Dr. Abdul khaliq Firzada dalam bukunya, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan penentangnya, menyebut segi-segi penting yang diutamakan oleh Syekh Muhammad Ilyas, point c adalah segi ibadah. Seterusnya disebutkan :
“ Sesungguhnya, akidah itu tidak bermanfaat apapun tanpa disertai ibadah”1
Berdasar pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa menurut Maulana Muhammad Ilyas bahwa dosa besar dengan sebab meninggalkan ibadah dapat mengakibatkan seseorang hilang imannya. Karena akidah yang dapat dipahami sebagai iman itu tidak bermanfaat kecuali disertai dengan ibadah. Kalau seseorang yang berakidah tanpa beribadah, imannya masih ada, tentu akidahnya tersebut bermanfaat adanya.
Analisis
Dalam memahami status hukum seseorang akibat sebuah dosa besar, kaum muslimin terpecah dalam beberapa golongan. Kaum Khawarij yang sudah dianggap keluar dari garis-garis Islam, menetapkan bahwa setiap perbuatan dosa merupakan syirik kepada Allah. Karena itu orang berbuat dosa besar dapat dianggap sebagai kafir dan kekal dalam api neraka.2 . Khawarij dalam mendefinisikan Iman, memahami bahwa amalan jawarih (amalan dzahir anggota tubuh) itu sendiri adalah merupakan iman. Sehingga kalau seseorang meninggalkan amalan dzahir, maka dia dapat digolongkan kepada kafir. Golongan Muktazilah berprinsip, bahwa amalan dzahir merupakan bagian dari iman, sehingga dosa besar itu dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan, namun menurut Muktazilah, keluar dari keimanan tidak dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir, tetapi statusnya diantara muslim dan kafir. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah golongan yang diredhai Allah berprinsip bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar tetap dalam keimanannya dan dia tetap dapat dianggap sebagai mukmin meskipun mukmin ‘ashii, (orang beriman yang berbuat maksiat yang dijanjikan Allah kena ‘azab dalam neraka kelak kalau dia meninggal dunia tidak sempat bertaubat). Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah ini atas dasar bahwa amalan dzahir tidak termasuk dalam bagian iman.3
Prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah ini berdasarkan
1. firman Allah SWT,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain syirik itu, bagi siapa yang dikehendakinya. (An-Nisa’ : 48)
2. Sesungguhnya dalam hukum-hukum qishas, Allah telah menyebut bahwa sipembunuh adalah saudara bagi siterbunuh. Firman Allah SWT :
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Artinya : Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah : 178)
Seandainya pembunuh yang terbuat telah berbuat dosa besar itu digolongkan kepada kafir, tentu Allah tidak menyebutnya sebagai saudara bagi orang mukmin, karena ukhuwah dan kasih sayang tidak akan terjadi melainkan bagi orang mukmin.
Pertanyaan selanjut adalah paham manakah yang diikuti oleh Muhammad Ilyas ini ? mengikuti paham Muktazilah atau termasuk Khawarijkah ? wallahu a’lam bishshawab. Yang jelas pemahaman tersebut bertentangan dengan paham Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Masalah 3
Maulana Muhammad Ilyas menanamkan faham anti politik dan kekuasaan kepada pengikutnya. Bahkan beliau mengungkapkan bahwa memegang kekuasaan yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW hendaknya tidak menjadi cita-cita umat Islam. Hal ini dapat kita pahami dari pernyataan Maulana Muhammad Ilyas :
“Jika kita dapat memegang kekuasaan dengan mengikuti ajaran Nabi SAW , memang kita tidak menolaknya, akan tetapi hal itu hendaknya tidak menjadi cita-cita kita.”4
Dr. Abdul Khaliq Pirzada menyebutkan empat hal yang tidak boleh disentuh oleh Jam’ah Tabligh, salah satunya adalah masalah politik .5
Analisis
Telah terjadi ijma’ ulama bahwa mengangkat imam (pemimpin negara) adalah wajib hukumnya.6 Ijma’ ini didasarkan kepada firman Allah SWT sebagai berikut :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : Allah SWT telah menjanjikan kepada orang-orang mukmin dan orang-orang yang beramal shaleh diantara kami bahwa mereka akan menjadi khalifah di muka bumi sebagaimana orang-orang dahulu telah menjadi khalifah. Dan Allah akan menetapkan agama mereka (Islam) yang diredhai-Nya bagi mereka. Dan Allah akan mengganti ketakutan mereka dengan perasaan aman. (Q.S. An-Nur : 55)
Bahkan sebagaimana riwayat yang sangat masyhur dan tidak ada yang membantahnya, bahwa para Sahabat Nabi SAW lebih mendahulukan permusyawaratan masalah khilafah (kepemimpinan) dari pada urusan jenazah Rasulullah SAW.7 Ini menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan adalah masalah yang sangat penting dan urgen dalam agama Islam, karena tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban seperti pembelaan agama, menjaga keamanan umat Islam dan sebagainya selain dengan adanya khilafah (pemerintahan) dan inilah yang menjadi doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, paham mayoritas masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya. Upaya meraih kekuasan untuk memperoleh kedudukan imam tersebut menjadi fardhu kifayah atas umat Islam.8 Berkata Qalyubi :
“Hukum mendirikan Imamah adalah fardhu kifayah “9 .
Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa pernyataan Maulana Muhammad Ilyas, pendiri Jama’ah Tabligh bahwa memegang kekuasaan negara bukan cita-cita umat Islam, adalah bertentangan Ijma’ Ulama dan keluar dari paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Jika ditelusuri sejarah pemikiran Islam tentang politik dan kekuasaan di India, kita diingatkan oleh sejarah, bahwa di India pernah muncul seorang yang mengaku sebagai pembaharu yang mati-matian membela Pemerintah Kolonialis Inggris pada penghujung Abad 19, yaitu Sir Sayyed Ahmad Khan (1817-1898 M) yang berpendapat bahwa susunan agama Islam itu bersifat a-politik, karena itu ia menentang setiap pergerakan politik, walaupun politik berdasarkan Islam.10 . Disamping itu kita diingatkan oleh ajaran Mirza Ghulam Ahmad, Nabinya orang Ahmadiyah Qadian, yang menghilangkan ajaran jihad demi pesan sponsornya, Pemerintah kolonial Inggris. Penulis menduga mungkin pemikiran Maulana Muhammad Ilyas ini terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sir Sayyed Ahmad Khan dan Mirza Ghulam Ahmad yang hidup senegara dengannya, setidaknya mengenai politik dan pemerintahan dalam Islam.
Masalah 4
. Berkata Maulana Ilyas :
“Para anbiya a.s. adalah ma’shum dan mahfuzh. Mereka menerima ilmu dan hidayah langsung dari Allah. Tetapi ketika mereka bercampur gaul dengan masyarakat awam menta’limkan dan mentablighkan usaha hidayah kepada mereka, maka hati mereka yang mubarok (penuh berkah) dan munawar (penuh cahaya) terpengaruh juga oleh kotoran masyarakat awam. Akhirnya mereka akan membersihkan kotoran-kotoran tersebut dengan menyibukkan diri dalam dzikir dan ibadah”11
Jika kita perhatikan perkataan Maulana Ilyas tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Maulana Ilyas menuduh para Nabi a.s. bahwa hati mereka tidak terpelihara dari dosa-dosa. Artinya para Nabi a.s. dapat saja melakukan dosa-dosa hati karena pengaruh kesalahan-kesalahan masyarakat awam, sehingga perlu dibersihkan dengan berzikir dan beribadah. Kita tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ma’shum menurut Maulana Ilyas, sehingga meskipun pada awalnya beliau menyebut para anbiya a.s. adalah ma’shum, tetapi kemudian menyatakan bahwa para anbiya tersebut dapat saja melakukan dosa-dosa.
