhUMAAAAAElFTkSuQmCC") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .thread-collapsed .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAA AcAAAAHCAYAAADEUlfTAAAAJUlEQVR42mNgAILy8vL/DLgASBKnApgkVgXIkhgKiNKJ005s4gDLbCZBiSxfygAAAAB JRU5ErkJggg==") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .avatar-image-container { float: left; overflow: hidden; } .comments .avatar-image-container img { width: 36px; } .comments .comment-block { margin-left: 48px; position: relative; padding: 15px 20px 15px 20px; background: #F7F7F7; border: 1px solid #E4E4E4; overflow: hidden; border-radius: 4px; -moz-border-radius: 4px; -webkit-border-radius: 4px; border-image: initial; }