Wednesday, 1 February 2012

DIMANA ALLAH SEBELUM DICIPTAKANNYA ‘ARSY ?

Dasar keyakinan yang dianut oleh kaum teolog Ahlussunnah ialah bahwa akal sehat tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran-ajaran syari’at. Bahkan sebaliknya, akal sehat adalah sebagai saksi bagi kebenaran syari’at itu sendiri. Sangat tidak logis bila Allah dan Rasul-Nya meletakan ajaran-ajaran syari’at yang bertentangan dengan akal. Karena bila demikian berarti penciptaan akal sama sekali tidak memiliki faedah. Dalam pada ini al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi berkata: “Segala ajaran syari’at datang sejalan dengan akal-akal yang sehat, dan sama sekali tidak ada ajaran dalam syari’at ini yang bertentangan dengan akal” .
Dalam tulisan ringkas ini kita kutip pernyataan beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah, sekaligus untuk menetapkan bahwa keyakinan Allah bersemayam di ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta keyakinan-keyakinan tasybih lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekali tidak dapat diterima oleh akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka satu persatu.
• al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotong jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” .
• al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu” .
• al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah menuliskan penjelasan yang logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antaranya beliau menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya.
• Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .
Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi :
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .
• al-Imam Saifuddin al-Amidi (w 631 H) dalam kitab Ghayah al-Maram menuliskan sebagai berikut:
“Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada -dari segala makhluk Allah- ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda, maka berarti Allah -yang menciptakan itu semua- mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.
Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tampat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran.
Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuan-ketantuan yang berlaku pada benda itu sendiri -yaitu sifat-sifat benda-, dan ini jelas tertolak. Di atasa sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda. Karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri. ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah” .
Masih dalam kitab Ghayah al-Maram, al-Imam al-Amidi menuliskan sebagai berikut:
“Jika adalah Allah berada pada arah maka tidak lepas dari keadaan pada seluruh arah atau pada atu arah saja. Jika Ia ada pada seluruh arah maka berarti tidak ada satu arahpun bagi kita kecuali Allah berada pada arah tersebut. Dan ini jelas mustahil. Kemudian jika ia berada pada satu arah maka tidak lepas dari dua keadaan; ada yang menjadikannya pada arah tersebut atau arah tersebut ada azali; tanpa permulaan bersama-Nya. Tentunya mustahil jika arah tersebut ada azali bersama-Nya. Karena pada dasarnya seluruh arah bagi Allah itu sama, tidak khusus dengan satu arah saja -semuanya mekhluk Allah-. Maka demikian berarti ada yang mengkhususkan-Nya pada arah tertentu tersebut. Inipun sesuatu yang mustahil, dengan melihat kepada dua segi:
Pertama: Bahwa yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut tidak lepas dari dua keadaan; antara qadim atau baharu (hadits). Jika qadim maka berarti ada dua yang qadim; -Allah dan yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut-, ini jelas mustahil. Dan jika baharu maka berarti ia membutuhkan kepada lainnya. Dan lainnya ini butuh pula kepada yang yang lainnya pula. Dan terus menerus berantai demikian tanpa penghabisan (tasalsul). Ini tentunya mustahil.
Kedua: Bahwa menurut pendapat yang mengatakan Allah memiliki arah berarti kekhususan arah tersebut bagi merupakan sifat-Nya. Itu berarati adanya kekhususan sifat tersebut membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dan yang mengadakannya, dan secara hukum akal berarti tidak ubahnya seperti makhluk. Karena sesuatu yang ada yang membutuhkan kepada yang mengadakannya berarti sesuatu tersebut adalah makhluk. Kemudian jika ada pada Allah satu sifat saja yang baharu seperti makhluk maka dimungkinkan adanya kebaharuan pada sifat-sifat yang lainnya juga. Padahal Allah wajib pada seluruh sifat-sifat-Nya maha Qadim” .
• al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram membahas dengan sangat detail argumen rasional bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam kitab ini beliau menjelaskan ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar bahwa adanya Allah Azali; tanpa permulaan. Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dialah Pencipta segala sesuatu. Maka setelah menciptakan segala sesuatu Dia tetap tidak membutuhkan kepada segala sesuatu. Dia maha Qadim, sementara tempat dan arah itu baharu.