Analisis
Tidak diragukan lagi, kita sebagai umat Islam yang beri’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa para Anbiya a.s. adalah ma’shum dalam arti bahwa para anbiya a.s. tidak mungkin jatuh dalam perbuatan dosa. Berkata Zakaria al-Anshary as-Syafi’i seorang ulama besar beri’tiqad Ahlussunnah wal jama’ah bermazhab Syafi’i :
“Para Anbiya a.s. ma’shum (terpelihara) dari perbuatan dosa termasuk didalamnya dosa kecil yang dilakukan karena lupa. Oleh karena itu, tidak terjadi perbuatan dosa pada mereka, baik dosa besar maupun kecil, baik sengaja maupun dengan sebab lupa”.12
Berkata Muhammad bin Manshur al-Hud-hudy :
“ Perbuatan para Anbiya a.s. berkisar antara wajib, sunat dan mubah. Hukum mubah ini bila ditinjau zat perbuatannya. Adapun bila ditinjau dari ‘awarizhnya (aspek lain), maka perbuatan para Anbiya itu tidak terlepas dari wajib dan sunat, karena perbuatan mubah tidak terjadi pada para Anbiya a.s. kecuali untuk qashad qurbah (ibadah), minimal untuk qashat tasyri’ (pensyari’atan) kepada orang lain (umat)”13
Menurut perkataan dua orang ulama besar Ahlussunnah wal jama’ah tersebut di atas, perbuatan mubah saja tidak terjadi pada para Nabi a.s., lalu bagaimana dengan perbuatan dosa sebagaimana tuduhan Maulana Muhammad ilyas, nauzubillahi min zalik
Masalah 5
Ungkapan perasaan rasa syukur kepada Allah boleh dengan sikap berpura-pura. Maulana Muhammad Ilyas pernah mengirim surat kepada rekannya saat anaknya baru lahir :
“ Sungguh itu kenikmatan yang besar dari Allah dan engkau mesti menerimanya dengan suka cita. Mesti tidak boleh berlebihan, namun engkau mesti melahir perasaan suka cita meski berpura-pura sebagai tanda syukur kepada Allah”.14
Analisis
Sikap berpura-pura dalam etika Islam atau ilmu akhlak sering disebut sebagai sikap munafiq. Sikap munafiq merupakan suatu sifat yang sangat tercela dalam Islam. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (67) وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
Artinya : Sesungguhnya orang-orang munafiq itu hanyalah orang berbuat fasiq, Allah telah menjanjikan bagi orang-orang munafiq , baik laki-laki maupun perempuan dan orang-orang kafir itu kekal dalam neraka jahannam.(Q.S. At-Taubah : 67-68)
Masalah 6
Jama’ah Tabligh melarang jama’ahnya dalam berdakwah menghilangkan dan membersihkan kemungkaran. Sementara itu dalam kelompok Jama’ah Tabligh ada berbagai aliran sesuai dengan asal paham anggotanya termasuk didalamnya aliran-aliran yang keluar dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan Sa’ad bin Ibrahim Syilbi, salah seorang penyebar ajaran Jama’ah Tabligh dalam bukunya Dalil-Dalil Da’wah dan Tabligh setelah mengakui ada segelintir anggota Jama’ah yang tidak ada pendalaman cukup terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang membenci dan memusuhi kaum salaf dan dua tokohnya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, berkata :
"Ini demi Allah batil (tidak benar), kezhaliman dan kebohongan besar yang tidak halal dilakukan oleh seorang muslim’, selanjutnya Sa’ad bin Ibrahim Syilbi mengatakan ‘Kami hanya ingin mengatakan bahwa Jama’ah Tabligh tidak termasuk dalam kelompok orang yang membenci kaum salaf".15
.Padahal sebagaimana kita maklumi bahwa kedua tokoh salaf, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab sudah difatwa oleh ulama-ulama Ahlusunnnah wal Jama’ah sebagai orang yang sudah keluar dari golongan yang benar dan sudah menyimpang dari jalan yang lurus
Berkata Dr. Abdul Khaliq Firzada :
“ Beliau (Muhammad Ilyas, pen.) mengajak setiap orang tanpa membedakan tingkat keilmuan, kelas sosial, maupun mazhab, baik orang alim maupun bodoh, kaya, miskin, pengikut Maliki, Syafi’i, Hambali atau Hanafi, bahkan Mazhab Salafi atau mazhab-mazhab kecil lainnya dikalangan umat Islam. 16
Dalam hal larangan Jama’ah Tabligh menghilangkan kemungkaran dapat disimak dari pengakuan Sa’ad bin Ibrahim Syilbi dalam bukunya,
“Bahwa tidak termasuk dalam metode Jama’ah Tabligh pengingkaran terhadap pemilik atau pelaku kemungkaran.17
Berdasarkan sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa Jama’ah Tabligh tidak membolehkan anggotanya menghilangkan kemungkaran termasuk didalamnya bid’ah dan bahkan Jama,ah Tabligh melarang anggotanya memusuhi tokoh seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab.
Termasuk kemungkaran yang tidak boleh dihilangkan dalam Jama’ah Tabligh sebagaimama disebut oleh Hamud bin Abdullah bin Hamud al-Tawijiry adalah pernah satu jama’ah dari Jama’ah Tabligh dari negeri Hindia berzikir disuatu tempat di kota Makkah dengan mengulang-ulang kalimat La ilaha sekitar enam ratus kali, kemudian baru mengucapkan kalimat illallah sekitar dua ratus kali. Zikir model ini dilakukan dalam waktu yang lama dan dihadiri oleh masyaikh mereka. Kita tidak tahu ajaran berzikir dari mana ini, dengan menafikan Tuhan sebanyak enam ratus kali kemudian mengisbatkan-Nya dua ratus kali.18
Analisis
Dalam menjawab masalah di atas, mari kita simak dalil-dalil yang mengharuskan untuk menghilangkan kemungkaran dibumi ini, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. al-Taubah : 71
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. al-Taubah : 71)
2. Firman Allah Q.S. al-Hajj : 41
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.(Q.S. al-Hajj : 41)
3. Hadits Nabi SAW :
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده. فإن لم يستطع فبلسانه. ومن لم يستطع فبقلبه. وذلك أضعف الإيمان
Artinya : Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman(HR. Muslim)19
Berdasarkan dalil di atas, dapat dipahami dengan mudah dan gamblang bahwa kedudukan upaya menghilangkan kemungkaran mendapat kedudukan yang sangat penting dalam agama. Artinya menghilangkan kemungkaran mempunyai kedudukan yang sama dengan amar ma’ruf. Jadi kita tidak dapat menyepelekan salah satunya, apalagi menganggap menghilangkan kemungkaran bukanlah sebuah kewajiban. Dalam sejarah anak manusia, sebenarnya jama’ah yang meninggalkan menghilangkan kemungkaran banyak bermunculan. Diantaranya, Allah SWT telah mencela pendeta agama Nashrani yang meninggalkan upaya menghilangkan kemungkaran dalam firman-Nya :
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Artinya : Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.(Q.S. al-Maidah : 63)
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa pendeta-pendeta itu berdosa karena meninggalkan menghilangkan kemungkaran.20 Masih banyak dalil-dalil lain, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Rasulullah SAW yang menerangkan kewajiban menghilangkan kemungkaran, namun penulis tidak menyebut semuanya karena menurut hemat penulis dalil-dalil di atas sudah memadai sebagai pedoman, kalau memang kita termasuk dalam orang-orang mencari kebenaran agama. Al-Bakry al-Damyathi berkata :
"Banyak sekali dan tidak terhingga ayat-ayat dan hadits mengenai amar ma’ruf dan menghilangkan kemungkaran".21
Berikut pendapat ulama mengenai kewajiban menghilangkan kemungkaran, antara lain :
1. Imam al-Ghazali berkata :
"Sesungguhnya amar ma’ruf dan melarang kemungkaran adalah al-quthub al-a’dham (pusat yang terpenting) dalam agama".22
2. Zainuddin al-Malibary mengatakan :
"Memerintah hal-hal yang wajib pada syara’ dan melarang dari yang haram adalah wajib kifayah atas setiap mukallaf , baik dia merdeka ataupun hamba sahaya, laki-laki, perempuan ataupun khuntsa " .23
Lalu siapa kaum salaf dan kedua tokohnya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad Bin Abdul Wahab itu? Penjelasan ini menjadi penting karena Jama’ah Tabligh, sebagaimana penjelasan di atas, begitu marah kalau ada pengikutnya yang membenci kedua tokoh tersebut. Untuk menjawab ini, penulis cukupi saja pernyataan dua ulama terpengaruh dikalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu :
1. Mufti Syafi’i Syekh Zaini Dahlan berkata :
“Walhasil yang tahqiq menurut kami, bahwa sebagian perkataan dan perbuatannya (Muhammad bin Abdul Wahab) mewajibkan keluarnya dari qawa’id Islam,karena penghalalannya terhadap harta yang ijmak atas tahrimnya, yang maklum dari agama dengan dharurah dengan tanpa ta’wil yang dibolehkan, serta penempatannya derajat para anbiya, rasul, auliya dan orang-orang shaleh pada derajat yang kurang. Padahal penempatan mereka tersebut pada derajat yang kurang dengan sengaja adalah kufur dengan ijmak imam yang empat”.24
2. Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani berkata :
“ Kita mengatakan sesungguhnya mereka ( Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya) adalah sesat dan ahli bid’ah” 25
= Selesai =
DAFTAR PUSTAKA
1 Dr. Abdul khaliq Firzada, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan penentangnya, (terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yoqyakarta, Hal. 116
2.Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz II, Hal 92
3.Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz I, Hal. 54, dan Ibrahim Bajury, Tahqiqul Maqam ‘ala Kifayatul ‘Awam fii ‘Ilmil Kalam, Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, Hal 77
4.Abul Hasan Ali Nadwy, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, (terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yogyakarta, Hal 106
5.Dr. Abdul khaliq Firzada, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan penentangnya, (terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yoqyakarta Hal.31, lihat juga Sa,ad bin Ibrahim Syibli, Dalil-Dalil Dakwah dan Tabligh , (terjemahan oleh Drs Musthafa Sayani) Pustaka Ramadhan, Bandung, Hal. 9
6.Al-Mawardy, Ahkamul Sulthaniyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 5. Dapat dilihat juga dalam al-Khuzhary Bek, Itmam al-Wafa’, Bangkul Indah, Surabaya, Hal. 6
7.Ibnu Hajar al-Haitamy, Shawa-i’ al-Muhriqah fi Radd Ahli al-Bid’i wal-Zindiqah, Hal. 6. lihat jiga H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung, Hal. 455
8.Al-Mawardy, Ahkamul Sulthaniyah, Darul Fikri, Beirut, Hal.5.
