Sunday 28 August 2011

Wahabi-Salafi Menentang Syeikh Ibnu Taimiyah itu suatu keanehan.

Tak dipungkiri, banyak umat Islam resah dengan keberadaan Wahabi alias Salafy — demikian mereka menjatidirikan kelompoknya. Cara dakwah yang mereka lakukan, membuat umat Islam gerah. Mereka kerap mencela, bahkan menista ulama besar dan gerakan Islam di luar kelompoknya. Pelbagai tuduhan, hujatan, dan lontaran kata-kata kasar keluar dari mulut kaum Wahabi. Dengan enteng, mereka memberi cap-cap (stigma) buruk dengan sebutan ahlu bid’ah, khurafi, penyembah kubur, gerakan sempalan sesat, kepada tokoh dan gerakan Islam yang bukan kelompoknya. Anehnya,  ketika (ulama) wahabi dikritik gerakan Islam lain karena hujjahnya, mereka tidak rela, bahkan menyerang balik habis-habisan para pengkritiknya.
Sebetulnya, kalau mereka mau menelaah ulang kitab para pendahulunya, seperti Ibnu Taimiyah sebagai tokoh sentral mereka. Mereka akan sadar bahwa Ibnu Taimiyah sendiri tidak se-ekstrem kaum salafi sekarang. Peringatan maulid misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa merayakan maulid dengan dasar cinta Nabi Saw. adalah bernilai pahala. Kaum wahabi berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan perbuatan itu sebagai bid’ah, kurafat, dan pengkultusan yang ujung-ujungnya adalah syirik.
Bagi masyarakat Muslim, jika ada kelompok yang suka menyalahkan, mencaci-maki dan membid’ahkan amalan-amalan ahlussunnah, cukuplah dijawab dengan dalil-dalil imam mereka sendiri, yang akan kita bahas satu persatu. Dijamin, mereka bakal kelabakan dan diam seribu bahasa. Sebab, nyatanya mereka melabrak pendapat-pendapat para imam mereka sendiri.
Berikut kami tunjukkan beberapa bukti yang shahih.
PERTAMA, tentang maulid. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim hal.269 menyatakan bahwa mereka yang mengagungkan maulid mendapat pahala besar karena tujuan baik dan pengagungan mereka kepada Rasulullah Saw..”
Terjemah narasi:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta. Amma ba’du
Peringatan maulid Nabi Saw. itu tergolong bid’ah hasanah. Peringatan semacam ini sudah ditradisikan sejak ratusan tahun lalu. Peringatan ini merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh raja-raja, para ulama’, masayikh. Termasuk para ahli hadits, pakar fikih, orang-orang zuhud, para ahli ibadah dan berbagai individu dari kalangan awam.
Di samping itu, peringatan ini punya dasar kuat yang diambil dengan cara istinbath seperti telah dijelaskan Imam al-Hafid Ibnu Hajar dan para ulama ahlussunnah lainnya.
Diantara bidah dan kesesatan para penentang tawassul, mereka mengharamkan maulid dengan ekstrem. Bahkan seorang tokoh mereka, Abubakar Aljazairi –semoga Allah memberinya petunjuk- menyatakan, sembelihan yang disediakan untuk suguhan maulid lebih haram dari babi. Wal iyadzu billah, semoga Allah melindungi kita dari membenci Rasulillah Saw.
Begitu antinya mereka terhadap maulid. Namun yang menarik, Ibnu Taimiyah sendiri tidak mengharamkan, bahkan dalam sebagian fatwanya dia katakan, “Jika maulid dilaksanakan dengan niat baik akan membuahkan pahala,” artinya sah-sah saja dilakukan.
Marilah kita simak kitab Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim karya seorang filosof mujassim Ahmad ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 hijriah) cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H. Pada hal.269 Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Saw..”
Jika semua ini telah jelas, maka bersama siapakah kelompok sempalan wahabi ini? Mereka tidak bersama ahlussunnah wal jamaah. Tidak pula bersama tokohnya, Ibnu Taimiyah. Sepatutnya mereka mencela diri mereka sendiri, dan bertaubat dari kesesatan mereka selama masih ada kesempatan. Cukuplah sebagai kehinaan, penilaian buruk mereka terhadap hal yang telah disepakati kaum muslimin berabad-abad di penjuru timur dan barat bumi.
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita taufiq untuk menjelaskan hal ini. Semoga salawat dan rahmat Allah tetap tercurah atas Rasulullah Saw..
KEDUA, Ibnu Taimiyah meriwayatkan kisah Abdullah bin Umar yang sembuh dari lumpuhnya setelah ia ber-istighasah dengan memanggil nama Rasulullah Saw..
Terjemahnya:
Alhamdulillah Rabbil Alamin. Salawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw.. Amma ba’du, ini adalah kitab “al-Kalimut Toyyib” karya filsuf mujassim Ahmad bin Taimiyah al Harrani (w.728 H) cet. Darul kutub ilmiyah Beirut 1417 H

“عن الهيثم بن حنش قال كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فخدرت رجله أي أصابها مثل شلل فقال له رجل اذكر أحب الناس إليك فقال يا محمد فكأنما نشط من عقال -أي تعافى فورا-”.

Pada halaman 123 Ibnu Taimiyah berkata
“Dari al-Haitsam bin Hanasy dia berkata, ‘Kami sedang bersama Abdullah bin Umar r.a. tatkala tiba-tiba kakinya mendadak lumpuh, maka seorang menyarankan ’sebut nama orang yang paling kau cintai!’ maka Abdullah bin Umar berseru, ‘Ya Muhammad!’ maka dia pun seakan-akan terlepas dari ikatan, artinya sembuh seketika.”
Inilah yang diterangkan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “al-Kalimut Toyyib” (perkataan yang baik), yakni dia menilai baik semua isi kitabnya.
Yang dilakukan Abdullah bin Umar ini adalah istighatsah dengan Rasulullah Saw. dengan ucapan ‘Ya Muhammad’
Dalam Islam ini diperbolehkan, Ibnu Taimiyah menganggapnya baik, menganjurkannya, dan mencantumkan dalam kitabnya, “al-Kalimut Toyyib”.
Ini menurut wahabi sudah termasuk kufur dan syirik, artinya istighasah dengan memanggil Nabi Saw. setelah beliau wafat adalah perbuatan kafir dan syirik menurut wahabi.
Apa yang akan dilakukan kaum wahabi sekarang? Apakah mereka akan mencabut pendapatnya yang mengkafirkan orang yang memanggil ‘Ya Muhammad’ ataukah mereka tidak akan mengikuti Ibnu Taimiyah dalam masalah ini? Padahal dialah yang mereka juluki Syeikhul islam.
Alangkah malunya mereka, alangkah malunya para imam yang diikuti Ibn Abdil Wahab karena pendapatnya bertentangan dengan pendapat kaum muslimin.
Dalam hal ini, kaum wahabi, dengan akidah mereka yang rusak, telah mengkafirkan Ibnu Taimiyah, karena ia telah menganggap baik hal yang syirik dan kufur menurut anggapan mereka.
Ini semua adalah bukti bahwa mereka adalah kelompok mudzabdzab (plin-plan),  kontradiksi dan menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah
Segala puji selamanya bagi Allah, di permulaan dan penghujung.
KETIGA, dalam Majmu Fatawanya Jilid 4 Hal.379 Ibnu Taimiyah mengakui keberadaan wali qutb, autad dan abdal. Dia juga menegaskan, jika malaikat membagi rejeki dan mengatur alam maka orang-orang saleh bisa berbuat lebih dari para malaikat. Apalagi para wali qutb, Autad, Ghauts, wali abdal dan Nujaba’. 
وَقَدْ قَالُوا : إنَّ عُلَمَاءَ الْآدَمِيِّينَ مَعَ وُجُودِ الْمُنَافِي وَالْمُضَادِّ أَحْسَنُ وَأَفْضَلُ . ثُمَّ هُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ يُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ كَمَا يُلْهَمُونَ النَّفَسَ ؛ وَأَمَّا النَّفْعُ الْمُتَعَدِّي وَالنَّفْعُ لِلْخَلْقِ وَتَدْبِيرُ الْعَالَمِ فَقَدْ قَالُوا هُمْ تَجْرِي أَرْزَاقُ الْعِبَادِ عَلَى أَيْدِيهِمْ وَيَنْزِلُونَ بِالْعُلُومِ وَالْوَحْيِ وَيَحْفَظُونَ وَيُمْسِكُونَ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَفْعَالِ الْمَلَائِكَةِ . وَالْجَوَابُ : أَنَّ صَالِحَ الْبَشَرِ لَهُمْ مِثْلُ ذَلِكَ وَأَكْثَرُ مِنْهُ وَيَكْفِيك مِنْ ذَلِكَ شَفَاعَةُ الشَّافِعِ الْمُشَفَّعُ فِي الْمُذْنِبِينَ وَشَفَاعَتُهُ فِي الْبَشَرِ كَيْ يُحَاسَبُوا وَشَفَاعَتُهُ فِي أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَدْخُلُوا الْجَنَّةَ . ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَقَعُ شَفَاعَةُ الْمَلَائِكَةِ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ قَوْلِهِ : { وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ } ؟ وَأَيْنَ هُمْ عَنْ الَّذِينَ : { وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ } ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِمَّنْ يَدْعُونَ إلَى الْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ ؛ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” { إنَّ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَشْفَعُ فِي أَكْثَرَ مِنْ رَبِيعَةَ وَمُضَرَ } ” ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ الْأَقْطَابِ وَالْأَوْتَادِ والأغواث ؛ وَالْأَبْدَالِ وَالنُّجَبَاءِ ؟
Apakah ini pendapat Ibnu Taimiyah ini tergolong khurafat, takhayul dan bid’ah? Adakah dasarnya dari Qur’an dan Sunnah?
KEEMPAT, tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”.
Hal senada juga diungkapkannya berulang-ulang di kitabnya, Majmu’ Fatawa, diantaranya  pada Jilid 24 hal. 324
KELIMA, tentang tasawuf. Dalam kumpulan fatwa jilid 10 hal. 507, Syeikh Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun para imam sufi dan para syeikh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qadir Jaelani serta yang lainnya. Maka, mereka adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.”
Selanjutnya, pada jilid. 11 hal. 18 Ibnu Taimiyah berkata,

والصواب أنهم مجتهدون في طاعة الله

“Yang benar, para sufi adalah mujtahidin dalam taat kepada Allah.
KEENAM, pujian Ibnu Taimiyah terhadap para ulama sufi. Berikut ini kutipan dari surat panjang Ibnu Taimiyah pada jamaah Imam Sufi Syekh Adi bin Musafir Al Umawi, (Majmu’ Fatawa jilid 3 hal. 363-377). Ini sudah cukup menjadi bukti, begitu hormatnya Ibnu Taimiyah pada kaum sufi.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ أَحْمَدَ ابْنِ تيمية إلَى مَنْ يَصِلُ إلَيْهِ هَذَا الْكِتَابُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ الْمُنْتَسِبِينَ إلَى السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ؛ الْمُنْتَمِينَ إلَى جَمَاعَةِ الشَّيْخِ الْعَارِفِ الْقُدْوَةِ . أَبِي الْبَرَكَاتِ عَدِيِّ بْنِ مُسَافِرٍ الْأُمَوِيِّ ” – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَنْ نَحَا نَحْوَهُمْ –

Dari Ahmad Ibnu Taimiyah kepada penerima surat ini, kaum muslimin yang tergolong Ahlussunnah wal Jamaah, yang bernisbat pada jamaah Syeikh al-Arif, seorang panutan, Yang penuh berkah, Adi bin Musafir Al Umawi

وَلِهَذَا كَثُرَ فِيكُمْ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاحِ وَالدِّينِ..