Dari ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar tersebut al-Imam al-Bayyadli menyimpulkan beberapa poin penjelasan penting berikut ini :
Pertama: Dari pernyataan al-Imam Abu Hanifah di atas terdapat argumen yang sangat kuat. Ialah bahwa jika Allah ada pada tempat dan arah maka berarti arah dan tempat tersebut mesti qadim, dan berarti pula bahwa Allah adalah benda. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang dipenuhi oleh suatu benda. Dan definisi arah adalah nama bagi objek penghabisan bagi suatu isyarat. Keduanya; tempat dan arah hanya berlaku bagi suatu benda dan apapun yang memiliki bentuk. Semua ini mustahil atas Allah sebagaimana telah kita jelaskan. Inilah yang dimaksud oleh al-Imam Abu Hanifah dalam perkataannya: “Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dan Dialah Pencipta segala sesuatu”. Dengan demikian adalah batil apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy tidak memiliki permulaan, sebagaimana penjelasan bantahan atasnya telah panjang lebar dalam kitab Syarah al-‘Aqidah al-Adludiyyah.
Kedua: Perkataan al-Imam Abu Hanifah adalah merupakan jawaban bahwa Allah tidak boleh dikatakan di dalam alam; karena tidak bisa diterima akal Sang pencipta berada di dalam yang diciptakannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di luar alam dengan mengatakan bahwa Dia di arah tertentu dari alam ini. Hal ini karena Allah ada sebelum menciptakan segala makhluk-Nya, ada sebelum segala arah dan tempat. dan Dialah Pencipta segala sesuatu. Allah berfirman: “Dia -Allah- Pencipta segala sesuatu” (QS. al-An’am: 102). Keyakinan ini dibangun di atas akal sehat bukan di atas prasangka”.
• Seorang teolog terkemuka, ahi fiqih dan pakar sejarah, al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725 H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah. Argumentasi logis dari al-Qurthubi ini sekaligus disepakati oleh ibn al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut:
“Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di antara yang dapat membatalkan pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua hal:
Pertama: Bahwa arah jika benar ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.
Kedua: Jika Allah ada pada tempat dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan dua perkara mustahil. Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu yang qadim bagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil” .
• Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
“Penjabarannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda.
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” .
Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, al-Imam Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut:
“Peringatan: Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada seorang nabi sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna, benar-benar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya” .
Jangan pernah anda berkeyakinan Allah memiliki tempat, karena tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluk-Nya sendiri....
Waspadai ajaran Wahhabi yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy..
Bagaimana dikatakan di atas arsy, padahal arsy adalah makhluk Allah sendiri. sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy. apa kemudian setelah Dia menciptakan arsy menjadi berubah membutuhkan kepada arsy.. A'udzu Billah!!!!

MEMBONGKAR KITAB REKAYASA WAHABI YANG DINISBAHKAN KEPADA IMAM NAWAWI

Bismillah wal Hamdulillah, semoga tulisan ini menjadi Ilmu bagi setiap yang membaca nya, amin.
Dakwah Salafi Wahabi yang sulit di terima oleh dunia Islam, kecuali hanya sebagian kecil orang awam, sehingga menghalalkan segala cara demi sebuah faham yang mereka anggap benar, dakwah nya yang lebih pantas di sebut dengan fitnah terhadap Islam, Al-Quran, Hadits dan para Ulama Islam, karena setiap sisi syari’at Islam yang tidak sepaham dengan pemahaman mereka selalu ada cerita dusta dan fitnah terhadap Ulama, baik Salaf atau Khalaf, ketidaksiapan mereka dalam menyikapi perbedaan, dan tidak cukup nya pendukung dakwah mereka, hingga memaksa mereka memutarbalikkan fakta dengan cerita dusta terhadap para pakar Ulama Islam separti Imam Mazhab empat, Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani, Ibnu Katsir, Imam Baihaqqi, Imam Asy’ari, Imam Nawawi, Ibnu Hajar al-Ashqalani, Shalahuddin al-Ayyubi dan masih banyak lagi, semoga Allah selalu menjaga Para Ulama Islam dari bermacam fitnah Wahabi.