9.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz IV, Hal. 173
10.Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, Juzu’ II, Hal 232
11.Maulana Manzhur Nu’mani, Mutiara Hikmah Ulama Ahli dakwah, (terjemahan oleh A. Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny) Pustaka Nabawi, Hal. 48-49
12.Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wusul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 91
13.Muhammad bin Manshur al-Hud-hudy, Syarah Hud-hudy, dicetak pada Hamisy Hasyiah al-Syarqawy, Syirkah al-Ma’rif, Bandung, Hal. 116
14.Abul Hasan Ali Nadwy, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, (terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yogyakarta, Hal 170
15.Sa’ad bin Ibrahim Syilbi, Dalil-Dalil Da’wah dan Tabligh, (terjemahan oleh Ust. Musthafa Sayani), Pustaka Ramadhan, Bandung, Hal 153-154
16.Dr. Abdul Khaliq Firzada, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan penentangnya, (Terjemahan oleh Ust. Masrokhan Ahmad), Ash-Shaff, Yoqyakarta, Hal 118
17.Sa’ad bin Ibrahim Syilbi, Dalil-Dalil Da’wah dan Tabligh, (terjemahan oleh Ust. Musthafa Sayani), Pustaka Ramadhan, Bandung, Hal. 155
18.Hamud bin Abdullah bin Hamud al-Tawijiry, Qaul al-Baligh fi al-Tahziri min Jama’ah al-Tabligh, Dar al-Shami’i, Saudi Arabiya, Hal. 9
19.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 69, No. Hadits : 49
20.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 303
21.Al-Bakry al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 182
22.Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 302
23.Zainuddin al-Malibary, Irsyadul Ibad, Syirkah al-Ma’arif, Bandung, Hal. 72
24.Syekh Zaini Dahlan, Durarussaniah fi Raddi ‘ala al-Wahabiyah, Hal. 53
25.Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Syawahidul Haq, Darul Fikri, Beirut, Hal. 51
Thursday, 11 August 2011
Syeikh Muhammad Zainuddin As-Sumbawi pengarang Sirajul Huda Oleh: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
TERDAPAT beberapa ulama yang berasal dari Pulau Sumbawa yang meninggalkan karangan yang ditulis dalam bahasa Melayu. Bahkan beberapa orang di antara mereka terkenal sebagai ulama-ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram Mekah.
Di antara mereka yang sangat terkenal ialah Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima) yang mempunyai ramai murid. Syeikh Umar bin Abdur Rasyid as-Sumbawi yang terkenal sama dengan Syeikh Abdul Ghani Bima. Tetapi kedua-duanya tidak meninggalkan karya cetakan.
Kemungkinan karya mereka terdapat dalam bentuk manuskrip. Dua ulama Sumbawa yang meninggalkan karangan ialah Syeikh Muhammad Ali bin Abdur Rasyid bin Abdullah Qadhi as-Sumbawi dan seorang lagi ialah yang diriwayatkan ini. Nama lengkap beliau ialah Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi as-Sumbawi.
Karyanya yang sangat terkenal dan masih diajarkan di kalangan masyarakat Melayu hingga sekarang ialah Sirajul Huda, seperti tersebut pada judul artikel ini. Menurut tradisi pengajian pondok di alam Melayu, kitab tersebut biasanya dibaca sesudah menamatkan kitab Faridatul Faraid . Apabila sudah cukup memahami kitab Faridatul Faraid barulah memasuki kitab Sirajul Huda. Tetapi ada juga pondok yang mendahulukan Sirajul Huda kemudian baru mengajar Faridatul Faraid.
Sesudah kedua-dua kitab itu - yang dipandang sebagai asas ilmu tauhid - barulah memasuki kitab Ad-Durruts Tsamin. Setelah ketiga-tiga kitab itu betul-betul difahami dengan kukuh, asas Ahli Sunah wal Jamaah metod Syeikh Abu Mansur al-Maturidi tidak berganjak lagi, maka mereka akan memasuki kitab-kitab akidah yang lebih berat seumpama ad-Durun Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dan lain-lain.
Untuk mengesan pada zaman mana Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa hidup, ada sedikit kesukaran. Ini kerana daripada kedua-dua karyanya yang masih beredar di pasaran, beliau tidak menyebut tahun berapa memulakan atau menyelesaikan karyanya itu.
Dari beberapa salasilah keilmuan yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (Padang), dapat diambil kesimpulan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani (1230H/1814M - 1312H/ 1897M) dan peringkat guru kepada Syeikh Mukhtar bin 'Atarid al-Bughri(Bogor) (1278H/1860M - 1349H/1930M).
Berdasarkan tulisan Syeikh Muhammad Az-hari al-Falimbani dalam beberapa karyanya di antaranya Badi’uz Zaman, bahawa beliau menerima Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi. Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi menerima baiah daripada Syeikh Muhammad Mukrim, Mufti Hamad di negeri Syam.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani pula, hanya sedikit mencatat tentang Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu. Kata beliau: “Dan mengkhabarkan kepada hamba oleh al-alim Tuan Zainuddin Sumbawa Rahimahullah taala bahawasanya mengenai akan dia oleh penyakit karang, maka minum ia akan air rebusan kayu sepang dan kayu kendarang, mengekali ia atasnya beberapa bulan, maka sembuh ia dan hilang daripadanya penyakit itu semua sekali.”
Kesimpulannya, Syeikh Muhammad Zainuddin hidup sejak zaman Syeikh Nawawi al-Bantani dan beliau dikira lebih tua daripada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani (1272H/1856M-1325H/1908M). Syeikh Ahmad al-Fathani pula sempat belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani itu dan ada kemungkinan Syeikh Ahmad al-Fathani pula pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi.
Sudah jelas bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi ketika di Mekah, banyak memperoleh ilmu dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Namun begitu, pendidikannya sebelum di Mekah tidak diketahui dengan pasti.
Dari sekian banyak salasilah/sanad sesuatu disiplin ilmu yang disebutkan oleh Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid, sebagai contoh, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi dan Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi menerima ilmu daripada al-Mu’ammar al-Kiyai Nawawi bin Umar al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani menerima ilmu dari Syeikh Mahmud bin Kinan al-Falimbani dan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Kedua-duanya menerima sanad dari Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani. Dia menerima ilmu dari Syeikh ‘Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani (kemudian tinggal di Madinah). Beliau menerima ilmu dari ayahnya Syeikh Hasanuddin bin Ja’afar al-Falimbani, dan juga dari saudaranya Salih bin Hasanuddin al-Falimbani.
Kedua-duanya menerima ilmu dari Imam ‘Id bin Ali an-Namrisi al-Masri (tinggal di Mekah). Beliau menerima dari Imam al-Hafiz al-Muhaqqiq Abdullah bin Salim al-Basri al-Makki. Dia menerima daripada Muhammad Ibnu al-‘Ala’ al-Babli. Dia menerima daripada Abin Naja Salim bin Muhammad as-Sanhuri yang menerima daripada Muhammad bin Ahmad al-Ghiti.
Dia menerima daripada Kadi Zakaria bin Muhammad al-Ansari. Dia menerima daripada Abin Na’im Ridhwan bin Muhammad al-‘Iqabi. Dia menerima daripada Abit Thahir Muhammad bin Muhammad. Dia menerima daripada Abdur Rahman Ibnu Abdul Hamid al-Muqaddisi. Dia menerima dari Abil Abbas Ahmad bin Abdud Daim an-Nablusi.
Abil Abbas menerima daripada Muhammad bin Ali al-Harani. Dia menerima daripada Muhammad bin Fadhal al-Farawi. Dia menerima dari Abil Hussein Abdul Ghafir Ibnu Muhammad al-Farisi. Dia menerima daripada Abi Ahmad Muhammad bin Isa al-Jaludi. Dia menerima daripada Abi Ishak Ibrahim Ibnu Muhammad bin Sufyan az-Zahid. Dia menerima daripada pengarang kitab al- imam al-Hafiz Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi.
Yang tersebut di atas adalah sebagai contoh sanad Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi tentang hadis Muslim yang diterimanya dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Tetapi tentang hadis Bukhari, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi bertitik mula penerimaannya dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi. Bukan dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Melalui beberapa sanad/salasilah keilmuan Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu bertitik mula dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi bererti selain Syeikh Nawawi al-Bantani, beliau mempelajari pula berbagai-bagai bidang ilmu dari ulama yang berasal dari Sambas itu.