Karenanya, banyak diantara kalian orang-orang saleh yang taat beragama..

وَفِي أَهْلِ الزَّهَادَةِ وَالْعِبَادَةِ مِنْكُمْ مَنْ لَهُ الْأَحْوَالُ الزَّكِيَّةُ وَالطَّرِيقَةُ الْمَرْضِيَّةُ وَلَهُ الْمُكَاشَفَاتُ وَالتَّصَرُّفَاتُ . وَفِيكُمْ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ الْمُتَّقِينَ مَنْ لَهُ لِسَانُ صِدْقٍ فِي الْعَالَمِينَ

Diantara orang-orang zuhud dan ahli ibadah dari golongan kalian terdapat mereka yang punya kepribadian bersih,  jalan yang diridoi, ahli mukasyafah dan tasarruf. Diantara kalian juga terdapat para wali Allah yang bertakwa dan menjadi buah tutur yang baik di alam raya.
Cermati kata-kata yang dipakai  Ibnu Taimiyah dalam risalahnya berikut: panutan, Abil barakat, berkepribadian bersih,  jalan yang diridoi, ahli mukasyafah dan tasarruf, para wali Allah. Semua itu menyuratkan pengakuan beliau akan kebesaran orang-orang sufi yang bersih hati. Adakah orang-orang wahabi sekarang ini meneladani beliau?
Surat tersebut selengkapnya juga bisa dibaca di Maktabah Syamilah versi 2 Juz 1 hal. 285-286.
KETUJUH, Ibnu Taimiyah mengakui khirqah sufiyah dalam kitabnya, Minhajus Sunnah Jilid 4 Hal. 155

الخرق متعددة أشهرها خرقتان خرقة إلى عمر وخرقة إلى علي فخرقة عمر لها إسنادان إسناد إلى أويس القرني وإسناد إلى أبي مسلم الخولاني وأما الخرقة المنسوبة إلى علي فإسنادها إلى الحسن البصري

“Khirqah itu ada banyak macamnya. Yang paling masyhur ada dua, yakni khirqah yang bersambung kepada Sayidina Umar dan khirqah yang bersambung kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib. Khirqah Umar memiliki dua sanad, sanad kepada Uwais Al-Qarniy dan sanad kepada Abu Muslim Al-Khawlaniy. Adapun khirqah yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, sanadnya sampai kepada Imam Hasan Al-Bashri.
Jelas sudah, Ibnu Taimiyah menyatakan keberadaan sanad khirqah ini. Lantas, apakah beliau punya sanad khirqah? Dalam kitab yang sama beliau memberi jawab,

وقد كتبت أسانيد الخرقة لأنه كان لنا فيها أسانيد

“Aku telah menulis sanad-sanad khirqah, karena kami juga punya beberapa sanad khirqah”
Kini kita telah paham, Ibnu Taimiyah ternyata memiliki khirqah. Tak hanya satu, tapi beberapa. Lantas apakah Syaikh-syaikh wahabi saat ini juga punya khirqah seperti halnya Ibnu Taimiyah?.
KEDELAPAN, Pernyataan bahwa seluruh alam takkan diciptakan kalau bukan karena Rasulullah Saw. bisa dibenarkan. (Majmu’ Fatawa jilid 11 hal. 98)

وَمُحَمَّدٌ إنْسَانُ هَذَا الْعَيْنِ ؛ وَقُطْبُ هَذِهِ الرَّحَى وَأَقْسَامُ هَذَا الْجَمْعِ كَانَ كَأَنَّهَا غَايَةُ الْغَايَاتِ فِي الْمَخْلُوقَاتِ فَمَا يُنْكَرُ أَنْ يُقَالَ : إنَّهُ لِأَجْلِهِ خُلِقَتْ جَمِيعهَا وَإِنَّهُ لَوْلَاهُ لَمَا خُلِقَتْ فَإِذَا فُسِّرَ هَذَا الْكَلَامُ وَنَحْوُهُ بِمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ قُبِلَ ذَلِكَ

“Nabi Muhammad Saw. adalah esensi kedua mata ini. Beliau adalah poros segala pergerakan alam ini. Ia laksana puncak dari seluruh penciptaan. Maka tak bisa ditepis lagi bahwa untuk beliaulah seluruh alam ini diciptakan. Kalau bukan karena beliau, takkan wujud seluruh semesta ini. Bila ucapan ini dan semisalnya ditafsir sesuai dengan Al-Quran dan Hadis maka hendaknya diterima.
Demikianlah sekelumit data dari hasil penelitian obyektif pada kitab-kitab Ibnu Taimiyah sebagai rujukan kaum wahabi. Tak ada sentimen pribadi yang melandasi tulisan ini. Kami hanya berharap semua pihak bisa menerima kebenaran secara obyektif, lalu tak ada lagi sikap cela-mencela di antara sesama muslim. Ibnu KhariQ

Ilmu tauhid yang dasar dari sifat 20 adalah khasanah yang paling berharga bagi seluruh ummat islam

Jika disusuri dari sejarah Islam, kefahaman hakikat ketuhanan ALLah Taala melalui sistematika Sifat 20 adalah satu sistematika yang paling ampuh dalam menanamkan jiwa dan kefahaman Tauhid di dalam dada setiap individu Muslim. Pengajian Sifat 20 adalah satu sistematika pemahaman Tuhan yang mampu menghancurkan segala pemahaman sesat terhadap ALLah Taala yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadith. Pemahaman Sifat 20 sangat tuntas dengan kewajaran akal yang normal, telah membenamkan iktiqad sesat dari Jabbariah, Mu’tazilah, Mujassimah dan lain-lain.
Namun zaman ini pengajian Sifat 20 telah menjadi ditinggalkan oleh umat Islam. Hanya institusi pengajian pondok lama sahaja yang masih meneruskannya. Ilmu Sifat 20 ini hanya didapati dengan mendalam di dalam kitab-kitab tua. Ia berteraskan cara falsafah yang bertunjangkan al-Quran dan kewajaran kejadian dan juga kewajaran akal. Ia cara falsafah kerana ia melibatkan pengkajian dan perbahasan berdasarkan hujah dan bukti samada hujah dan bukti jelas ataupun secara sistematika penjelasan.
Namun umat Islam zaman moden mengatakan pengajian Sifat 20 ini sudah ketinggalan zaman. Seorang ulama di sebuah negeri Pantai Timur pernah mengatakan demikian. Dan gulungan yang dilabel sebagai Modenis Islam, Salafi dan Wahabi pula mengatakan kaedah pelajaran Tauhid Sifat 20 adalah bida’ah dan mengundang jalan ke neraka, kerana setiap yang bida’ah itu sesat. Dan kitab-kitab Tauhid Sifat 20 dikatakan kitab kuning dan kitab gundul.
Penulis melihat inilah kesilapan besar umat Islam zaman ini dalam pencarian Tauhid mereka. akibatnya mereka sendiri tidak mengenal Zat Tuhan mereka. mereka hanya menerima kalimat-kalimat al-Quran tentang ALLah Taala seperti (maaf) burung kakak tua. Penulis tidaklah mengatakan setiap ayat al-Quran itu mesti dibahaskan sebelum diyakini dan diamalkan. Namun al-Quran bukanlah static semuanya. Sami’na wa atho’na ada tempatnya yang khusus dan perbahasan adalah melalui pencarian kebenaran kepada perkara yang diperselisihkan dan dalam pencarian hikmah.
Kristen memberikan statement Tuhan mereka secara jelas. Tuhan dikatakan “keujudan” dan Dia menyatakan “keujudan”Nya dengan peribadi yang tiga atau trinity. Umat Islam membantah dengan mengatakan ia syirik. Namun majority umat Islam masakini tidak mengenal Zat, Sifat, Asma’ dan Af’al ALLah Taala itu sendiri.
Seorang ulama muda berkata “pendukung Sifat 20 mengatakan sesiapa yang tidak belajar Sifat 20 imannya tidak sah”. Penulis mengatakan, bukan soal sah atau tidaknya tetapi soalnya ialah sejauh mana kefahaman umat Islam tentang ALLah Taala itu sendiri, siapakah dan apakah ALLah Taala itu. Nah, di sini akan timbul persoalan bahawa Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam tidak pernah mengajar Sifat 20, apakah iman Nabi dan Sahabatnya tidak sah?
Ulama Islam berperang dalam mempertahankan bida’ah atau tidaknya dan sesat atau benarnya sistematika Tauhid Sifat 20 ini. Dan ia terus ditinggalkan sedikit demi sedikit hingga sampai satu zaman umat Islam generasi muda tidaklah dapat mempertahankan ALLah Taala itu dari penghinaan melalui kaedah perbahasan. Yang hanya mampu dilakukan ialah berdemontrasi dan menunjukkan muscle lengan dan penumbuk.
Dimanakah ulama dan master Islam keluaran university yang begitu ramai? Dimanakah suara cerdik pandai yang begitu pintar menyesatkan beberapa amalan seperti thariqat khususiah sufiah yang berdasarkan al-Quran dan Hadith, mengatakan sistematika sifat 20 adalah bida’ah? Kaum Kristen mengemukakan hujah yang berlegar di kolong langit, tetapi tiada ulama tahap master menanggapinya. Yang ada hanyalah Muslim picisan seperti penulis ini.
Mengapakah umat Islam umum jahil dengan Tuhan mereka sendiri? Disinilah letaknya kesilapan ulama, cerdik pandai dan master sekelian yang gagal memberikan kefahaman Tuhan kepada umat sekeliannya dengan kadar meluas dan menurut teknologi semasa.
Demikian juga kepada pehak yang diangkat oleh rakyat sebagai penguasa, juga bertanggung jawab kerana melupuskan pengajian ini di kalangan rakyat. Penguasa menyediakan hujah jawaban melalui Institusi Agama namun ia tidak disebar luaskan untuk menjadi senjata umat Islam, hanya untuk dijadikan arkib. Dan apabila disiarkan di media elektronik, ia disiarkan ketika umat Islam telah tidur ditengah malam.
Kitab kuning Tauhid dianggap kitab gundul yang ketinggalan zaman… . Namun akan tiba masanya kitab gundul ini akan dicari semula. Akan sampai masanya kitab gundul ini akan diangkat semual martabatnya ke tempat tinggi sesuai dengan ketinggian isinya.
Maaflah jika penulis menulis dengan agak emosi. Kadang-kadang orang tidak akan bangun di waktu pagi dari tidur hanya dengan panggilan, tetapi kadang-kadang perlu dengan sepakan. Berkata salah seorang rakan dan guru penulis iaiatu al-Marhum ustadz Adham bin Che Kob. Katanya “Ayahku (seorang guru pondok) membangunkan aku diwaktu subuh bukan dengan gerak tangan tetapi sepakan kaki. Dengan kaki itulah menjadi wasilah ketaatanku. Dan aku adalah seorang ustadz dengannya”.
Wassalam