Adapun yang ingin kami sampaikan di sini adalah cerita dusta terhadap Imam Nawawi yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marri asy-Syafi’i al-Asy’ari an-Nawawi, ada dua fitnah Wahabi terhadap Imam Nawawi yang saling bertolak-belakang, yaitu tuduhan sesat dan tuduhan taubat
1. Tuduhan sesat yang masyhur adalah mengenai kitab adzkar, dan tuduhan yang dilakukan oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab nya Liqa’ al-Bab al-Maftuh bahwa Imam Nawawi bukan Ahlus Sunnah Waljama’ah, tuduhan ini memang sudah lumrah, karena setiap yang tidak sama dengan mereka pasti dituduh sesat, lebih lagi karena Imam Nawawi adalah seorang Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari, fitnah ini telah dilemparkan oleh Wahabi terhadap semua Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari atau Maturidi, semua di cap sebagai ahlu bid’ah sesat, semoga Allah menolong semua penolong Islam.
2. Tuduhan bahwa Imam Nawawi telah bertaubat dari aqidah Asy’ari ke aqidah Salafi Wahabi, bukan Salafi murni, karena tidak ada takfiri antara Salaf dan Khalaf, fitnah ini bersumber dari sebuah rekayasa pembenci Imam Nawawi lewat lembaran-lembaran kitab yang dinisbahkan kepada Imam Nawawi yang katanya “beliau sempat bertaubat dari aqidah Asy’ari dan kembali ke aqidah Salaf kira-kira dua bulan sebelum beliau wafat, dan sempat menulis kitab tentang aqidah Ulama Salaf serta mencela Asya’irah, tapi kitabnya hilang dan yang tersisa hanya satu Juzuk/Jilid yang membahas tentang -KALAMULLAH HURUF dan SUARA-” sehingga jilid itu disebut “جزء الحروف والأصوات” -JUZK HURUF WAL ASHWAT- atau -JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT- atau جزء فيه ذكر اعتقاد السلف في الحروف و الأصوات -JUZK FI HI DZIKRU I’TIQAD SALAF FIL HURUF WAL ASHWAT- dan kitab kebohongan itu di tahqik oleh pentahkiq Wahabi yaitu Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati, agar penyamaran itu sempurna dan terkesan benar adanya, serta menumbuhkan keragu-raguan pada pengikut Ahlu Sunnah Waljama’ah yang beraqidah Asy’ari, Na’uzubillah min dzalik.
SEKILAS TENTANG KITAB KEBOHONGAN [JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT] YANG DINISBAHKAN KEPADA IMAM NAWAWI
Kitab tersebut dibuat seolah-olah Imam Nawawi menulis ringkasan [ikhtishar] dari dua kitab berbeda yakni kitab GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM ” غاية المرام في مسألة الكلام” katanya itu kitab Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i, dan dari kitabnya Imam Nawawi sendiri yakni kitab at-TIBYAN FI ADABI HAMLATIL QURAN “التبيان في آداب حملة القرآن” sehinggah kitab kebohongan itu terdiri dari dua bagian, dan insyaallah akan kami jelaskan nanti mana yang dari kitab GHAYATUL MARAM dan mana yang dari at-TIBYAN.
Kitab kebohongan tersebut terdiri dari Muqaddimah dan 18 [delapan belas] pasal, yaitu:
