MEMAHAMI AYAT DAN HADITS DENGAN ILMU ALAT, WAJIBKAH ?
Sebelum saya memberikan kesimpulan tuntas atas permasalahan furu’ yang masih dipersoalkan oleh kawan-kawan salafi wahhabi yaitu tentang hukum sholat di dalam masjid yang ada makamnya,walaupun saya sudah membuat pembahasan tersendirinya, maka sangatah penting saya menjelaskan tentang urgenitasi memahami nash ayat atau hadits dengan tuntunannya yaitu ilmu kaidahnya.
Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya. Terutama ilmu Nahwu, shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“ Sesungguhnya kami menurunkannya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti “ (QS; Yusuf : 2)
Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tsb sebagai berikut :
وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات ،
“ Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh bahasa, paling jelas dan luasnya. Dan paling banyak membawa makna-makna yang sesuai kalimatnya. Oleh karena itu Allah menurunkan paling mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa “.
Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran yang penuh makna hikmah dan mu’jizat dengan jalan tuntunannya yaitu tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang berkaitan dengannya seperti :
1. Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)
2. Ilmu qiraat
3. Ilmu naskhil utsmani
4. Ilmu tafsir
5. Ilmu nasikh wal mansukh
6. Ilmu ghoribil quran
7. Ilmu i’jazil quran
8. Ilmu i’rabil quran
9. Dan selainnya yang berkaitan
Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
“ Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya “.
Maka bermunculan lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari pemahaman yang sebenarnya. Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid pada pemahaman ulama salaf.
Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelajari bahasa arab ??
Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab pada al-Quran itu sendiri. Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz per lafadznya saja tanpa menjelaskan maksudnya. Nah maksud dar ayat al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang berkaitan dengannya. Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.
Dan kitab-kitab tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang berkompeten di bidangnya. Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab), membutuhkan penerjemahannya ke dalam bahasa masing-masing penduduk. Atau mempelajari ilmu bahasa arab untuk mempelajari kitab-kitab tafsir tersebut. Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-benar menguasai ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya. Dan seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.
Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami al-Quran.
Jawabanya :
Rasul Saw bersabda :
تعلموا العربيية وعلموها الناس
“ Pelajarilah bahasa arab dan ajarkanlah ia pada orang-orang “
Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu alat dan ilmu tafsir. Mereka memiliki tahapannya masing-masing.
Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca al-Qurannya. Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran, sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits yang telah di racik oleh para ulama.
Bisa juga melalui pengajian-pengajian, majlis-majlis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya. Ini mrupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw. Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits. Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makan sndiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.
Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat racun atau unsure ksengajaan untuk mencelakakan org lain.
Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu ainnya, maka ia mnginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya dengan dalil-dalilnya.
Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat. Apalgi yang berhubungan lansgung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya.
Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya agama Islam ini. Karena akan banyak timbul pemahaman-pemahamn keliru, salah bahkan mennyimpang dari maksud yang sebenarnya, maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam aliran-aliran sempalan Islam.
Ibnu Taimiyyah berkata :
ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولو سقط لسقط الإسلام
“ Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tdk mau mempelajarinya), maka akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya pemhaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam “
Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini, sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya. Berikut pendapatnya :
واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكن وعلى هذا كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربية لا مع القدرة و لا مع العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون هو القرأن المنزل
“ Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini tidaklah mungkin bisa dilakukan. Oleh karena itu para imam Agama berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya. karena yang demikian itu akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya “
Umar bin Khoththob Ra berkata :
تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران
“ Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran “.
Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan “ Wahai Abu Sa’id, seseorang belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara bicaranya dan bacaan qurannya? Maka Hasan menjawab :
حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجهها فيهلك فيها
“ Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarilah bahasa arab, karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya maka dia celaka di dalamnya “.
Dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :
من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين
“ Brangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajari al-Quran “
Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :
يعني اصول العلم
“ Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) “. (Zubdatul itqan; 143)
Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :
Contoh pertama;
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang pedih “. (Al-Imran : 188)
Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas karya kita.
Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari dan Muslim berikut :
“ Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya dan member tahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah memberitahukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu “. (HR. bukhari dan Muslim)
Contoh kedua :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
“ Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentng apa yang mereka makan “ (Al-Maidah : 93)
Dengan ayat ini Utsman bin Madh’un dan Amr bin Ma’ad berkata “ Khomr itu mubah bagi kita “
Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab nuzulnya yaitu “ Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan “ Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum khomr ?” Maka turunlah ayat tsb. Artinya Allah memaafkan perbuatan yang dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkannya pelarangan khomr.
Contoh ketiga :
افرايت من اتخذ الهه هواه
“ Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya / keinginannya ? ” (Al-Furqan : 43)
Ayat tsb jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya. Artinya tidaklah mengapa menjadikan Tuhan sebgai keinginannya dan ini hal terpuji.
Namun maksud ayat tsb bukanlah demikian, maka ayat tsb mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :
افرايت من اتخذ هواه الهه
“ Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? ”
Inilah maksud yang sebenarnya. Lafadz ilahahu mrupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.
Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya. Demikian pula dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah dari ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesempurnaan bahasa.