Azab kubur menurut Islam

Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat beri’tiqad bahwa orang-orang kafir dan orang-orang beriman yang berbuat maksiat akan mendapat azab kubur dengan kehendak Allah. Yang dimaksud dengan kubur di sini adalah alam barzakh, bukan hanya kuburan saja. Disebutkan azab kubur, karena mengingat ghalib (kebiasaan). Keyakinan seperti ini sesuai dengan keterangan Ahmad al-Shawi, salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Maliki, yaitu :
“Termasuk yang wajib mengimaninya adalah membenarkan azab kubur. Yang dimaksud dengan qubur adalah alam barzakh. Disandarkan kepada kubur, karena itu merupakan kebiasaan. Jika bukan karena mengingat kebiasaan, maka setiap mayat yang diiradah oleh Allah mengazabnya, Allah akan mengazabnya, baik dikubur atau tidak, meskipun dia telah dimakan oleh binatang atau telah terbakar ataupun telah diterbang di udara”.1

Keterangan ulama lain mengenai azab kubur, antara lain :
1. Imam an-Nawawi mengatakan :
“Dalam bab ini (Bab Sunat Ta’auz dari Azab Kubur dan Azab Jahannam dari Kitab Shahih Muslim) dapat dipahami penetapan azab dan fitnah kubur. Ini adalah mazhab ahlul haq, khilaf dengan Mu’tazilah.”2

2. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan :
“Termasuk yang wajib dii’tiqadkan adalah azab kubur dan nikmatnya.”3
3. Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah telah menulis muqaddimah untuk kitab Al-Baihaqi, Istbat ‘Azb al-Qabri, dalam Muddimah tersebut, beliau mengatakan :
“Sepakat Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa manusia ditanyai di dalam kuburannya dan diberi nikmat atau azab di dalamnya. Itu terjadi atas ruh dan jasad.”4

4. Imam al-Ghazali, setelah menyebut i’tiqad adanya azab kubur sebagai pokok kepercayaan agama, beliau berkata :
“Telah masyhur dari Rasulullah SAW dan Salaf al-Shalih tentang isti’azah (minta perlindungan dari azab kubur) dan itu memungkinkan, oleh karena itu, wajib membenarkannya.”5
Kewajiban mengi’tiqad adanya azab kubur ini karena banyak ayat al-Qur’an dan hadits mutawatir yang menjadi dalil penetapannya. Pengarang Syarah al-‘Aqidah al-Thahawiyah mengatakan :
“Sesungguhnya hadits Rasulullah SAW mengenai penetapan azab kubur dan nikmatnya bagi ahlinya adalah mutawatir. Demikian juga pertanyaan dua malaikat (dalam kubur). Oleh karena itu, wajib mengi’tiqad penetapan azab kubur dan mengimaninya”6

Al-Baihaqi, dalam Kitab Istbat ‘Azb al-Qabri telah mengumpulkan hadits-hadits yang menunjukan kepada adanya azab kubur yang diriwayat oleh tiga puluh sembilan sahabat Nabi. Tabi’in dan Tabi’ al-tabi’in yang meriwayat dari mereka melebihi dari jumlah para sahabat Nabi tersebut.7

Dalil-dalil adanya azab kubur dalam al-Qur’an, antara lain :
1.Firman Allah Q.S. al-An’am : 93

وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آَيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
Artinya : Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.(Q.S. al-An’am : 93)

Ini merupakan perkataan yang diajukan kepada mereka pada saat mati. Para malaikat mengabarkan bahwa pada saat itu orang-orang yang dhalim itu diberi pembalasan, berupa penyiksaan yang hina. Seandainya siksaan itu ditunda hingga kiamat tiba, sungguh tidak dikatakan : “Di hari ini kalian di balas”. Ibnu Abbas pada ketika menjelaskan ayat di atas, mengatakan :
“Ini adalah pada ketika maut” 8

2.Firman Allah Q.S. al-Sajdah : 21
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya : Dan Sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).(Q.S. al-Sajdah : 21)

3.Firman Allah Q.S. Thaha : 124
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Artinya : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (Q.S. Thahaa : 124)

Berkata Jalalain :
“Ditafsirkan مَعِيشَةً ضَنْكًا dalam hadits dengan azab orang kafir dalam kuburnya.”9

4.Firman Allah yang mengisahkan kaum Fir’un dalam Q. S. al-Mukmin : 46
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Artinya : Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat) : “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras (Q.S. Ghafir : 46)

Al-Qurthubi mengatakan :
“Jumhur ulama mengatakan bahwa penampakan neraka itu terjadi di alam barzakh” 10
5. Firman Allah yang mengisahkan kaum Nuh dalam Q.S. Nuh : 25

مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْصَارًا
Artinya : Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka tenggelam lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.(Q.S. Nuh : 25)

Huruf ‘fa’ menunjukkan berurutan, maka masuk neraka tersebut sehabis tenggelam yang terjadi di alam barzakh, sebelum hari qiamat.

Hadits-hadits yang membicarakan tentang azab qubur, antara lain :
Hadits-hadits mengenai azab kubur adalah hadits ahad tetapi ia termasuk dalam mutawatir dari sudut makna, yaitu antara lain :
1. Sabda Rasulullah SAW :
إذا فرغ أحدكم من التشهد الآخر فليتعوذ بالله من أربع من عذاب جهنم ومن عذاب القبر ومن فتنة المحيا والممات ومن شر المسيح الدجال
Artinya : Apabila seseorang kamu telah selesai dari tasyahud akhir, maka hendaklah berlindung dengan Allah dari empat, yaitu dari azab jahannam, azab kubur, fitnah kehiduapan dan kematian dan keburukan al-Masih al-Dajjal. (H.R. Muslim)11

2. Hadits riwayat Aisyah r.a., beliau berkata :
دخلت على عجوزان من عجز يهود المدينة. فقالتا: إن أهل القبور يعذبون في قبورهم. قالت: فكذبتهما. ولم أنعم أن أصدقهما. فخرجتا. ودخل علي رسول الله صلى اله عليه وسلم فقلت له: يا رسول الله! إن عجوزين من عجز يهود المدينة دخلتا على. فزعمتا أن أهل القبور يعذبون في قبورهم. فقال "صدقتا. إنهم يعذبون عذابا تسمعه البهائم". قالت: فما رأيته، بعد، في صلاة، إلا يتعوذ من عذاب القبر.
Artinya : Dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku. Keduanya berkata: penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Aku pun menganggap keduanya tidak benar. Aku merasa tidak senang membenarkan perkataan keduanya, kemudian keduanya keluar. Kemudian Rasulullah saw. datang menemuiku dan aku berkata: Wahai Rasulullah, dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku, mereka meyakini bahwa penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Beliau menjawab: Mereka benar. Sesungguhnya penghuni kubur akan disiksa dengan siksaan yang dapat didengar oleh hewan ternak. Setelah itu aku lihat beliau selalu mohon perlindungan dari siksa kubur setiap salat. (H.R. Muslim) 12

3. Hadits riwayat Bukhari :
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَسْعَى بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ قَالَ ثُمَّ أَخَذَ عُودًا رَطْبًا فَكَسَرَهُ بِاثْنَتَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى قَبْرٍ ثُمَّ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Rasulullah SAW pernah melewati dua kuburan, beliau bersabda : “Sesungguhnya keduanya itu sedang diazab dan mereka berdua tidaklah diazab disebabkan dosa-dosa besar yang mereka lakukan tetapi disebabkan salah seorang mereka memecah belahkan masyarakat dengan adu domba dan salah seorang lagi tidak dapat menutup air kencingnya. Kemudian Rasulullah mengambil kayu gaharu yang belum kering dan membelah dua. Kemudian memancang keduanya pada kubur. Kemudian beliau bersabda : “mudah-mudahan meringankannya selama belum kering kedua kayu itu. (H.R. Bukhari)13

4. Berkata Aisyah r.a
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى صَلَاةً إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Artinya : Tidak pernah aku melihat Rasulullah SAW kecuali berdo’a berlindung dari azab qubur setelah shalatnya (H.R. Bukahri)14

5. Banyak lagi hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan adanya azab kubur.

DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad al-Shawy, Syarah al-Shawy ala Jauharah al-Tauhid, Dar Ibnu Katsir, Beirut, Hal. 96
2.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. V, Hal. 85
3.Muhammad Amin al-Kurdy, Tanwirul Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 58
4.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 8
5.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 114
6.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
7.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
8.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi , Darul Furqan, Hal. 10
9.Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dalam Tafsir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. III, Hal. 68
10.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
11.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 412, No. hadits : 588
12.Imam Muslim, Shahih Muslim, Makatabah Dahlan, Juz. I, Hal. 411, No. Hadits : 586
13.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 99, No. Hadits : 1378
14.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 98, No. Hadits : 1372