1. PASAL: Tentang huruf dan apakah ia qadim atau hadits.
2. PASAL: Tentang Kalam Allah.
3. PASAL: Tentang itsbat harf bagi Allah ta’ala.
4. PASAL: Tentang itsbat suara bagi Allah ta’ala.
5. PASAL: Tentang bahwa qiraah itu dibacakan dan bahwa kitabah itu dituliskan.
6. PASAL: Tentang bahwa Kalam Allah itu didengarkan.
7. PASAL: Tentang Hadits-hadits yang menguatkan bahwa Kalam Allah itu didengarkan.
8. PASAL: Tentang wajib hormati Al-Quran.
9. PASAL: Tentang haram Tafsir Al-Quran tanpa ilmu.
10. PASAL: Tentang haram ragu dan jidal pada Al-Quran dengan cara yang tidak benar.
11. PASAL: Tentang tidak dilarang kafir mendengar Al-Quran dan dilarang menyentuhnya.
12. PASAL: Tentang menulis Al-Quran pada bejana lalu disirami air dan diberikan ke orang sakit.
13. PASAL: Tentang menghias dinding dan pintu dengan Al-Quran.
14. PASAL: Tentang sunnah menulis mushaf.
15. PASAL: Tentang tidak boleh menulis Al-Quran dengan najis.
16. PASAL: Tentang wajib menjaga mushaf dan menghormatinya.
17. PASAL: Tentang haram terhadap orang berhadats menyentuh mushaf dan membawanya.
18. PASAL: Tentang melarang anak-anak dan orang gila membawa mushaf.
Dari dua bagian kitab kebohongan ini disebutkan bahwa bagian pertama yaitu tujuh Pasal awal mulai dari [PASAL: Tentang huruf dan apakah ia qadim atau hadits.] sampai akhir [PASAL: Tentang Hadits-hadits yang menguatkan bahwa Kalam Allah itu didengarkan.] itu diringkas dari kitab GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM karya Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i, dan bagian kedua yaitu sebelas Pasal selanjutnya mulai dari [PASAL: Tentang wajib hormati Al-Quran.] sampai akhir [PASAL: Tentang melarang anak-anak dan orang gila membawa mushaf.] itu ringkasan dari kitab Imam Nawawi sendiri yakni kitab at-TIBYAN FI ADABI HAMLATIL QURAN.
Skenario yang hampir bisa dibilang sempurna, mencampurkan yang haq dengan yang batil, agar yang batil sekilas terlihat haq, tapi Allah akan selalu menolong para penolong Agama, cepat atau lambat finah dan cerita dusta itu pasti akan nampak juga pada waktunya.Insyaallah
ALASAN MENOLAK DINISBAHKAN KITAB KEBOHONGAN [JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT] TERSEBUT KEPADA IMAM NAWAWI
1. Bahwa Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i ini orang tidak dikenal [OTK] bahkan tidak pernah ada sama sekali dalam jajaran Ulama Syafi’iyyah dalam kitab mana pun, bahkan lagi pentahqik kitab itu pun tidak kenal dengan Abu Abbas al-Armawi ini, tidak mungkin orang yang dipuji setinggi langit oleh Imam Nawawi dalam kitab itu tidak tercatat dalam sejarah, apalagi dalam peristiwa sebesar ini [seandainya itu benar adanya], tapi jangankan kehidupannya, kuburnya pun tidak ada, benar-benar ini tokoh fiktif belaka.
2. Bahwa kitab GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM karya Abu Abbas al-Armawi tersebut tidak pernah ada sama sekali, karena orang nya memang tidak pernah ada, bagaimana mungkin Imam Nawawi meringkas kitab yang tidak pernah ada itu.
3. Bahwa Imam Nawawi tidak punya guru yang bernama Abu Abbas al-Armawi, bahkan dalam kitab kebohongan itu sendiri, pentahqik lupa menambah Abu Abbas al-Armawi dalam jajaran guru Imam Nawawi.
4. Bahwa aqidah Ulama salaf bukan seperti tersebut dalam kitab kebohongan itu, tapi Tafwidh ma’at Tanzih atau Takwil Ijmali tanpa Takyif, Tasybih dan Ta’thil, itu Manhaj Taymiyyin yang belum ada masa Imam Nawawi.
5. Bahwa dalam kitab Biografi Imam Nawawi tidak pernah ada sejarah bahwa Imam Nawawi pernah menulis kitab kebohongan tersebut yakni [JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT].
6. Bahwa tidak disebutkan siapa penemu kitab itu dan kapan ditemukannya, tidak ada murid atau keluarga atau Ulama semasa Imam Nawawi yang tau adanya kitab itu, dan baru ketauan setelah ratusan/ribuan tahun kemudian saat kitab itu ada ditangan pentahqik Wahabi yakni Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati, dan kemungkinan besar inilah biang fitnah ini.