Namun demikian, saya masih meragui kebenaran tulisan Syeikh Yasin Padang itu kerana yang ditemui maklumat yang berada di Makah sezaman dengan Syeikh Nawawi al-Bantani ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Kedua-duanya adalah murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Sangat boleh jadi tulisan Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid itu adalah tersalah cetak.
Masih ada satu sanad/salasilah Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi yang tidak terdapat dalam karya Syeikh Yasin Padang iaitu sanad/salasilah mengenai Tarekat Qadiriyah. Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani menulis, “…..Syaikhuna al-‘Alim al-‘Allamah al-Khalifah at-Tarekah al-Qadiriyah asy-Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi, ia mengambil daripada syeikhnya as-Saiyid Muhammad Mukrim, Mufti negeri Hamad benua Syam. Yang ia mengambil daripada Masyaikh-Masyaikhi ilan Nabi s.a.w yang muttasil hingga sekarang ini. Dan jika hendak mengetahui salasilah tarekat ini lihat di dalam Tuhfatil Qudsiyah bagi Syaikhunal mazkur asy-Syeikh Muhammad Zainuddin….”
Salasilah yang tersebut dalam kitab Tuhfatil Qudsiyah yang disebut oleh Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu tidak dapat diketahui kerana kitab karya ulama yang berasal dari Sumbawa itu masih belum ditemui hingga sekarang. Kemungkinan kitab tersebut telah ghaib, tiada siapa yang menyimpannya lagi.
Apabila kita semak tulisan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, dengan jelas beliau sebut bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi adalah Khalifah Tarekat Qadiriyah, iaitu tarekat yang dinisbahkan kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Ini bererti kemunculan beliau seolah-olah setaraf dengan Syeikh Abdul Karim al-Bantani yang menjadi Khalifah Tarekat Qadiriyah yang dilantik gurunya yang dianggap mursyid kamil mukammil dalam tarekat itu, beliau ialah Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Beberapa orang ulama yang berasal dari Alam Melayu yang pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi memang sangat ramai. Di antara yang dianggap sebagai ulama besar dan tokoh yang berpengaruh ialah : Syeikh Mukhtar bin ‘Atarid Bogor, Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, Kiyai Muhammad Khalil bin Abdul Lathif al-Manduri , Syeikh Ali bin Abdullah al-Banjari, Syeikh Khalid bin Utsman al-Makhla az-Zubaidi, Syeikh Abdul Hamid Kudus, Syeikh Mahfuz bin Abdullah at-Tarmisi (Termas, Jawa) dan ramai lagi.
Karya Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi hanya empat buah sahaja dalam maklumat yang ada pada saya iaitu:
1. Sirajul Huda ila Bayani ‘Aqaidit Taqwa, judul terjemahan dalam bahasa Melayu oleh pengarangnya sendiri iaitu Pelita Petunjuk Kepada Menyatakan Segala Simpulan Segala Ahli Takwa. Terdapat berbagai-bagai edisi cetakan dan sampai sekarang masih beredar di pasaran kitab. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan.
2. Minhajus Salam fi Tafsil ma yata’allaqu bil Iman wal Islam. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Dicetak dalam beberapa edisi. Pada masa sekarang, hampir-hampir tidak ada di pasaran lagi.
3. Waraqatun Qalilatun fi Manasikil Hajji wal ‘Umrah ‘ala Mazhab al-Imam asy-Syafie. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Risalah ini dicetak dalam Majmuk Kaifiyat Khatam al-Quran yang dinyatakan sebagai karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dicetak dalam berbagai-bagai edisi cetakan baik di Timur Tengah mahupun dicetak di dunia Melayu.
4. Tuhfatul Qudsiyah. Hanya terdapat maklumat berdasarkan karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani di dalam Badi’uz Zaman. Kemungkinan karya yang tersebut telah tidak dapat ditemui lagi.
Kandungan karya Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa yang nombor 1, iaitu Sirajul Huda, membicarakan tauhid atau akidah Ahli Sunah wal Jamaah, perbicaraannya biasa sahaja, sebagaimana kitab-kitab tauhid dalam bahasa Melayu yang lain-lainnya.
Sungguhpun begitu, ada dua hal yang menarik untuk dipetik, iaitu pertama terdapat dua tempat bahasa yang bercorak puisi dan yang kedua, kupasannya yang panjang mengenai satu istilah yang terdapat dalam usuluddin. Salah satu daripadanya tentang mukjizat Nabi Muhammad s.a.w menghidupkan ayah dan ibunya, terdiri enam bait, empat bait bahagian akhir sebagai contoh ialah:
“Maka dihidupkan ayah dan
bondanya
Supaya dengan dia percaya
keduanya
Maka terima olehmu jangan
ingkarnya
Kerana yang demikian itu
kuasanya
Telah datang hadis dalil
atasnya
riwayat orang pendita rijalnya
Barang siapa berkata dengan
daifnya
Maka ialah daif, tidak
hakikatnya.”
Daripada contoh di atas, dapat dipastikan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah termasuk ulama ahli penyair dunia Melayu.
Di antara mereka yang sangat terkenal ialah Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima) yang mempunyai ramai murid. Syeikh Umar bin Abdur Rasyid as-Sumbawi yang terkenal sama dengan Syeikh Abdul Ghani Bima. Tetapi kedua-duanya tidak meninggalkan karya cetakan.
Kemungkinan karya mereka terdapat dalam bentuk manuskrip. Dua ulama Sumbawa yang meninggalkan karangan ialah Syeikh Muhammad Ali bin Abdur Rasyid bin Abdullah Qadhi as-Sumbawi dan seorang lagi ialah yang diriwayatkan ini. Nama lengkap beliau ialah Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi as-Sumbawi.
Karyanya yang sangat terkenal dan masih diajarkan di kalangan masyarakat Melayu hingga sekarang ialah Sirajul Huda, seperti tersebut pada judul artikel ini. Menurut tradisi pengajian pondok di alam Melayu, kitab tersebut biasanya dibaca sesudah menamatkan kitab Faridatul Faraid . Apabila sudah cukup memahami kitab Faridatul Faraid barulah memasuki kitab Sirajul Huda. Tetapi ada juga pondok yang mendahulukan Sirajul Huda kemudian baru mengajar Faridatul Faraid.
Sesudah kedua-dua kitab itu - yang dipandang sebagai asas ilmu tauhid - barulah memasuki kitab Ad-Durruts Tsamin. Setelah ketiga-tiga kitab itu betul-betul difahami dengan kukuh, asas Ahli Sunah wal Jamaah metod Syeikh Abu Mansur al-Maturidi tidak berganjak lagi, maka mereka akan memasuki kitab-kitab akidah yang lebih berat seumpama ad-Durun Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dan lain-lain.
Untuk mengesan pada zaman mana Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa hidup, ada sedikit kesukaran. Ini kerana daripada kedua-dua karyanya yang masih beredar di pasaran, beliau tidak menyebut tahun berapa memulakan atau menyelesaikan karyanya itu.
Dari beberapa salasilah keilmuan yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (Padang), dapat diambil kesimpulan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani (1230H/1814M - 1312H/ 1897M) dan peringkat guru kepada Syeikh Mukhtar bin 'Atarid al-Bughri(Bogor) (1278H/1860M - 1349H/1930M).
Berdasarkan tulisan Syeikh Muhammad Az-hari al-Falimbani dalam beberapa karyanya di antaranya Badi’uz Zaman, bahawa beliau menerima Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi. Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi menerima baiah daripada Syeikh Muhammad Mukrim, Mufti Hamad di negeri Syam.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani pula, hanya sedikit mencatat tentang Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu. Kata beliau: “Dan mengkhabarkan kepada hamba oleh al-alim Tuan Zainuddin Sumbawa Rahimahullah taala bahawasanya mengenai akan dia oleh penyakit karang, maka minum ia akan air rebusan kayu sepang dan kayu kendarang, mengekali ia atasnya beberapa bulan, maka sembuh ia dan hilang daripadanya penyakit itu semua sekali.”
Kesimpulannya, Syeikh Muhammad Zainuddin hidup sejak zaman Syeikh Nawawi al-Bantani dan beliau dikira lebih tua daripada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani (1272H/1856M-1325H/1908M). Syeikh Ahmad al-Fathani pula sempat belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani itu dan ada kemungkinan Syeikh Ahmad al-Fathani pula pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi.
Sudah jelas bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi ketika di Mekah, banyak memperoleh ilmu dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Namun begitu, pendidikannya sebelum di Mekah tidak diketahui dengan pasti.
Dari sekian banyak salasilah/sanad sesuatu disiplin ilmu yang disebutkan oleh Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid, sebagai contoh, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi dan Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi menerima ilmu daripada al-Mu’ammar al-Kiyai Nawawi bin Umar al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani menerima ilmu dari Syeikh Mahmud bin Kinan al-Falimbani dan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Kedua-duanya menerima sanad dari Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani. Dia menerima ilmu dari Syeikh ‘Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani (kemudian tinggal di Madinah). Beliau menerima ilmu dari ayahnya Syeikh Hasanuddin bin Ja’afar al-Falimbani, dan juga dari saudaranya Salih bin Hasanuddin al-Falimbani.