Anak kafir dan hukumnya

Yang dimaksud dengan Anak kafir di sini adalah anak-anak yang belum baligh dimana orangtuanya adalah kafir. Adapun statusnya adalah kafir di dunia dan mukmin di akhirat. Berikut keterangan ulama mengenai kedudukan anak kafir, antara lain :
1.Berkata Sayyed Abdurahman bin Muhamaad Ba’lawy :
“ Anak-anak dari orang kafir adalah kafir pada hukum dunia dan muslim pada hukum akhirat. Demikian ‘Ubab.” 1

2.Berkata Qalyubi dalam Hasyiah Qalyubi wa Umairah :
“ Anak kafir yang meninggal sebelum baligh akan masuk syurga menurut pendapat yang lebih shahih dan menjadi khadam bagi penghuni syurga.” 2

3.Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan :

“Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan anak kafir apabila mati, kebanyakan ulama menyebutkan mereka dalam neraka. Sekelompok ulama mengatakan tidak kami ketahui hukumnya dan ulama yang tahqiq mengatakan mereka itu dalam syurga. Pendapat terakhir ini yang sahih dan terpilih, karena mereka tidak mukallaf dan dilahirkan dalam keadaan fithrah. Timbangan ini sebagaimana berkata Syaikhuna dan lainnya sesungguhnya mereka itu pada hukum dunia adalah kafir, maksudnya mereka itu tidak dishalatkan dan tidak dikebumikan dalam perkuburan muslimin dan dalam negeri akhirat mereka adalah muslim, maka masuk syurga. 3

Dalil fatwa ini adalah hadits diriwayat dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ وعن الصبي حتى يكبر
Artinya : Terangkat (tidak diperhitungkan) kalam dari tiga orang, yaitu orang tertidur sehingga ia terbangun, orang gila sehingga ia sembuh dan anak-anak sehingga ia besar.(H.R. Abu Daud, an-Nisa’i, Ahmad, Darulquthni, al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah) 4

Al-Hakim mengatakan, hadits ini shahih dengan syarat Muslim 5

Bersabda Rasulullah SAW :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang mengyahudikannya atau menashranikannya ataupun memajusikannya (H.R. Bukhari 6 dan Muslim 7)

DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed Abdurahman bin Muhamaad Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 92
2.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 128
3.Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 323
4.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Mauqa’ al-Ya’sub, Juz. IV, Hal. 46-47, No. Hadits : 4462
5.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 225
6.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 182, No. Hadits : 1296
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 127, No. Hadits : 4803

Menyimpan patung di dalam rumah sebagai hiasan

Menyimpan patung dalam rumah, hukumnya adalah haram. Dalilnya antara lain :

1. Menyimpan patung dalam rumah merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Sedangkan menyerupai perbuatan jahiliah adalah terlarang sebagaimana firman Allah :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (Q.S. Al Ahzab : 33).

2. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ
Artinya : Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada patung (H.R. Bukhari)1

3. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW melarang dari harga darah, harga anjing dan usaha pelacuran dan melaknat pemakan riba, wakilnya, pembuat tato, yang memintanya dan pembuat patung (H.R.Bukhari)2

4. Sabda Nabi SAW :
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
Artinya : Barangsiapa yang membuat patung di dunia, maka pada hari kiamat, diperintahkan kepadanya meniup ruh pada patung itu, padahal dia tidak mampu meniupnya. (H.R. Bukhari)3

5. Sabda Nabi SAW
.أن لا تدع تمثالا إلا طمسته ولا قبرا مشرفا إلا سويته
Artinya : Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau telah membuatnya menjadi tidak berbentuk, dan jangan pula meninggalkan kuburan yang menjulang tinggi kecuali engkau meratakannya )H.R. Muslim) 4

Menurut Imam Nawawi, hadits di atas menunjukkan adanya perintah merobah patung hewan yang bernyawa”.5 Maksudnya perintah merobah patung dari bentuknya kepada bentuk yang tidak sebut lagi sebagai patung. Dengan demikian, dipahami dari makna hadits ini, bahwa gambar makhluk hidup yang tidak timbul, hanya dalam bentuk tulisan dan goresan tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan. Pemahaman seperti ini lebih tegas lagi dapat dipahami dari hadits dari Abu Hurairah yang tersebut dalam sunan-sunan hadits, yaitu hadits telah ditashihkan oleh Turmidzi dan Ibnu Hibban, yakni sabda Rasulullah SAW :
أتاني جبريل فقال: أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت قرام ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على باب البيت يقطع فيصير كهيئة الشجرة، ومر بالستر فليقطع فليجعل منه وسادتان منبوذتان توطآن، ومر بالكلب فليخرج، ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya : Jibril pernah mendatangiku sambil berkata : “Aku mendatangimu semalam. Tidak ada yang menghalangiku masuk kecuali ada patung di pintu rumah dan di dalam rumah terdapat kain tirai yang ada patung dan juga ada anjing di dalamnya, maka suruhlah untuk menghilangkan kepala patung yang ada di rumah itu sehingga menjadi seperti bentuk pohon dan suruhlah potong tirai itu dengan dijadikan menjadi dua bantal yang dijadikan sandaran serta suruh keluarkan anjing tersebut. Kemudian Rasulullah SAW melakukan semuanya itu 6

Berdasarkan dua hadits terakhir ini dan sesuai pula menurut pemahaman Imam al-Nawawi di atas, maka keharaman membuat atau menyimpan patung tersebut tidaklah mencakup patung-patung yang sudah dirobah sehingga tidak berbentuk lagi sebagai layaknya sebuah patung. Demikian juga halnya gambar, lukisan makhluk hidup yang hanya dalam bentuk tulisan dan goresan-goresan. Dengan demikian, maka ia tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan.

DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 168, No. Hadits : 5958
2.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5962
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5963
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 666, No. Hadits : 969
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz VII,Hal. 36
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz.10, Hal.392