7. Bahwa banyak pembesar Wahabi juga tidak percaya dengan keberadaan kitab itu, hingga Imam Nawawi di cap sesat karena beliau seorang Sufi beraqidah Asy’ari.
8. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus “penemu” kitab itu adalah pembenci Imam Nawawi dan anti Sufi juga anti Asy’ari.
9. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati adalah orang pikun hingga nampak kedustaannya yaitu salah menetapkan tanggal dalam kitab itu, dalam Muqaddimah ia sebutkan bahwa kitab itu selesai ditulis oleh Imam Nawawi pada Kamis 3 Rabiul Akhir 676 H [في الخميس الثالث من شهر ربيع الآخر سنة 676 هـ] tapi pada akhir kitab ia sebutkan kitab itu selesai pada Kamis 3 Rabiul Awwal 676 H [الخميس الثالث من شهر ربيع الأول سنة ست وسبعين وستمائة.]
10. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati juga melakukan kesalahan ketika mentahqik mengubah ibarat dari dasar nya (فرغنا منه صبيحة الخميس) menjadi (فرغنا من نسخه الخميس).
Sudah cukup alasan tidak menerima penisbahan kitab tersebut kepada Imam Nawawi, tapi lebih layak kitab itu dinisbahkan kepada Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus “penemu” kitab itu.
Semua fitnah Wahabi yang timbul di setiap masa pasti telah dijawab oleh Ulama pada masa itu, karena memang sudah menjadi kewajiban atas Ulama untuk terus menjaga kemurnian Islam, dan kemuliaan Ulama Ahlu Sunnah Waljama’ah, apalagi yang dicela oleh Wahabi adalah Ulama sekelas Imam Nawawi, seorang pendekar Mazhab Syafi’i, kasus dan modus seperti ini bukan pertama kali terjadi tapi sudah terjadi sebelumnya dan akan terjadi setelahnya juga.
Semoga Allah selalu menjaga kemurnian Islam dan para pejuang Islam dari fitnah berkedok Islam.

MEREKA MENYEBARKAN KEKACAUAN AQIDAH DENGAN MENGATASNAMAKAN IMAM SYAFI’I

Kembali kepada Alquran dan Hadits yang Sahih dengan pemahaman Salafussalih, dan jangan lupa yang sahih pula. Sebab jika mengambil sebuah Hadits saja hanya boleh yang sahih-sahih saja dan harus membuang hadits-hadits yang Dlo,if di tempat sampah, kenapa dalam mengambil perkataan ‘Ulama tidak begitu memperdulikan jalur periwayatan atau sanadnya, sehingga banyak sekali menyebar kekacauan Aqidah yang mengatasnamakan Imam Syafi,i, IMAM MALIK, Imam Ibnu Hanbal atau Imam Abu Khanifah?.
Mereka yang terkenal dalam dunia persilatan Internet dengan pedang bermata duanya Bid’ah dan Syirik  adalah yang di kenal dengan nama besar  WahhabiSalafy  memang lihay memainkan jurus kambing hitam dan taktik meminjam tenaga lawan dan langkah tipuan Dengan Membawa Nama Para Imam demi membela dan menyebarkan kekacauan aqidah tajsimnya, beberapa hal di antaranya tidak malu-malu menyebarkan dan berdusta dengan menyandarkan perkataan dari  Imam Syafi,i
روى شيخ الإسلام أبو الحسن الهكاري ، والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كلاهما عن الإمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه الله قال: القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بالشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله ينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء “
“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkan dan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi dengan isnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib, keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Nashirul hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat di dalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja DIA kehendaki “.
(Mukhtashor Al-‘uluw halaman : 176)
Coba Anda Perhatikan Perkataan ini dari sisi sanadnya:
1. Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
أبي الحسن الهكاري : أحد الكذابين الوضاعين
“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
قال أبو القاسم بن عساكر : لم يكن موثوقاً به
“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “
3. Ibnu Najjar berkata :
وقال ابن النجار : متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد
“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun-nysun sanad “
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL-MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات ، وفي حديثه أشياء موضوعة
“ Kebanyakan hadits yg diriwayatkannya adalah ghorib dan mungkar dan juga terdapat hadits-hadits palsunya “.