Kedua-duanya menerima ilmu dari Imam ‘Id bin Ali an-Namrisi al-Masri (tinggal di Mekah). Beliau menerima dari Imam al-Hafiz al-Muhaqqiq Abdullah bin Salim al-Basri al-Makki. Dia menerima daripada Muhammad Ibnu al-‘Ala’ al-Babli. Dia menerima daripada Abin Naja Salim bin Muhammad as-Sanhuri yang menerima daripada Muhammad bin Ahmad al-Ghiti.
Dia menerima daripada Kadi Zakaria bin Muhammad al-Ansari. Dia menerima daripada Abin Na’im Ridhwan bin Muhammad al-‘Iqabi. Dia menerima daripada Abit Thahir Muhammad bin Muhammad. Dia menerima daripada Abdur Rahman Ibnu Abdul Hamid al-Muqaddisi. Dia menerima dari Abil Abbas Ahmad bin Abdud Daim an-Nablusi.
Abil Abbas menerima daripada Muhammad bin Ali al-Harani. Dia menerima daripada Muhammad bin Fadhal al-Farawi. Dia menerima dari Abil Hussein Abdul Ghafir Ibnu Muhammad al-Farisi. Dia menerima daripada Abi Ahmad Muhammad bin Isa al-Jaludi. Dia menerima daripada Abi Ishak Ibrahim Ibnu Muhammad bin Sufyan az-Zahid. Dia menerima daripada pengarang kitab al- imam al-Hafiz Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi.
Yang tersebut di atas adalah sebagai contoh sanad Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi tentang hadis Muslim yang diterimanya dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Tetapi tentang hadis Bukhari, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi bertitik mula penerimaannya dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi. Bukan dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Melalui beberapa sanad/salasilah keilmuan Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu bertitik mula dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi bererti selain Syeikh Nawawi al-Bantani, beliau mempelajari pula berbagai-bagai bidang ilmu dari ulama yang berasal dari Sambas itu.
Namun demikian, saya masih meragui kebenaran tulisan Syeikh Yasin Padang itu kerana yang ditemui maklumat yang berada di Makah sezaman dengan Syeikh Nawawi al-Bantani ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Kedua-duanya adalah murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Sangat boleh jadi tulisan Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid itu adalah tersalah cetak.
Masih ada satu sanad/salasilah Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi yang tidak terdapat dalam karya Syeikh Yasin Padang iaitu sanad/salasilah mengenai Tarekat Qadiriyah. Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani menulis, “…..Syaikhuna al-‘Alim al-‘Allamah al-Khalifah at-Tarekah al-Qadiriyah asy-Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi, ia mengambil daripada syeikhnya as-Saiyid Muhammad Mukrim, Mufti negeri Hamad benua Syam. Yang ia mengambil daripada Masyaikh-Masyaikhi ilan Nabi s.a.w yang muttasil hingga sekarang ini. Dan jika hendak mengetahui salasilah tarekat ini lihat di dalam Tuhfatil Qudsiyah bagi Syaikhunal mazkur asy-Syeikh Muhammad Zainuddin….”
Salasilah yang tersebut dalam kitab Tuhfatil Qudsiyah yang disebut oleh Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu tidak dapat diketahui kerana kitab karya ulama yang berasal dari Sumbawa itu masih belum ditemui hingga sekarang. Kemungkinan kitab tersebut telah ghaib, tiada siapa yang menyimpannya lagi.
Apabila kita semak tulisan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, dengan jelas beliau sebut bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi adalah Khalifah Tarekat Qadiriyah, iaitu tarekat yang dinisbahkan kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Ini bererti kemunculan beliau seolah-olah setaraf dengan Syeikh Abdul Karim al-Bantani yang menjadi Khalifah Tarekat Qadiriyah yang dilantik gurunya yang dianggap mursyid kamil mukammil dalam tarekat itu, beliau ialah Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Beberapa orang ulama yang berasal dari Alam Melayu yang pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi memang sangat ramai. Di antara yang dianggap sebagai ulama besar dan tokoh yang berpengaruh ialah : Syeikh Mukhtar bin ‘Atarid Bogor, Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, Kiyai Muhammad Khalil bin Abdul Lathif al-Manduri , Syeikh Ali bin Abdullah al-Banjari, Syeikh Khalid bin Utsman al-Makhla az-Zubaidi, Syeikh Abdul Hamid Kudus, Syeikh Mahfuz bin Abdullah at-Tarmisi (Termas, Jawa) dan ramai lagi.
Karya Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi hanya empat buah sahaja dalam maklumat yang ada pada saya iaitu:
1. Sirajul Huda ila Bayani ‘Aqaidit Taqwa, judul terjemahan dalam bahasa Melayu oleh pengarangnya sendiri iaitu Pelita Petunjuk Kepada Menyatakan Segala Simpulan Segala Ahli Takwa. Terdapat berbagai-bagai edisi cetakan dan sampai sekarang masih beredar di pasaran kitab. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan.
2. Minhajus Salam fi Tafsil ma yata’allaqu bil Iman wal Islam. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Dicetak dalam beberapa edisi. Pada masa sekarang, hampir-hampir tidak ada di pasaran lagi.
3. Waraqatun Qalilatun fi Manasikil Hajji wal ‘Umrah ‘ala Mazhab al-Imam asy-Syafie. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Risalah ini dicetak dalam Majmuk Kaifiyat Khatam al-Quran yang dinyatakan sebagai karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dicetak dalam berbagai-bagai edisi cetakan baik di Timur Tengah mahupun dicetak di dunia Melayu.
4. Tuhfatul Qudsiyah. Hanya terdapat maklumat berdasarkan karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani di dalam Badi’uz Zaman. Kemungkinan karya yang tersebut telah tidak dapat ditemui lagi.
Kandungan karya Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa yang nombor 1, iaitu Sirajul Huda, membicarakan tauhid atau akidah Ahli Sunah wal Jamaah, perbicaraannya biasa sahaja, sebagaimana kitab-kitab tauhid dalam bahasa Melayu yang lain-lainnya.
Sungguhpun begitu, ada dua hal yang menarik untuk dipetik, iaitu pertama terdapat dua tempat bahasa yang bercorak puisi dan yang kedua, kupasannya yang panjang mengenai satu istilah yang terdapat dalam usuluddin. Salah satu daripadanya tentang mukjizat Nabi Muhammad s.a.w menghidupkan ayah dan ibunya, terdiri enam bait, empat bait bahagian akhir sebagai contoh ialah:
“Maka dihidupkan ayah dan
bondanya
Supaya dengan dia percaya
keduanya
Maka terima olehmu jangan
ingkarnya
Kerana yang demikian itu
kuasanya
Telah datang hadis dalil
atasnya
riwayat orang pendita rijalnya
Barang siapa berkata dengan
daifnya
Maka ialah daif, tidak
hakikatnya.”
Daripada contoh di atas, dapat dipastikan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah termasuk ulama ahli penyair dunia Melayu.
KH. IHSAN MUHAMMAD DAHLAN ( Ulama Penulis kitab Sirajul Thalibin, Asal Jampes Kediri )
Yang saya tahu Kh.Ihsan Muhammad yang masyhur dengan nama Syech Ihsan jampes satu satunya Ulama yang mengarang dan menulis Kitab tentang kopi dan rokok . Kitab Asli yang berjudul “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” mengupas tentang kopi dan rokok dari mulai sejarah munculnya Kopi dan rokok sampai hukum mengkomsumsi keduanya.
Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut ,karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan (ulama timur tengah ).
Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??
KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura.
Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarah atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,”
Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz.
Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari. Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang.
Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut ,karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan (ulama timur tengah ).
Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??
KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura.
Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarah atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,”
Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz.
Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari. Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang.
Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Mayoritas umat Islam berpendapat bahwa bilangan shalat Tarawih adalah dua puluh raka’at. Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, Daud al-Dhahiry dan satu riwayat dari Malik berpendapat bilangan Tarawih adalah dua puluh raka’at. Riwayat lain dari Malik adalah tiga puluh enam raka’at.1 Ahmad dalam satu riwayat darinya, juga berpendapat jumlah raka’at Tarawih adalah tiga puluh enam raka’at karena mengikuti perbuatan penduduk Madinah. Namun Al-Ruyani mengabarkan kepada kita bahwa riwayat tersebut, yaitu Malik dan Ahmad berpendapat tiga puluh enam raka’at adalah suatu kesalahan, karena Ibnu Umar telah meriwayat bahwa manusia pada masa sahabat melakukan shalat Tarawih berjama’ah kepada Ubay bin Ka’ab dengan jumlah dua puluh raka’at dan itu merupakan ijmak diantara mereka. Penduduk Makkah juga melakukan hal serupa. Adapun kemudian penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih dengan jumlah tiga puluh sembilan raka’at, menurut Syafi’i, adalah karena pada waktu itu penduduk Makkah melaksanakan Tarawih dengan jumlah dua puluh raka’at, dimana dalam setiap sekali istirahat (tarwih) mereka melaksanakan thawaf tujuh kali. Guna menyamakan dengan ibadah penduduk Makkah, maka penduduk Madinah menambah empat raka’at dalam setiap kali istirahat shalat Tarawih, sehingga jumlah raka’at shalat mereka adalah 20 + (4 kali istirahat x 4 raka’at =16) = 36 raka’at dan menjadi jumlah totalnya = 39 raka’at dengan menambah tiga raka’at Witir. 2
Disamping dua pendapat di atas, juga ada riwayat dari al-Aswad bin Yazid bahwa beliau ini melakukan shalat Tarawih dengan empat puluh raka’at. 3 Sekelompok umat Islam, ada juga yang berpendapat bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah delapan raka’at atau sebelas raka’at dengan Witir. Imam as-Suyuthi, salah seorang tokoh mutaakhirin Mazhab Syafi’i mempunyai pendapat yang berbeda dengan Syafi’i sendiri dan kebanyakan para ulama. Beliau berpendapat bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah sebelas raka’at dengan witir. Beliau mengatakan dalam kitabnya, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih :
“Alhasil bahwa dua puluh raka’at tidak itsbat (positif) dari perbuatan Nabi SAW. Apa yang dikutip dari Ibnu Hibban sesuai dengan pendapat kami dengan berpegang kepada hadits riwayat Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidak melebihi pada Ramadhan dan lainnya atas sebelas raka’at. Keterangan ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hubban dari sisi Nabi SAW bahwa beliau melakukan Shalat Tarawih delapan raka’at kemudian witir dengan tiga raka’at, maka jumlahnya sebelas raka’at. 4
Pendapat lain mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih. Shalat Tarawih adalah ibadah sunnat, karena itu boleh melaksanakan shalat Tarawih dengan jumlah raka’at yang diinginkannya. Maka kadang-kadang pada suatu ketika, seseorang menginginkan berdiri dalam shalat dengan waktu yang lama, maka ia shalat dengan delapan raka’at dan pada saat yang lain, menginginkan shalat yang singkat, maka ia shalat dengan dua puluh atau lebih. Diantara yang berpendapat dengan pendapat terakhir ini adalah al-Subky, salah seorang tokoh mazhab Syafi’i sebagaimana disebut dalam kitab beliau, Syarah al-Minhaj. Al-Jury, mendakwakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat Syafi’i. Pendapat dua ulama terakhir ini telah dikemukakan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih. 5 Perlu menjadi catatan di sini, bahwa dakwaan al-Jury dimana Syafi’i berpendapat tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih merupakan sebuah dakwaan yang sangat aneh dan ganjil, karena dakwaan tersebut tidak didapati dalam kitab-kitab mu’tabar di kalangan tokoh-tokoh ulama mazhab Syafi’I, bahkan yang ditemukan hanya riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Syafi’i berpendapat shalat Tarawih berjumlah dua puluh raka’at. Ini dapat diperhatikan dalam kitab antara lain :
1.Kitab al-Hawi al-Kabir karya al-Mawardi, disebutkan :
“Syafi’i r.a. mengatakan, aku melihat mereka melaksanakannya di Madinah dengan tiga puluh sembilan raka’at. Tetapi aku lebih menyukai dengan dua puluh raka’at, karena itu telah diriwayat dari ‘Umar bin Khatab r.a. dan penduduk Makkah juga melaksanakan seperti itu dan melakukan witir tiga raka’at.”6
Pernyataan di atas juga telah dikutip oleh al-Ruyani dalam Bahr al-Mazhab 7 dan Abu Husain al-‘Imrany al-Syafi’i al-Yamany dalam kitab al-Bayan fii Mazhab al-Imam al-Syafi’i.8
2.Diantara ulama yang telah menisbahkan pendapat dua puluh rakaa’at shalat Tarawih tanpa menyebut qaul lain bagi Syafi’i adalah antara lain Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid,9 Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkar 10 dan lain-lain.
3.Imam an-Nawawi, salah seorang ulama Syafi’iyah yang sangat telit dan akurat dalam memilah-milah mana yang menjadi qaul Syafi’i dan mana yang bukan, dalam kitab karangan beliau, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan :
“Mazhab kita, raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at dengan sepuluh kali salam selain witir”.11
4. Keterangan yang disampaikan oleh an-Nawawi di atas dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab karya ulama Syafi’iyah lainnya seperti Jalaluddin al-Mahalli, Ibnu Hajar al-Haitamy, ar-Ramli, Zakariya al-Anshary dan lain-lain.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih di atas lebih disebabkan karena tidak terdapat hadits yang marfu’ (hadits yang langsung dari Rasulullah SAW), baik yang bersifat qauli, fi’li maupun taqriri dari Rasulullah SAW. Yang ada, hanya keterangan mengenai shalat Tarawih bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dari rumah melakukan shalat dalam masjid dalam beberapa malam, kemudian beliau tidak keluar lagi ke masjid karena kuatir difardhukan shalat tersebut atas ummatnya dengan tanpa disebut jumlah raka’atnya, sebagaimana hadits ‘Aisyah di bawah ini :
أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat dalam mesjid dengan diikuti oleh manusia. Kemudian beliau keluar untuk shalat pada malam berikutnya, maka makin banyak manusia shalat bersamanya. Pada malam ketiga atau keempat manusia keluar berkumpul, Rasulullah SAW tidak keluar-keluar kepada mereka. Manakala Subuh bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku telah melihat apa yang kalian kerjakan dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali kekuatiranku difardhukan shalat itu atasmu. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan. (H.R. Bukhari,12 Muslim13 dan Malik)14
Penjelasan ini sesuai dengan keterangan para ulama sebagaimana tersebut di bawah ini :
1.Ibnu Hajar al-Asqalany dalam mensyarah hadits di atas, mengatakan :
“Saya belum pernah melihat dari jalur-jalur hadits yang mengatakan jumlah bilangan raka’at shalat Nabi SAW pada malam itu”.15
2.Berkata Ibnu Hajar al-Haitamy :
“Perintah mendirikan Ramadhan dan menggemarkannya datang tanpa menyebut bilangan raka’atnya. Shalat Nabi SAW tanpa menyebut bilangan raka’atnya pada beberapa malam. Pada malam keempat Nabi SAW terlambat datang karena kuatir difardhukan atas mereka, kemudian mereka tidak mampu melakukannya”. 16
Namun demikian, Baihaqi ada meriwayat hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata :
كان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي في شهر رمضان في غير جماعة بعشرين ركعة
Artinya : Nabi SAW pernah melakukan shalat pada bulan Ramadhan dengan tanpa jama’ah dua puluh raka’at (H.R. Baihaqi).17
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat Tarawih dengan jumlah dua puluh raka’at. Namun hadits ini, nilainya adalah dha’if sebagaimana penjelasan Baihaqi sendiri setelah menyebut hadits ini dalam as-Sunannya. Namun demikian, kedha’ifan hadits ini tidak bermakna, karena telah terjadi ijmak para sahabat atas shalat Tarawih dengan jumlah dua puluh raka’at pada masa Umar bin Khatab. Keterangan ijmak ini telah disebut oleh Syarwani dalam Hasyiah Tuhfah al-Muhtaj 18 dan ar-Ruyani dalam Bahr al-Mazhab,19 juga telah dikemukan dalam Fatawa al-Azhar.20 Ibnu Abd al-Bar mengatakan :
“Pendapat ini shahih dari Abi bin Ka’ab dengan tidak ada khilaf dari Sahabat Nabi SAW.” 21
Keterangan ijmak ini berdasarkan hadits riwayat Baihaqi dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضي الله عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة
Artinya : Mereka (para sahabat) melaku shalat malam pada masa Umar bin Khatab r.a. pada bulan Ramadhan dengan dua pulu raka’at (H.R.Baihaqi22 dan lainnya)
Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan bahwa hadits di atas, diriwayat oleh Baihaqi dan lainnya dengan isnad shahih, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muhazzab.23 Keterangan hadits riwayat Baihaqi di atas adalah shahih, juga disampaikan oleh al-Bakri al-Dimyathi.24 Baihaqi meriwayat hadits di atas dari Abu Abdullah al-Husain bin Muhammad bin Husain bin Panjawih al-Dainury Bildamighan dari Ahmad bin Muhammad bin Ishaq al-Sunny dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz al-Baghwy dari Ali bin al-Ja’d dari Ibnu Abi Za’b dari Yazid bin Khusaifah dari al-Sa-ib bin Yazid. Hadits yang senada dengan ini juga diriwayat oleh Malik dalam kitab al-Muwatha’ dan oleh Baihaqi, tetapi dengan jumlah dua puluh tiga raka’at, yaitu :
كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : Manusia pada zaman Umar bin Khatab mendirikan malam pada bulan Ramadhan dengan jumlah dua puluh tiga raka’at (H.R. Malik25 dan Baihaqi)
Malik dan Baihaqi meriwayatkannya dari Yazid bin Ruman. Sedangkan Yazid bin Ruman ini tidak pernah bertemu dengan Umar bin Khatab. Jadi, termasuk hadits mursal.26 Dengan demikian, sanad hadits ini dha’if. Namun demikian, kedhaifannya tidak menyebab matannya dha’if pula, karena hadits ini bersesuaian dengan hadits shahih riwayat Baihaqi yang mengatakan raka’at Tarawih dua puluh raka’at. Baihaqi mentaufiqkan (mengkompromikan) kedua hadits di atas dengan mengatakan bahwa tiga raka’at, yang lebih dari dua puluh sebagaimana riwayat Malik adalah shalat witir. Dengan demikian kedua riwayat tersebut sepakat menyatakan bahwa shalat Tarawih adalah dua puluh raka’at. 27
Ibnu Abd al-Bar telah menyebut beberapa hadits lain yang menyatakan jumlah raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at, antara lain : 28
1.Hadits riwayat Abd al-Razaq dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
أن عمر بن الخطاب جمع الناس في رمضان على أبي بن كعب وتميم الداري على إحدى عشرين ركعة
Artinya : Umar bin Khatab telah mengumpulkan manusia pada bulan Ramadhan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary dengan dua puluh satu raka’at
2.Hadits riwayat Waki’ dari Malik dari Yahya bin Sa’id, beliau berkata :
أن عمر بن الخطاب نهر رجلا يصلي بهم عشرين ركعة
Artinya : Sesungguhnya Umar bin Khatab pernah menghardik sesorang laki-laki supaya shalat dengan lainnya dua puluh raka’at
3.Hadits riwayat al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Zubab dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
وكان القيام على عهد عمر بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : mendirikan malam pada masa Umar adalah dengan dua puluh tiga raka’at
4. Hadits riwayat Malik dari Yazid bin Ruman, beliau berkata :
كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : Manusia pada zaman Umar bin Khatab mendirikan malam pada bulan Ramadhan dengan jumlah dua puluh tiga raka’at
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin Khatab memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary untuk shalat sebelas raka’at hanya diriwayat oleh Malik seorang diri, tidak oleh lainnya. Riwayat tersebut adalah riwayat Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما الداري أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة قال وقد كان القارئ يقرأ بالمئين حتى كنا نعتمد على العصي من طول القيام وما كنا ننصرف إلا في فروع الفجر
Artinya : Umar bin Khatab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary agar shalat dengan manusia dengan sebelas raka’at. Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan kami tidak selesai kecuali pada saat terbitnya fajar (H.R. Malik)29
Baihaqi juga telah meriwayat hadits ini yang sanadnya juga berujung kepada Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid.30 Ibnu Abd al-Bar mengatakan :
“Aku tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan pada hadits ini sebelas raka’at kecuali Malik” 31
Pernyataan Ibnu Abd al-Bar ini juga telah dikutip al-Ruyani, beliau berkata :
“Ibnu Abd al-Bar telah menjadikan riwayat sebelas raka’at sebagai waham belaka. Beliau berkata : “Aku tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan sebelas raka’at selain Malik”.32
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa Malik menyendiri dalam periwatan tersebut dan pula bertentangan dengan riwayat kebanyakan yang menyatakan Umar memerintah shalat Tarawih dua puluh raka’at sebagaimana terlihat di atas. Sehingga tidak heran dikalangan pengikut Mazhab Malik sendiri riwayat ini tidak menjadi pegangan mazhab. Ini dapat diperhatikan dalam pernyataan Syaikh al-Dusuqi, salah seorang tokoh terkenal dalam Mazhab Malik di bawah ini :
“Shalat Tarawih adalah dua puluh tiga raka’at dengan al-syaf’i dan al-witr (maksudnya shalat witir, dengan jumlah raka’atnya genap dan ditambah satu raka’at lagi, sehingga jumlahnya adalah ganjil) sebagaimana yang berlaku pengamalannya. Kemudian dijadikan pada zaman Umar bin Abdul Aziz tiga puluh enam raka’at tanpa al-syaf’i dan al-witir. Tetapi yang menjadi amalan salaf dan khalaf adalah yang pertama”. 33
Keterangan senada juga disampaikan oleh Ibnu al-Abidin dari kalangan Mazhab Hanafi sebagaimana di bawah ini :
“(Perkataan Mushannif dua puluh raka’at) merupakan pendapat jumhur ulama dan merupakan amalan manusia di timur dan barat”.34
Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali dalam kitab beliau, Syarah al-Kabir, setelah mengutip riwayat yang menyatakan pada zaman Umar dan Ali, shalat Tarawih adalah dua puluh raka’at, beliau mengatakan :
“Ini (jumlah raka’at Tarawih dua puluh) adalah seperti ijmak”35
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dapat menjadi pegangan kita hanyalah riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin Khatab pernah memerintah shalat Tarawih dua puluh raka’at. Kesimpulan ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Abd al-Bar setelah beliau mengutip riwayat-riwayat tersebut di atas, yaitu :
“Ini semua menguatkan bahwa riwayat sebelas raka’at adalah waham dan salah dan sesungguhnya yang sahih adalah dua puluh tiga dan dua puluh satu raka’at” 36
Riwayat-riwayat di bawah ini juga mendukung kesimpulan di atas, yaitu :
1. Riwayat dari Abu Abdurrahman al-Salmy :
دعا القراء في رمضان فأمر منهم رجلا يصلي بالناس عشرين ركعة
Artinya : Ali r.a. memanggil para qari pada bulan Ramadhan, memerintah salah seorang dari mereka shalat dengan manusia dengan dua puluh raka’at.(H.R. Baihaqi) 37
2.Shalat Tarawih dengan dua puluh raka’at telah dilakukan oleh kebanyakan sahabat dan tidak ada sahabat lain yang menyalahinya. Menurut Ibnu Abd al-Bar shalat Tarawih dengan dua puluh raka’at telah dilakukan oleh Ali, Syutair bin Syakal, Ibnu Abi Mulaikah, al-Harits al-Hamdany dan Abi Baghtary dan merupakan pendapat jumhur ulama, ulama Kufah, Syafi’i dan kebanyakan fuqaha. Pendapat ini shahih dari Abi bin Ka’ab tanpa khilaf dari sahabat Nabi SAW. 38
3.‘Itha’, salah seorang Tabi’in berkata :
“Aku mendapati manusia, mereka shalat dengan dua puluh tiga raka’at dengan witir” 39
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh golongan yang berpendapat raka’at shalat Tarawih adalah sebelas raka’at, antara lain :
1.Hadits Aisyah :
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
Artinya : Nabi tidak pernah lebih dari 11 raka’at baik di Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi 4 raka’at, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 raka’at.(H.R. Bukhari 40 dan Muslim 41)
Perkataan “wala fii ghairihi” menunjukkan bahwa shalat yang dimaksud pada hadits ini bukanlah shalat Tarawih, karena shalat Tarawih tidak terdapat diluar Ramadhan. Jadi, menjadikan hadits ini sebagai dalil bilangan raka’at shalat Tarawih sungguh merupakan suatu yang tidak tepat sama sekali. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Haitamy tidak menempatkan hadits di atas sebagai dalil raka’at shalat Tarawih, tetapi beliau menjadikan sebagai dalil jumlah raka’at shalat Tahajjud.42 Apalagi menetapkan jumlah raka’at Tarawih sebelas raka’at berdasarkan hadits di atas bertentangan dengan ijmak sahabat yang terjadi pada masa Umar bin Khatab. Imam al-Ramli juga tidak menempatkan hadits di atas sebagai penentuan raka’at Tarawih, tetapi beliau menempatkannya sebagai dalil raka’at Witir, tidak sebagai sebagai dalil shalat Tahajjud sebagaimana Ibnu Hajar al-Haitamy di atas. 43
2.Hadits riwayat Jabir, beliau berkata :
صلى بنا رسول الله صلعم في رمضان ثماني ركعات ثم أوتر
Artinya : Kami shalat dengan Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan delapan raka’at kemudian rasulullah SAW melakukan witir (H.R.Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban) 44