Friday 26 August 2011

Syarat untuk menjadi mujtahid

”Syarat muthlak bagi orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, ialah pandai, sekali lagi pandai. Tidak mungkin si Awam akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau si Awam mencoba hendak menjadi Mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancurlah agama dan akan porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal.
Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam Negara Hukum ?
Sudah pasti tidak.
Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi Hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan “Hukum Rimba”, yang berdasarkan Siapa kuat siapa di atas.
Di dalam hukum Islam juga begitu.
Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat.
Syarat-syarat itu adalah :
Syarat Pertama, mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Qur’an dan Hadits, diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas dan dalam.
Tuhan berfirman :
Artinya : “Kami, kata Allah, menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu fikirkan dan teliti.” (Surat Yusuf : 2)
Tuhan berfirman pula :
Artinya : “Begitulah kami turunkan Al-Qur’an berisi hukum-hukum peraturan dalam bahasa Arab”. (Ar Ra’d : 37)
Orang yang tidak belajar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-hukum dalam Al-Qur’an. Ini logis.
Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak.
Al-Qur’an itu dalam bahasa yang fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daerah Arab, atau katakanlah tidak sama dengan “bahasa Arab Tanah Abang”.
Orang Arab sendiri yang tidak mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Qur’an sedalam-dalamnya.
Jadi harus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa, seumpama Nahwu, Saraf, Bayan, Badi’, Balagah, ‘Arudh dan Qawafi, karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang mana dalam ayat-ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan, yang larangan, yang pertanyaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain lain sebagainya.
Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-Qur’an, yakni diketahui lebih dahulu mana diantara ayat Al-Qur’an itu yang umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam, yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya.
Untuk mengetahui hal ini semuanya calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu Usul Fiqih, kalau tidak, tidaklah mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja kepada salah seorang Imam Mujtahid.
Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang kami katakan di atas, bahwa jabatan Imam Mujtahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama.
Syarat yang ketiga bagi Imam Mujtahid ialah mampu menghafal dan mengerti akan isi dan maksud Al-Qur’an keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berjihad dalam sesuatu masalah semua isi dari Al-Qur’an terbayang di kepalanya, sehingga tidak menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dari ayat-ayat Al-Qur’an itu.
Imam Syafi’i Rhl. dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat Al-Qur’an di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-Qur’an di luar kepala semasa beliau masih kecil.
Adalah tidak mungkin bagi seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja, karena ayat-ayat Al-Qur’an sangkut-bersangkut antara satu dengna yang lainnya. Untuk menggambarkan kesulitannya, baiklah kami nukilkan perkataan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir “Ahkamul Qur’an”, bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita (Ahkamul Qur’an, jilid I, halaman 8).
Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui “Asbabun-nuzul” bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan.
Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Qur’an bukan diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur selama 23 (dua puluh tiga) tahun.
Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujah musuh, untuk suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu.
Ini dinamai “Asbabun-nuzul”, yaitu sebab-sebabnya turun.
Setiap Imam Mujtahid harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam mengartikan ayat-ayat itu.
Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits Nabi, sekurangnya apa yang telah termaktub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6, yaitu : 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim, 3. Sahih Tirmidzi, 4. Sunan Nisai, 5. Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah.dan jumlah sekurang-kurangnya 30.000 hadist.
Dan sebaiknya mengerti juga hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim. Sahih Ibnu Habban, Sahih Tabhrani, Sunan Daruquthni dan lain-lain sebagainya.
Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih itu bersumber kepada Qur’an dan Hadits, bukan kepada Qur’an saja, atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Qur’an dan Hadits.
Syarat yang ke-enam bagi setiap Imam Mujtahid ialah berkesanggupan menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih, mana yang maudhu’ (yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, mana hadits yang lemah.
Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si “Rawi”, yakni keadaannya orang yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah lain-lain sebagainya.
Syarat ketujuh, mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah-masalah yang dihadapi.
Ini sangat perlu agar setiap Imam Mujtahid tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma’, yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.
Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu saleh yang bertaqwa kepada Tuhan, berbudi dan berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabur, tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.
Nah, cobalah ukur diri kita masing-masing, apakah kita sudah mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi Imam Mujtahid atau belum. Kalau sudah cukup, benar-benar cukup, silahkanlah menjadi Imam Mujtahid dan tampillah ke muka secara terus terang mengatakan : “Inilah ijtihad saya” !
Rakyat yang banyak ini, yang kebanyakannya sudah cerdas pula, tentu akan memberi angka pula, yakni apakah benar-benar orang ini sudah berhak menjadi Imam Mujtahid, ataukah masih “taqlid” kepada ulama-ulama lain.
Akan tetapi, kalau umpamanya belum memenuhi syarat di atas janganlah buru-buru, belajarlah dulu sampai matang. Ketika itu ikut sajalah salah seorang dari Imam Mujtahid yang terdahulu, umpamanya Imam Syafi’i Rhl., misalnya.
Mengikuti Imam Mujtahid itu pada hakikatnya adalah mengikut Qur’an dan Hadits dalam arti kata yang sebenarnya, kata Syeikh Yusuf Dajwi, seorang ulama besar mesir.
Masih adakah Imam Mujtahid ?
Satu soal yang ramai dibicarakan dalam dunia Islam pada masa terakhir ini ialah, persoalan tentang masih ada atau tidakkah Imam Mujtahid pada waktu sekarang atau pada waktu-waktu yang akan datang ?
Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, lebih baik kita ketahui dahulu bahwa derajat Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahid penuh) adalah derajat yang tinggi, sukar dicapai oleh sembarang orang, apalagi kalau orang itu tidak pernah belajar “pendidikan Agama Islam” dalam arti yang sebenarnya.
Betapa tidak, pangkat itu adalah mengantikan setelah pangkat nabi walaupun di bawah nabi, melanjutkan syariat Nabi, Khalifah Nabi dalam memberikan hokum-hukum sesuatu persoalan. Ia menggantikan Nabi dalam membina hukum-hukum syari’at Islam, yang mana fatwanya itu dapat menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.
Alangkah mulia dan tingginya pangkat itu !!….
Pada zaman sahabat Nabi, tidak ada yang berani muncul menjadi Mujtahid kecuali hanya kira-kira 130 orang, sedang yang lain hanya Mubaligh, menyampaikan hadits-hadits dan menyampaikan hukum-hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijtihad sendiri.
Pada zaman Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in pun, yaitu zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama, tidak banyak orang yang ke derajat Imam Mujtahid, paling banyak hanya 10 orang.
Barangkali tidak ada orang yang tidak kagum dengan ilmu Imam Ghazali, atau ilmu Imam Bukhari ahli hadits yang terkenal, atau ilmu Imam Nawawi, tetapi beliau-beliau ini belum berani menyatakan bahwa beliau sampai ke derajat Mujtahid Muthlak / penuh. Beliau-beliau ini masih mengatakan bahwa beliau Taqlid kepada Imam Syafi’I Rhl.
Banyak Ulama dari abad-abad kemudian yang tinggi ilmunya, yang dapat menghafal beribu-ribu hadits, yang dapat menghafal Al-Qur’an di luar kepala, yang tahu seluk-beluknya bahasa Arab, tetapi hampir tidak ada yang mau menjadi Imam Mujtahid yang langsung berfatwa menurut ijtihad sendiri. Mereka lebih aman menjadi orang yang taqlid dibanding menjadi Imam Mujtahid, karena menjadi Imam Mujtahid besar sekali resikonya, besar sekali bahayanya, bisa menyesatkan ummat dan akhirnya bisa merusak agama.
Coba perhatikan, tidak sedikit orang yang telah mencoba menjadi Imam Mujtahid, tetapi fatwanya itu tidak laku, tidak diterima orang dan akhirnya hilang diterbangkan angin. Hal ini disebabkan karena sendi-sendi ijtihadnya tidak kuat.
Banyak orang yang berfatwa diatas mimbar, memfatwakan ini dan itu, kadang-kadang sampai mengecam Imam-imam Mujtahid. Kemudian fatwanya sebentar saja sudah hilang lenyap karena sendi-sendinya tidak kuat.
Demikian keadaannya.
Dalam hal ini sudah terdapat dua pendapat.
Imam Rafi’i seorang Ulama pada abad VII H, berkata : ‘Orang-orang tampaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid pada waktu sekarang” (maksudnya pada abad VII H).
Imam Ghazali mengatakan dalam abad VI H: “Sesungguhnya tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid Muthlak”.
Berkata Imam Ibnu Daqiqil’id pada abad VII H: “Tidak ada zaman yang kosong dari Imam Mujtahid.”
Berkata Imam Abu Ishak Sirazi pada permulaan abad IV H: “Tidak boleh satu masa kosong dari Imam Mujtahid”.
Demikianlah pendapat-pendapat itu.
Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa semua Imam tersebut adalah Ulama-ulama penganut Madzhab Syafi’i. Beliau-beliau itu hanya berselisih pendapat tentang “ada dengan tidak”, bukan antara “boleh dengan tidak”.
Yang mengatakan “tidak ada” itu bukan artinya ia melarang, tetapi hanya mengatakan bahwa tidak ada Imam Mujtahid pada abadnya itu, atau tidak ada lagi orang yang dapat mencapai derajat Imam Mujtahid Muthlaq.
Beliau-beliau itu bukan mengatakan terlarang untuk menjadi Imam Mujtahid Muthlaq yang baru, atau haram menjadi Imam Mujtahid Muthlaq baru, bukan begitu maksudnya.
Beliau-beliau itu bersatu hati bahwa syarat untuk menjadi Mujtahid Muthlaq sangat berat, sangat sulit, sehingga ada yang mengatakan tak sanggup orang ketika itu, apalagi zaman sekarang.
Tetapi andaikata ada yang sanggup, yang betul-betul sanggup, silahkanlah dan tidak perlu diomongkan, bekerjalah dan orang akan menilai hasil karyanya. Yang sangat dikhawatirkan adalah bisikan iblis yang dengan sengaja membisikkan ke telinga orang-orang agar is meloncat ke muka, menggali hokum, memberi fatwa, padahal belum pada tempatnya, sehingga menjadi Imam Mujtahid gadungan yang merusak binasakan agama.
Umpamanya saja orang yang belum insinyur dan bahkan belum sekolah tukang, tetapi ia bekerja berkeras hati hendak membuat gedung pencakar langit. Dibuatnya juga sebentar akan runtuh.
Seorang yang belum belajar menyetir mobil, tetapi berkeras hati membawa dan melarikan mobil. Akhirnya masuk jurang, bukan ?
Yang lebih baik kalau belum pandai menyetir mobil duduk sajalah di belakang, serahkanlah setir kepada yang ahlinya supaya selamat. Kita selamat, penumpang selamat dan mobilnya pun selamat.
Apakah taqlid tidak menghambat kemajuan
Tidak, bukan itu maksudnya. Tapi demi keselamatan Agama, demi keagungan Agama Tuhan, serahkanlah itu kepada yang ahlinya.
Adalah lebih baik dan aman bagi orang-orang yang belum sampai kepada derajat ijtihad, agar ia berfatwa menurut ajaran Imamnya yag ahli.
Kalau bertabligh boleh mengemukakan hadits dan Al Qur’an, tetapi tafsirnya haruslah menurut yang difatwakan oleh Imam-imam Tafsir dan kalau mengadili sesuatu soal dalam fiqih, boleh mengeluarkan hadits dan Al Qur’an, tetapi tafsirnya haruslah mengikuti Imamnya. Jangan bermain di luar garis. Inilah yang paling aman.