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman : 184 :
وهو كذاب وضاع
“ Dia adalah seorag yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits”
Dan perhatikan pula dari sisi masanya:
Mereka (wahhaby salafy) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i. Benarkah ??
Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / Sejarah bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imam Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab TARIKH AL-BAGHDADI juz : 9 halaman : 436…
Sekarang bagaimanakah aqidah imam syafi’i yang sebenarnya tentang Istiwa Allah Swt ?
Berikut ini perkataan-perkataan imam Syafi’i yang kami nukil dari kitab-kitab yang mu’tabar dan dari riwayat-riwayat yang tsiqoh :
1. Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA dalam al-Quran beliau menjawab :
“ ءامنت بلا تشبيه وصدقت بلا تمثيل واتهمت نفسي في الإدراك وأمسكت عن الخوض فيه كل الإمساك”
ذكره الإمام أحمد الرفاعي في ( البرهان المؤيد) (ص 24) والإمام تقي الدين الحصني في (دفع شبه من شبه وتمرد ) (ص 18) وغيرهما كثير.
“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini dengan sebenar-benarnya pencegahan “
Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “ Al-Burhan Al-Muayyad “ (Bukti yang kuat) halaman ; 24.
Juga telah disebutkan oleh imam Taqiyyuddin Al-Hishni di dalam kitab Daf’u syibhi man syabbaha wa tamarroda halaman : 18. Di dalam kitab ini juga pada halaman ke 56 disebutkan bahwa imam Syafi’I berkata :
ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله
“ Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah Swt sesuai maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah Saw menurut maksud Rasulullah Saw “.
Syaikh Salamah Al-Azaami dan selainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :
ومعناه لا على ما قد تذهب إليه الأوهام والظنون من المعاني الحسية والجسمية التي لا تجوز في حق الله تعالى.
“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt “
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
2. Ketika imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :
حرام على العقول أن تمثل الله تعالى وعلى الأوهام أن تحد وعلى الظنون أن تقطع وعلى النفوس أن تفكر وعلى الضمائر أن تعمق وعلى الخواطر أن تحيط إلا ما وصف به نفسه – أي الله على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم  –
ذكره الشيخ ابن جهبل في رسالته انظر طبقات الشافعية الكبرى ج 9/40 في نفي الجهة عن الله التي رد فيها على ابن تيمية.
 “Haram bagi akal membuat perumpamaan, Haram bagi pemikiran membuat batasan, dan haram bagi prasangka untuk membuat statemen, dan Haram juga bagi Jiwa untuk memikirkan (Dzat, perbuatan dan sifat-sifat) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan haram bagi hati untuk memperdalam, dan Haram bagi lintasan-lintasan hati untuk meliputi, kecuali apa yang telah Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam”
(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, lihatlah Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra juz : 9 halaman : 40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)
3. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2 halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكانَ لا يجوز عليه التغييرُ في ذاته ولا التبديل في صفاته
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat dan Allah senantiasa dalam shifat ‘AzaliNya (tidak berubah) sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga perpindahan di dalam sifat-sifat-Nya”
4. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam Syafi’I berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :
من انتهض لمعرفة مدبره فانتهى إلى موجود ينتهي إليه فكره فهو مشبه وإن اطمأن إلى العدم الصرف فهو معطل وإن اطمأن لموجود واعترف بالعجز عن إدراكه فهو موحد
“ Barangsiapa yang berantusias untuk mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dgn makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang tiada, maka ia adalah mu’aththil (meniadakan sifat Allah Swt). Dan jika ia merasa tenang pada kwujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan untuk memahaminya, maka ia adalah MUWAHHID (orang yang mengesakan Allah Swt) “
Sungguh imam Syafi’I begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :
- {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى]
“ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “
- فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ } [سورة النحل]
“ Janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpoamaan bagi Allah Swt “
- :{هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا } [سورة مريم]
“ Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ? “
Semua ini membuktikan bahwa imam Syafi’I Ra mensucikan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.