Wednesday 24 August 2011

PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN DUA KALIMAH SYAHADAH – MURTAD : HUKUM – SEBAB DAN AKIBATN

Barangsiapa yang berlaku kepadanya perkara yang membatalkan Dua Kalimah Syahadah, maka dia telah murtad iaitu keluar dari agama Islam atau putus dari ikatan agama Islam. Murtad termasuk dosa kufur yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah taala dan tidak ada lagi dosa yang lebih besar dari dosa kufur.
Bagi menyelesaikan masalah murtad tidak dapat tidak kita mesti mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan murtad. Oleh itu, seseorang yang mukallaf itu wajib mempelajari perkara yang boleh membatalkan Dua Kalimah Syahadah supaya dia tidak terjerumus ke dalam kancah murtad dan supaya dapat mengislamkan kembali mereka yang telah murtad. Ini kerana orang yang tidak mengetahui sesuatu kemudaratan tidak dapat menyelamatkan dirinya dan orang lain dari kemudaratan tersebut.
FASAL KEDUA: SEBAB-SEBAB MURTAD
Tiga perkara yang boleh menyebabkan seseorang itu murtad seperti yang telah diterangkan oleh para ulama di kalangan empat mazhab, iaitu: kufur i^tiqadiyy, kufur fi^liyy, kufur qawliyy.
Kufur I^tiqadiyy
Kufur i^tiqadiyy ialah kekufuran dengan sebab niat, pegangan, kepercayaan atau keyakinan dalam hati. Antara contoh kufur i^tiqadiyy ialah:
1) Ragu-ragu atau syak terhadap Allah dan rasul-Nya atau al-Quran atau hari Akhirat atau syurga atau neraka atau ganjaran-Nya atau balasan-Nya atau hukum-Nya atau syiar-Nya atau perkara yang telah diijmakkan (disepakati) oleh para ulama mujtahidin.
2) Kepercayaan bahawa alam ini azali pada jisim dan unsurnya atau unsurnya sahaja.
3) Menafikan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang telah diijmakkan seperti sifat Maha Mengetahui segalanya.
4) Mensifatkan Allah dengan suatu sifat yang tidak layak bagi-Nya seperti mensifatkan-Nya mempunyai jasad, bertempat, berakal dan seumpamanya.
5) Menghalalkan perkara yang diketahui di kalangan umat Islam sebagai halal dengan ijmak seperti zina, liwat, membunuh, mencuri, merompak, menyamun, arak, pergaulan bebas, pendedahan aurat dan seumpamanya.
6) Mengharamkan perkara yang diketahui di kalangan umat Islam sebagai halal dengan ijmak seperti berjual beli, nikah dan seumpamanya.
7) Menafikan kefarduan pada perkara yang diketahui di kalangan umat Islam sebagai wajib atau fardu hukumnya dengan ijmak seperti solat fardu atau salah satu daripada rukun-rukun solat (seperti sujud), zakat, puasa, haji, wuduk, menutup aurat dan seumpamanya.
8) Berniat atau berazam mahu menganut agama bukan Islam pada masa akan datang.
Perhatian: Lintasan hati tidak menyebabkan murtad kerana ia muncul di dalam hati tanpa kehendak seseorang.
Kufur Fi^liyy
Kufur fi^liyy ialah kekufuran dengan sebab perbuatan yang zahir meskipun tanpa niat untuk murtad, atau tanpa pegangan kufur di dalam hati. Antara contoh kufur fi^liyy ialah:
1) Sujud kepada berhala atau matahari atau bulan atau sesuatu selain Allah yang dianggap sebagai tuhan.
2) Sujud kepada manusia dengan tujuan menyembahnya.
3) Perbuatan menghina hukum atau syiar Islam seperti melempar mushaf al-Quran, kitab atau helaian yang mengandungi ayat al-Quran, hadis atau hukum-hukum agama Islam ke tempat yang jijik atau kotor.
4) Memakai syiar agama bukan Islam dengan tujuan berbangga atau kagum dengan agama bukan Islam tersebut seperti memakai rantai salib dan baju yang ada salib.
Kufur Qawliyy
Kufur qawliyy ialah kekufuran dengan sebab perkataan kufur yang diugkap dengan sengaja meskipun tanpa niat untuk murtad, atau tanpa pegangan kufur di dalam hati. Antara contoh kufur qawliyy ialah:
1) Memanggil seorang muslim yang lain: “Wahai kafir!” atau “Wahai Yahudi!” atau “Wahai Kristian!” atau “Wahai orang yang tiada agama” dengan maksud agama Islam yang dianut oleh muslim itu sebagai agama yang bersifat kufur, atau sebagai agama Yahudi, atau sebagai agama Kristian, atau sebagai bukan agama. Jika panggilan tersebut dengan maksud untuk menyamakan perbuatan jahat muslim tersebut dengan perbuatan orang kafir, atau orang Yahudi, atau orang Kristian, atau orang yang tiada agama, maka itu bukan suatu kekufuran.
2) Menghina, memperlekeh, merendah-rendah atau mempersenda-sendakan salah satu daripada sifat-sifat, nama-nama Allah, janji-Nya, ancaman-Nya, kitab-Nya, nabi-nabi-Nya, para malaikat-Nya, hukum-hukum-Nya, syiar-Nya dan seumpamanya.
3) Menafikan salah satu daripada sifat-sifat wajib bagi Allah dan para nabi-Nya.
4) Mensifatkan dengan sifat mustahil kepada Allah dan para nabi-Nya.
Perhatian: Lima keadaan perkataan kufur dikecualikan dari dihukumkan sebagai murtad, iaitu;
1) Keadaan tersasul: iaitu perkataan yang terluncur di lidah tanpa sengaja atau tanpa kehendak.
2) Keadaan hilang akal atau belum baligh. Namun, wajib ke atas kita menegah atau melarang orang yang hilang akal atau kanak-kanak tersebut dari mengungkapkan perkataan kufur.
3) Keadaan dipaksa dengan ugutan bunuh atau seumpama bunuh, iaitu dengan syarat; orang yang dipaksa itu masih lagi beriman di dalam hatinya, tidak meredai dan tidak beriktikad dengan perkataan kufur tersebut.
4) Keadaan menghikayatkan atau menceritakan perkataan kufur sama ada memulakan dengan menyatakan pihak yang berkata dengan perkataan kufur tersebut iaitu sebelum perkataan kufur, contohnya: “Golongan Wahhabi berkata: “Allah duduk di atas Arasy”, atau dengan menyatakan pihak yang berkata tersebut selepas perkataan kufur iaitu dengan berniat terlebih dahulu sebelum bercerita bahawa akan menyatakan pihak yang berkata itu selepas perkataan kufur tersebut, contohnya: “[Berniat bahawa akan menyatakan bahawa puak Wahhabi mengungkapkan perkataan kufur ini] Allah duduk di atas Arasy”. Kata puak Wahhabi”.
5) Keadaan seseorang yang mentakwil dengan ijtihadnya dalam memahami hukum syarak dalam perkara yang bukan qat^iyy. Contohnya golongan yang enggan membayar zakat pada zaman pemerintahan Sayyidina Abu Bakr dengan takwilan mereka bahawa zakat wajib dibayar pada zaman hayat Nabi Muhammad sallaLlahu ^alayhi wa-sallam kerana doa keampunan baginda buat mereka ketika membayar zakat adalah suatu ketenangan dan penyucian dari dosa buat mereka berdasarkan ayat 103 surah al-Tawbah.
Kaedah: Setiap pegangan, perbuatan atau perkataan yang menunjukkan penghinaan terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, para malaikat-Nya, hukum-Nya, syiar-Nya, janji-Nya atau ancaman-Nya adalah suatu kekufuran.
BAB 3
BERTAUBAT DARI DOSA MURTAD DAN
HUKUM BERKAITAN DENGAN MURTAD
PASAL PERTAMA: PENGENALAN
Bertaubat dari dosa adalah wajib ke atas setiap mukallaf, sama ada bertaubat dari dosa kecil dan dosa besar.
Riddah atau murtad adalah dosa besar yang sangat buruk dan amat keji. Kekejian dosa murtad ini dipandang dari sudut bahawa lantaran murtad maka segala pahala amal soleh yang pernah dilakukan sewaktu Islam dihapuskan, dan segala dosa yang pernah dilakukan pula masih kekal. Bahkan, selepas bertaubat dari dosa murtad segala pahala tersebut tidak dikembalikan semula dan dosa semasa sebelum murtad dan semasa murtad masih kekal.
PASAL KEDUA: TAUBAT DARI RIDDAH
Wajib ke atas sesiapa yang murtad untuk kembali segera kepada Islam dengan:
(1) mengucap Dua Kalimah Syahadah,
(2) meninggalkan sebab murtad tersebut,
(3) menyesal di atas dosa murtad, dan
(4) berazam tidak kembali kepada dosa murtad.
Syarat sah kembali kepada Islam ialah:
(1) tidak berazam untuk kufur pada masa mendatang, dan
(2) tidak ragu-ragu berkenaan azam tersebut.
FASAL KETIGA: HUKUM MENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAH DAN PERKARA-PERKARA YANG BERKAITAN
*
Jika seruan asas Islam iaitu Dua Kalimah Syahadah sampai kepada sesiapa yang mukallaf, maka wajib ke atasnya menganut agama Islam, tetap dalam agama Islam dan beramal dengan syariat Islam.
*
Untuk menganut agama Islam, seseorang yang kafir wajib mengucap Dua Kalimah Syahadah berserta dengan iktikad yang benar lagi utuh.
*
Lafaz Dua Kalimah Syahadah tidak disyaratkan dengan lafaz yang dimulakan dengan lafaz ashhadu (أشهد) untuk mengesahkan kemasukan seseorang ke dalam agama Islam. Bahkan, boleh dilafazkan dengan ungkapan lain yang semakna dengannya meskipun bukan dalam bahasa Arab.
*
Kefarduan melafazkan Dua Kalimah Syahadah ke atas seluruh umat Islam kekal dalam setiap solat supaya solat menjadi sah menurut mazhab al-Shafi^i.
*
Orang yang membesar dalam Islam dan beriktikad dengan Dua Kalimah Syahadah tidak disyaratkan mengucap dua kalimah syahadah untuk menjadi orang Islam. Bahkan dia sebenarnya sudah menjadi orang Islam kerana dia telahpun dididik dan diasuh dengan aqidah tauhid.
*
Menurut ulama dalam mazhab Maliki bahawa Dua Kalimah Syahadah wajib diucapkan sekali seumur hidup ke atas setiap mukallaf setelah dia baligh dengan niat fardu. Ini kerana mereka tidak mewajibkan bacaan tahiyyat dalam solat, bahkan mereka menganggapnya sebagai sunat. Sedangkan menurut ulama dalam mazhab-mazhab yang lain seperti ulama mazhab Shafi^i dan mazhab Hanbali, dua kalimah syahadah diwajibkan dalam setiap solat supaya solat menjadi sah.
*
Iman dan Islam seseorang itu tidak sah dan segala amalan kebajikannya tidak diterima tanpa dua kalimah syahadah yakni tanpa iman yang benar.
*
Ucapan syahadah pertama wajib diiringi dengan ucapan syahadah kedua bagi mengesahkan keislaman seseorang yang mahu memeluk agama Islam. Itulah kadar minima untuk selamat dari kekal abadi di dalam api neraka.

PASAL KETIGA: HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN MURTAD

Hukuman Ke Atas Orang Murtad
Jika seseorang yang murtad itu tidak mahu kembali kepada Islam, maka:
(1) wajib memintanya bertaubat dari dosa murtad tersebut dan tidak diterima daripadanya melainkan Islam, atau
(2) wajib hukuman bunuh yang dilaksanakan oleh khalifah setelah ditawarkan untuk kembali kepada Islam.
Khalifah memuktamadkan hukum murtad dengan salah satu daripada dua perkara, iaitu sama ada:
(1) dengan pengakuan si murtad, atau
(2) dengan kesaksian dua lelaki yang adil.
Kesan Murtad Dari Sudut Hukum
(1) Puasa, tayammum dan nikah seseorang murtad itu adalah batal.
(2) Pernikahan seseorang yang murtad tidak sah meskipun dengan pasangan yang murtad sepertinya. Demikian juga pernikahannya juga tidak sah dengan pasangannya yang muslim, atau beragama Yahudi, atau beragama Kristian atau beragama berhala.
(3) Sembelihan orang murtad menjadi haram.
(4) Orang murtad tidak boleh mewariskan harta pusakanya dan tidak boleh menerima warisan daripada harta pusaka.
(5) Haram menyembahyangkan mayat orang murtad dan mengebumikannya di tanah perkuburan orang-orang Islam, serta tidak wajib memandikan dan mengkafankannya.
(6) Harta orang murtad yang telah mati menjadi fay’ iaitu menjadi milik Baytul-Mal untuk maslahah orang-orang Islam.
والله أعلم
Dengan pertolongan Allah risalah ini selesai disusun oleh al-Faqir ilaLlah Abu Nur al-Dununiyy
al-Muwariyy al-Ash^ariyy al-Shafi^iyy pada 1 Rabi^ul-Thani 1431 H (secara hisab tanpa ru’yah) bersamaan 17 Mac 2010 R di daerah Dungun, Terengganu Darul Iman.
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى ءاله وصحبه أجمعين
والحمد لله ربّ العالمين

Tuesday 23 August 2011

MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI ,4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN

Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan termasuk daripada meratap" (HR. Ibnu Majah).
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk daripada  meratap" (HR. Ahmad).
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut "niyahah" adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, "Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama'/punya sifat rahmat)" (HR. Bukhari). Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.
Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.
Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada 'illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali. Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan "oncom" sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.   
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi'I atau ulama lain saat mengatakan "akrahu" (saya membenci), "makruh" (dibenci), "yukrahu" (dibenci), "bid'ah munkarah" (bid'ah munkar), "bid'ah ghairu mustahabbah" (bid'ah yang tidak dianjurkan), dan "bid'ah mustaqbahah" (bid'ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum "makruh" untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta'ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo'akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.
Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I'aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo'a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I'anatuth-Thalibiin.
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku "Membongkar Kesesatan Tahlilan" (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali" (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
"Dan di antara bid'ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya" (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
"Di antara bid'ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram" (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)
Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
"Dan di antara bid'ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya." (I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).  

Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan "pengharaman" agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
"… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: 'Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram."

Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis "bodoh", "kufur", dan "syirik" yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi "makruh") sebagaimana termaktub di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك      وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)
(Sayid Bakri Syatha' ad-Dimyathi, penulis I'aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah "apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta'ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta'ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta'ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: 'Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far', apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?" (lihat I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).
Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta'ziyah itu dalam hal mana "mereka menunggu makanan" di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid'ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum "haram" kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.          
Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta'ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta'ziyah yang datang.
Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang "keberatan" dan "beban" keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikitpun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu. Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap "makruh" dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang "makruh" tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo'akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo'akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!
Jika alasan "berkumpulnya orang akan menambah kesedihan" membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah "kebaikan" bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?
Sungguh, hukum "makruh" yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi "menambah kesedihan atau beban kerepotan" meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo'akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.
Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.
********
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid'ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya, "larangan" yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa "larangan" tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri saat beliau minum sambil berdiri. 

WAHABI&SALAFI BERDALIL SECARA SERAMPANGAN

Setelah membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut tuduhan mereka tentang bid'ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman anti bid'ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah seperti memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia.
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid'ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar kesan "salah" pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid'ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid'ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa begitu?
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual). Mau tahu buktinya? Mari kita ambil beberapa contoh.
1.      Dalil tentang tuduhan "menambah-nambahi agama" yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid'ah.

" …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ..." (QS. Al-Maidah: 3)
Agama Islam memang sudah sempurna, siapa pun orang Islamnya tahu itu. Melakukan amal kebajikan adalah perkara yang diperintahkan di dalam agama, meski bentuk kebajikannya tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan menurut agama.
Bagi kaum Salafi & Wahabi, umat Islam yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya dituduh telah "menganggap agama Islam ini masih kurang" alias belum sempurna sehingga mereka tega "menambah-nambahi agama", bahkan dengan begitu mereka dituduh telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama. Sungguh keji tuduhan ini!
Sesungguhnya, tidak seorang pun dari para ulama dan umat pelaku Maulid atau tahlilan itu berniat menambah-nambahi agama, apalagi sampai menuduh Rasulullah Saw. berkhianat. Sungguh hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak mereka, yang ada hanyalah pikiran-pikiran tentang mengupayakan peluang amal kebajikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan begitu diharapkan setiap orang yang ikut serta dalam acara-acara tersebut mendapatkan pahala, ampunan, rahmat, dan pengkabulan do'a dari Allah Swt.
Format acara yang memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau hanyalah suatu wadah yang dibuat secara kreatif untuk melaksanakan amalan-amalan yang sesungguhnya diperintahkan oleh Rasulullah Saw. sendiri, seperti: Bersilaturrahmi, berzikir, bershalawat, mendo'akan orang meninggal, bersedekah, mendengar nasihat atau ilmu, memupuk kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Saw., berdo'a, berbagi rezeki, dan memelihara keimanan serta ketakwaan. Bisa dibayangkan, tanpa acara-acara kreatif seperti itu, apa jadinya keadaan umat Islam di zaman belakangan ini yang nota bene perhatiannya kepada akhirat sangat rendah; cintanya kepada dunia sudah menguasai pikirannya; ditambah lagi acara-acara dunia dan maksiat sudah dikemas jauh lebih kreatif dan menarik.
Kreasi kebajikan yang digagas oleh para ulama itu pun tidak pernah diklaim sebagai "tambahan atas kekurangan agama", melainkan hanya sebagai kegiatan keagamaan yang ditradisikan sebagai adat atau budaya yang dilaksanakan dalam rangka syi'ar agama. Jadi tuduhan kaum Salafi & Wahabi adalah tuduhan berlebihan yang diada-adakan dan tidak ada kenyataannya, sedangkan ayat di atas hanyalah pernyataan dari Allah tentang kesempurnaan Islam, bukan berisi tuduhan menambah-nambahi agama!       
2.      Dalil tentang tuduhan "membuat-buat syari'at".

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? …"(QS. Asy-Syuuraa: 21).

Senada dengan tuduhan "menambah-nambahi agama", ayat ini digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh pelaku Maulid, tahlilan, zikir berjama'ah, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain-lainnya sebagai "pembuat syari'at" yang "tidak diizinkan Allah".
Ada tiga hal yang semestinya mereka sadari tentang tuduhan tersebut:
a.                   Para ulama tidak pernah menganggap bahwa amalan-amalan tersebut sebagai bagian dari ibadah mahdhah atau syari'at kecuali bila benar-benar ada dalil yang menunjukkannya, melainkan hanya sebagai adat atau kebiasaan baik yang mengandung maslahat. Di sinilah pangkalnya kenapa kaum Salafi & Wahabi menuduh demikian, karena mereka selalu menganggap amalan "berbau agama" sebagai "ibadah", di mana ibadah tidak boleh dilakukan kecuali bila ada dalil yang memerintahkannya.
b.                  Ayat di atas jelas-jelas menyebut "sembahan-sembahan selain Allah" yang menunjukkan adanya indikasi "syirik", dan memang ayat ini ditujukan oleh Allah untuk orang-orang musyrik Jahiliyah penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Adalah sangat keterlaluan bila para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan seperti Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh mempunyai "sembahan-sembahan selain Allah" yang telah mensyari'atkan kepada mereka amalan-amalan tersebut. Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi ini bisa dengan seenaknya menuduh saudaranya yang muslim sebagai orang-orang musyrik yang tidak mau menerima syari'at Allah lalu malah mengambil syari'at tuhan selain Allah, padahal mereka jelas-jelas mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji?  
c.                   Kaum Salafi & Wahabi juga menuduh amalan-amalan tersebut sebagai amalan "yang tidak diizinkan Allah". Pertanyaannya, dari mana mereka tahu bahwa amalan tersebut tidak diizinkan Allah, padahal ayat itu tidak menyebut perincian jenis atau macamnya? Tidak cukupkah mereka menipu umat dengan mengatasnamakan tuduhan mereka dengan firman Allah? Sungguh terlalu! Lagipula, para ulama tafsir sudah menjelaskan, bahwa "yang tidak diizinkan Allah" itu maksudnya adalah syirik (menyembah berhala atau menyembah selain Allah), mengingkari pembangkitan di hari Kiamat, atau keyakinan-keyakinan Jahiliyah lainnya.              
3.      Dalil tentang tuduhan "Beragama Tradisi" atau "Fanatik Terhadap Tokoh Bid'ah"

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170).

Ayat ini termasuk dalil pamungkas yang digunakan kaum Salafi & Wahabi untuk menyudutkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai pelaku bid'ah. Di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah hal. 84 disebutkan begini, "Bila mereka diajak untuk mengikuti Kitab al-Qur'an dan Sunnah, dan diajak meninggalkan apa yang mereka kerjakan yang bertentangan dengan keduanya (al-Qur'an dan as-Sunnah) mereka berdalil (berargumen) dengan madzhab-madzhab mereka dan dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek moyang mereka."
Orang awam akan terhenyak mendengar ayat ini, lalu mereka akan membenarkan penjelasan kaum Salafi & Wahabi, kemudian mengikuti pendapat mereka. Padahal lagi-lagi mereka telah melakukan penipuan yang sangat fatal, yaitu:
a.                          Ayat tersebut di atas berbicara tentang orang-orang kafir atau musyrikin penyembah berhala yang tidak mau diajak untuk hanya menyembah kepada Allah dengan alasan mengikuti keyakinan para leluhur dan nenek moyang mereka dalam menyembah berhala. Keterangan seperti ini bisa didapat di dalam kitab tafsir yang mana saja, dan itu berarti para ulama tafsir tidak ada yang berbeda pendapat tentang maksud ayat ini. Hanya kaum Salafi & Wahabi yang mengarahkan maksud ayat itu kepada umat Islam yang mereka tuduh sebagai ahli bid'ah, padahal penafsiran mereka yang semacam inilah yang lebih pantas disebut bid'ah.
b.                         Kaum Salafi & Wahabi, dengan penafsiran ayat di atas, bukan hanya memfitnah orang-orang muslim yang dituduh melakukan bid'ah saja, tetapi juga sekaligus memfitnah guru-guru dan pendahulu mereka atau nenek moyang mereka yang muslim lagi shaleh yang mengajarkan amalan-amalan kebaikan seperti Maulid, tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya berdasarkan prinsip ajaran Islam. Para guru dan pendahulu yang alim dan shaleh itu mereka anggap sebagai orang-orang yang "tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk", padahal ratusan bahkan ribuan jilid "kitab kuning" dalam berbagai cabang ilmu agama telah mereka hasilkan dan telah menjadi hantaran petunjuk bagi banyak orang dari zaman ke zaman.
Salahkah bila seorang muslim ditanya, "Kenapa kamu mengadakan tahlilan atau Maulid?" lalu ia menjawab, "Karena kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh guru-guru kami dan orang-orang tua kami sejak dahulu", sedangkan yang mengikuti dan yang diikuti sama-sama muslim dan sama-sama memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam? Sungguh, hanya orang berpikiran picik saja yang menganggap sama antara orang muslim yang mengikuti jejak pendahulunya yang muslim dengan orang kafir atau musyrik yang mengikuti pendahulunya yang kafir atau musyrik juga.   
c.                          Dengan mengajukan ayat di atas sebagai dalil, kaum Salafi & Wahabi seolah mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang mengikuti " apa yang telah diturunkan Allah", sedang selain mereka tidak. Seharusnya mereka bertanya, apakah Allah menurunkan perintah untuk menyamakan orang muslim dengan orang kafir atau musyrik? Mereka juga seharusnya bertanya, apakah mereka benar-benar tidak mengikuti guru-guru dan pendahulu mereka dalam keterlaluan sikap mereka itu??!
Bila ternyata Allah tidak menurunkan perintah-Nya untuk menyamakan muslim dengan kafir atau musyrik, dan bila sikap yang keterlaluan itu tidak pernah dicontohkan oleh para guru dan pendahulu mereka, maka ajaran siapakah yang mereka ikuti sehingga mereka merasa paling benar dan selain mereka dianggap salah atau sesat? Selama ini, sebagaimana sudah diketahui secara umum, tidak ada yang mengajarkan arogansi seperti itu dalam hal apapun selain iblis, saat ia berkata "Aku lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. Shaad: 76).            
4.      Dalil tentang tuduhan "Mendahului Allah dan Rasul-Nya"