.comments { clear: both; margin-top: 10px; margin-bottom: 0px; line-height: 1em; } .comments .comments-content { font-size: 12px; margin-bottom: 16px; font-family: Verdana; font-weight: normal; text-align:left; line-height: 1.4em; } .comments .continue a, .comments .comment .comment-actions a { display:inline; font-family:Arial, Helvetica, sans-serif; font-size:12px; padding: 2px 5px; text-decoration: none; text-shadow:0 1px 1px rgba(0,0,0,.3); color:#FFF; -webkit-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -moz-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -webkit-border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; border-radius: 3px; margin-right: 10px; border: 1px solid #3079ED; background: #0066FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0099FF), to(#009999)); background: -moz-linear-gradient(top, #0099FF, #009999); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0099FF', endColorstr='#009999'); } .comments .continue a:hover, .comments .comment .comment-actions a:hover { text-decoration: none; background:#0099FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#009999), to(#0099FF)); background: -moz-linear-gradient(top, #009999, #0099FF); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#009999', endColorstr='#0099FF'); } .comments .continue a:active, .comments .comment .comment-actions a:active { position: relative; top:1px; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0066FF), to(#0099CC)); background: -moz-linear-gradient(top, #0066FF, #0099CC); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0066FF', endColorstr='#0099CC'); } .comments .comments-content .comment-thread ol { list-style-type: none; padding: 0; text-align: none; } .comments .comments-content .inline-thread { padding: 0.5em 1em 0 1em; } .comments .comments-content .comment-thread { margin: 8px 0px 0px 0px; } .comments .comments-content .comment-thread:empty { display: none; } .comments .comments-content .comment-replies { margin-top: 1em; margin-left: 40px; font-size:12px; } .comments .comments-content .comment { padding-bottom:8px; margin-bottom: 0px } .comments .comments-content .comment:first-child { padding-top:16px; } .comments .comments-content .comment:last-child { border-bottom:0; padding-bottom:0; } .comments .comments-content .comment-body { position:relative; } .comments .comments-content .user { font-style:normal; font-weight:bold; } .comments .comments-content .user a { color: #444; } .comments .comments-content .user a:hover { text-decoration: none; color: #555; } .comments .comments-content .icon.blog-author { width: 18px; height: 18px; display: inline-block; margin: 0 0 -4px 6px; } .comments .comments-content .datetime { margin-left:6px; color: #999; font-style: italic; font-size: 11px; float: right; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; text-align:none; margin: 15px 0 15px; } .comments .comments-content .owner-actions { position:absolute; right:0; top:0; } .comments .comments-replybox { border: none; height: 250px; width: 100%; } .comments .comment-replybox-single { margin-top: 5px; margin-left: 48px; } .comments .comment-replybox-thread { margin-top: 5px; } .comments .comments-content .loadmore a { display: block; padding: 10px 16px; text-align: center; } .comments .thread-toggle { cursor: pointer; display: inline-block; } .comments .comments-content .loadmore { cursor: pointer; max-height: 3em; margin-top: 3em; } .comments .comments-content .loadmore.loaded { max-height: 0px; opacity: 0; overflow: hidden; } .comments .thread-chrome.thread-collapsed { display: none; } .comments .thread-toggle { display: inline-block; } .comments .thread-toggle .thread-arrow { display: inline-block; height: 6px; width: 7px; overflow: visible; margin: 0.3em; padding-right: 4px; } .comments .thread-expanded .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAAc AAAAHCAYAAADEUlfTAAAAG0lEQVR42mNgwAfKy8v/48I4FeA0AacVDFQBAP9wJkE/KhUMAAAAAElFTkSuQmCC") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .thread-collapsed .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAA AcAAAAHCAYAAADEUlfTAAAAJUlEQVR42mNgAILy8vL/DLgASBKnApgkVgXIkhgKiNKJ005s4gDLbCZBiSxfygAAAAB JRU5ErkJggg==") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .avatar-image-container { float: left; overflow: hidden; } .comments .avatar-image-container img { width: 36px; } .comments .comment-block { margin-left: 48px; position: relative; padding: 15px 20px 15px 20px; background: #F7F7F7; border: 1px solid #E4E4E4; overflow: hidden; border-radius: 4px; -moz-border-radius: 4px; -webkit-border-radius: 4px; border-image: initial; }