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Hujuraat: 1)

Ayat ini sering dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah para wali, dan lain sebagainya telah "mendahului Allah dan Rasulullah Saw." dalam menetapkan suatu amalan di dalam agama. Dalam bahasa lain, telah berbuat lancang, karena mengadakan sesuatu amalan yang belum diperintahkan oleh Allah atau Rasulullah Saw.
Penggunaan dalil tersebut sepertinya tepat, padahal secara logika sangat tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, mana mungkin disebut mendahului sedangkan yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi sampai hari Kiamat (wahyu al-Qur'an sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw. sudah wafat)? Bisa disebut mendahului apabila ada suatu masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah Saw., lalu ada orang yang berani angkat suara untuk menjawabnya di saat beliau belum menjawabnya; atau Rasulullah Saw. membuat suatu keputusan atau pilihan, lalu ada orang yang mengusulkan agar keputusan atau pilihan itu diganti; atau ada orang yang melakukan suatu amalan sebelum waktunya padahal waktu pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Allah atau Rasulullah Saw seperti: Menyembelih hewan kurban sebelum shalat 'Ied, shalat fardhu sebelum waktunya, dan lain-lain. Intinya, disebut mendahului, bila proses pensyari'atan masih berlangsung di mana wahyu masih turun dan Rasulullah Saw. masih hidup, atau bila ketentuan amalan syari'at yang telah ditetapkan waktunya dilakukan sebelum waktunya tiba.
Lebih fatal lagi kalau tuduhan "mendahului Allah dan Rasul-Nya" ini diartikan bahwa orang-orang yang melakukan peringatan Maulid atau tahlilan sudah melakukan kegiatan tersebut padahal Allah atau Rasulullah Saw. belum menetapkan perintah atau hukumnya. Itu berarti ada pemahaman seolah-olah wahyu masih diharap akan turun dan Rasulullah Saw. masih akan bersabda, hanya saja didahului oleh orang-orang itu. Bukankah proses pensyari'atan sudah selesai, dan bukankah Islam sudah disempurnakan sehingga tidak akan mungkin lagi turun syari'at baru dari Allah atau dari Rasulullah Saw. dalam hal menyuruh atau melarang? Jadi tuduhan "mendahului" ini ngawur, tidak pada tempatnya, terlalu dipaksakan, dan sangat mengada-ngada.       
5.      Dalil tentang tuduhan "Berlebihan Dalam Urusan Agama".
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد)
Rasulullah Saw. bersabda: "Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian  dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama" (HR. Ahmad).

Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi "berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara "amalan bernuansa agama" dengan "amalan di dalam agama".
Para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan-amalan tersebut sesungguhnya tidak pernah menganggapnya bagian dari agama atau syari'at, melainkan hanya sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata "berlebihan", sebab rumusnya di dalam agama, "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah: 120). Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan "berlebihan di dalam agama", sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw" (berlebihan) pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang sebelum kalian".
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar,  yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama."          
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang "berlebihan di dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
 Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: "Tidak ada pahalanya!", "sesat!", "sia-sia", "musyrik!", "kafir!", "masuk neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi agama!", "mengada-ngada!", "haram!", "jangan bergaul dengan ahli bid'ah!", dan lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan "Quburiyyun",   bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan "Abdun-Nabi" (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?
***********

Pembahasan di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang muslim.
Lihatlah satu contoh lagi dalil yang sering mereka gunakan untuk menghukumi orang-orang yang biasa berziarah kubur para shalihin dan para wali yang sering mereka juluki dengan Quburiyyun, atau orang-orang yang bertawassul kepada Allah melalui para wali atau dengan jaah (kemuliaan) mereka, yang dengan itu mereka anggap orang-orang itu telah mengambil "perantara" dalam berdo'a atau beribadah kepada Allah sebagaimana para penyembah berhala (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 212), seperti yang difirmankan Allah sebagai berikut:

"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar." (QS. Az-Zumar: 3).

Benarlah sebagian ulama (seperti Syaikh Ibnu 'Abidin al-Hanafi dan yang lainnya) yang menganggap kaum Salafi & Wahabi ini sebagai bagian dari kelompok "Khawarij" yang dianggap sesat oleh seluruh ulama, di mana salah satu cirinya adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari:
باب قتل الخوراج والملحدين بعد إقامة الحجة عليهم وقول الله تعالى {وما كان الله ليضل قوما بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما يتقون} وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقال إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين (صحيح البخاري، دار ابن كثير، اليمامة بيروت، ج. 6، ص. 2539)
Bab Membunuh kelompok Khawarij dan Mulhidin (kafir/menyimpang) setelah menegakkan hujjah (argumen) atas mereka. Dan firman Allah ta'ala: "Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi" (QS. At-Taubah: 115). Dan adalah Ibnu Umar Ra. memandang mereka sebagai seburuk-buruknya makhluk Allah, dan ia berkata, "Sesungguhnya mereka menelusuri ayat-ayat yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu mereka jadikan (terapkan) ayat-ayat itu atas orang-orang beriman." (lihat Shahih al-Bukhari, Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah Beirut, juz 6, hal. 2539).
.comments { clear: both; margin-top: 10px; margin-bottom: 0px; line-height: 1em; } .comments .comments-content { font-size: 12px; margin-bottom: 16px; font-family: Verdana; font-weight: normal; text-align:left; line-height: 1.4em; } .comments .continue a, .comments .comment .comment-actions a { display:inline; font-family:Arial, Helvetica, sans-serif; font-size:12px; padding: 2px 5px; text-decoration: none; text-shadow:0 1px 1px rgba(0,0,0,.3); color:#FFF; -webkit-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -moz-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -webkit-border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; border-radius: 3px; margin-right: 10px; border: 1px solid #3079ED; background: #0066FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0099FF), to(#009999)); background: -moz-linear-gradient(top, #0099FF, #009999); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0099FF', endColorstr='#009999'); } .comments .continue a:hover, .comments .comment .comment-actions a:hover { text-decoration: none; background:#0099FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#009999), to(#0099FF)); background: -moz-linear-gradient(top, #009999, #0099FF); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#009999', endColorstr='#0099FF'); } .comments .continue a:active, .comments .comment .comment-actions a:active { position: relative; top:1px; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0066FF), to(#0099CC)); background: -moz-linear-gradient(top, #0066FF, #0099CC); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0066FF', endColorstr='#0099CC'); } .comments .comments-content .comment-thread ol { list-style-type: none; padding: 0; text-align: none; } .comments .comments-content .inline-thread { padding: 0.5em 1em 0 1em; } .comments .comments-content .comment-thread { margin: 8px 0px 0px 0px; } .comments .comments-content .comment-thread:empty { display: none; } .comments .comments-content .comment-replies { margin-top: 1em; margin-left: 40px; font-size:12px; } .comments .comments-content .comment { padding-bottom:8px; margin-bottom: 0px } .comments .comments-content .comment:first-child { padding-top:16px; } .comments .comments-content .comment:last-child { border-bottom:0; padding-bottom:0; } .comments .comments-content .comment-body { position:relative; } .comments .comments-content .user { font-style:normal; font-weight:bold; } .comments .comments-content .user a { color: #444; } .comments .comments-content .user a:hover { text-decoration: none; color: #555; } .comments .comments-content .icon.blog-author { width: 18px; height: 18px; display: inline-block; margin: 0 0 -4px 6px; } .comments .comments-content .datetime { margin-left:6px; color: #999; font-style: italic; font-size: 11px; float: right; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; text-align:none; margin: 15px 0 15px; } .comments .comments-content .owner-actions { position:absolute; right:0; top:0; } .comments .comments-replybox { border: none; height: 250px; width: 100%; } .comments .comment-replybox-single { margin-top: 5px; margin-left: 48px; } .comments .comment-replybox-thread { margin-top: 5px; } .comments .comments-content .loadmore a { display: block; padding: 10px 16px; text-align: center; } .comments .thread-toggle { cursor: pointer; display: inline-block; } .comments .comments-content .loadmore { cursor: pointer; max-height: 3em; margin-top: 3em; } .comments .comments-content .loadmore.loaded { max-height: 0px; opacity: 0; overflow: hidden; } .comments .thread-chrome.thread-collapsed { display: none; } .comments .thread-toggle { display: inline-block; } .comments .thread-toggle .thread-arrow { display: inline-block; height: 6px; width: 7px; overflow: visible; margin: 0.3em; padding-right: 4px; } .comments .thread-expanded .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAAc AAAAHCAYAAADEUlfTAAAAG0lEQVR42mNgwAfKy8v/48I4FeA0AacVDFQBAP9wJkE/KhUMAAAAAElFTkSuQmCC") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .thread-collapsed .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAA AcAAAAHCAYAAADEUlfTAAAAJUlEQVR42mNgAILy8vL/DLgASBKnApgkVgXIkhgKiNKJ005s4gDLbCZBiSxfygAAAAB JRU5ErkJggg==") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .avatar-image-container { float: left; overflow: hidden; } .comments .avatar-image-container img { width: 36px; } .comments .comment-block { margin-left: 48px; position: relative; padding: 15px 20px 15px 20px; background: #F7F7F7; border: 1px solid #E4E4E4; overflow: hidden; border-radius: 4px; -moz-border-radius: 4px; -webkit-border-radius: 4px; border-image: initial; }