Hadits ini menjelaskan bahwa Jabir dan sahabat lainnya bertemu dengan Rasulullah SAW dan hanya sempat melakukan shalat Tarawih secara berjama’ah dengan Rasulullah SAW sebanyak delapan raka’at. Menurut keterangan Syarwani, kemungkinan besar Rasulullah SAW dan para sahabat menyempurnakan sisanya dirumah masing-masing, atau mungkin juga sebelumnya sudah duluan melaksanakan beberapa raka’at.45 Syaikhuna (Ibnu Hajar al-Haitamy) mengatakan :
“Yang masyhur sesungguhnya Rasulullah SAW keluar kepada menemui sahabat sebanyak tiga malam, yaitu malam kedua puluh tiga, kedua puluh lima dan kedua puluh tujuh dan Rasulullah SAW tidak keluar pada malam kedua puluh sembilan. Beliau tidak keluar secara berturut-turut supaya tidak memberatkan mereka. Pada saat itu, Rasulullah shalat dengan mereka delapan raka’at, tetapi kemudian beliau menyempurnakannya menjadi dua puluh raka’at di rumahnya, demikian juga para sahabat, menyempunakannya dirumah mereka dengan dalil terdengar suara mereka seperti suara lebah. Alasan Rasulullah SAW tidak meyempurnakan raka’at Tarawih dua puluh raka’at di dalam masjid adalah karena menaruh kasihan kepada mereka.46
Keterangan senada juga disampaikan oleh Bujairumy dalam Hasyiah Bujairumy ‘ala al-Khatib, yaitu :
“Jika kamu mengatakan : “Bagaimana dapat terjadi ijmak jumlah raka’at Tarawih dua puluh raka’at, padahal yang warid dari perbuatan Nabi SAW adalah delapan raka’at ?” Aku jawab : “Para sahabat menyempurnakannya lagi menjadi dua puluh raka’at di rumah meraka dengan dalil ketika kembali kerumah mereka masing-masing, terdengar suara mereka seperti suara lebah. Rasulullah hanya melakukan shalat delapan raka’at dengan mereka dan tidak melakukan dua puluh raka’at karena untuk meringankan mereka”. 47
Dr Wahbah Zuhaili, seorang ulama Timur Tengah yang berpengaruh di dunia Islam pada zaman moderen sekarang ini berkata :
“Rasulullah SAW shalat dengan para sahabat dengan jumlah delapan raka’at, kemudian mereka menyempurnakan sisanya pada rumah mereka. Karena itu, terdengar suara mereka seperti suara lebah.48
Penjelasan sebagaimana tersebut di atas adalah berdasarkan hadits riwayat Syaikhaini sebagaimana disebutkan oleh Syarqawi dalam kitab beliau, Hasyiah Syarqawi ‘ala Syarah al-Tahrir : yaitu :
انه صلعم خرج من جوف الليل من رمضان وهي ثلاث متفرقة ليلة الثالث والخامس والسابع والعشرين وصلي في المسجد وصلي الناس بصلاته فيها وكان يصلي بهم ثمان ركعات ويكملون باقيها في بيوتهم فكان يسمع لهم أزير كأزير النحل
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah keluar dalam beberapa malam di Bulan Ramadhan, yaitu tiga malam yang terpisah-pisah, malam dua puluh tiga, dua puluh lima dan dua puluh tujuh. Pada beberapa malam tersebut Nabi SAW di mesjid dan manusia shalat berjama’ah dengan beliau dengan jumlah delapan raka’at. Mereka menyempurnakan shalat di rumahnya masing-masing, maka terdengarlah suara seperti suara lebah.(H.R. Syaikhaini) 49
Hadits riwayat Syaikhaini ini juga telah dikutip oleh Abdurrahman al-Jaziry dalam al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah 50 Yang dimaksud dengan Syaikhaini sebagaimana yang maklumi.dalam ilmu hadits adalah Bukhari dan Muslim.
Pemahaman sebagaimana disampaikan oleh para ulama di atas, harus menjadi rujukan kita, mengingat jumlah raka’at shalat Tarawih sudah fositif dua puluh raka’at berdasarkan perbuatan para sahabat pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Seandainya dikatakan bahwa jumlah raka’at shalat Tarawih berdasar perbuatan Rasulullah adalah delapan raka’at, ini sama halnya kita menuduh Umar bin Khatab dan sahabat lainnya pada ketika itu telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari sunnah Rasulullah. Tentunya disepakati bahwa tuduhan ini tidak dibenarkan dalam I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah.
Lagi pula penetapan raka’at shalat Tarawih delapan raka’at adalah bertentangan dengan penamaan shalat tersebut dengan nama Tarawih. Dinamakan shalat tersebut dengan Tarawih, karena para sahabat Nabi SAW melakukan istirahat dengan melakukan ibadah lainnya dalam setiap selesai melaksanakan shalat Tarawih empat raka’at. Tarawih adalah kata jama’ tarwihah yang berarti istirahat. Dengan demikian, Tarawih berarti banyak istirahat. Kalau kita menetapkan jumlah raka’at Tarawih hanya delapan raka’at, maka istrihatnya hanya satu kali. Maka sungguh tidak tepat penamaan shalat tersebut dengan Tarawih, padahal nama tersebut sudah populer mulai dari masa sahabat Nabi SAW. 51
3.Hadits dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما الداري أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة قال وقد كان القارئ يقرأ بالمئين حتى كنا نعتمد على العصي من طول القيام وما كنا ننصرف إلا في فروع الفجر
Artinya : Umar bin Khatab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary agar shalat dengan manusia dengan sebelas raka’at. Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar (H.R. Malik)52
Baihaqi juga telah meriwayat hadits ini yang sanadnya sampai kepada Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid.53 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hadits ini hanya diriwayat oleh Malik dan bertentangan dengan riwayat kebanyakan. Oleh karena itu, riwayat ini tidak dapat diamalkan. Penjelasannya secara lebih rinci sudah dibahas sebelum ini. Jawaban lain mengenai keberadaan hadits ini dikemukakan oleh Baihaqi. Beliau mentaufiqkan (mengkompromikan) hadits ini dengan hadits riwayat lain yang mengatakan pada masa Umar bin Khatab, raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at dan riwayat lain lagi, yaitu dua puluh tiga raka’at. Beliau berkata :
“Riwayat-riwayat itu dapat dikompromikan, yaitu pada awalnya, mereka melakukan shalat dengan jumlah sebelas raka’at, kemudian melakukan shalat Tarawih dua puluh raka’at dan kemudian lagi melakukan witir tiga raka’at.”54
Maksudnya, pada awalnya Umar memerintah shalat Tarawih sebelas raka’at karena begitulah hasil ijtihad beliau. Kemudian ijtihad beliau tersebut berobah dan berpendapat bahwa jumlah raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at. Jumlah dua puluh raka’at ini kemudian menjadi ijmak. Kompromi sebagaimana disampaikan oleh Baihaqi ini juga pernah disebut oleh Ibnu Abd al-Bar dalam kitab beliau, al-Istizkar, namun beliau cenderung mentarjihkan hadits yang menyatakan Umar memerintah shalat Tarawih dua puluh raka’at.55 Kompromi tersebut didasarkan kepada qaidah :
إعمال الكلام أولى من إهماله
Artinya : mengamalkan suatu kalam lebih diutamakan dibandingkan meninggalkannya.56
Alhasil, berdasarkan keterangan para ahli di atas, hadits perintah Umar melakukan shalat sebelas raka;at tidak dapat dijadi sebagai dalil bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah sebelas raka’at.
4.Hadits Aisyah, beliau berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يصلي من الليل إحدى عشرة ركعة يوتر منها بواحدة فإذا فرغ اضطجع على شقه الأيمن
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat malam sebelas raka’at, mewitirkannya dengan satu raka’at. Maka apabila telah selesai, beliau berbaring atas lumbung kanannya.(H.R. Muslim 57 dan Malik 58 )
Imam Malik meriwayat hadits di atas dalam bab shalat witir Nabi SAW. Sedangkan Muslim menyebutnya dalam bab shalat malam. Yang dimaksud dengan shalat malam, boleh jadi shalat tarawih, boleh jadi shalat malam lainnya. Namun karena shalat Tarawih sudah positif dua puluh raka’at berdasarkan dalil-dalil di atas, maka hadits ini harus dipertempatkan sebagai penjelasan raka’at shalat malam yang bukan shalat tarawih. Dengan demikian, hadits ini tidak dapat menjadi hujjah tentang bilangan raka’at shalat Tarawih.
5. Hadits
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بالليل ثلاث عشرة ركعة ثم يصلي إذا سمع النداء بالصبح ركعتين خفيفتين
Artinya : Rasulullah SAW melakukan shalat tiga belas raka’at, kemudian pada ketika mendengar azan subuh, shalat dua raka’at yang ringan(H. R. Malik) 59
Hadits ini juga membicarakan tentang jumlah raka’at shalat Witir, bukan shalat Tarawih. Oleh karena itu, Imam Malik menempatkan hadits ini dalam bab shalat Witir. Imam Bukhari juga meriwayat hadits yang senada dengan dua hadits di atas, dalam bab shalat Witir,60 Jadi bukan membicarakan jumlah raka’at shalat Tarawih. Lagi pula kalau dimaknai hadits ini sebagai dalil raka’at shalat Tarawih, tentu bertentangan dengan dalil dan ijmak yang dijelaskan sebelum ini.
Sekelompok umat Islam, sebagaimana telah disebut pada awal tulisan ini, ada yang berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih. Kelompok ini berargumentasi antara lain karena banyaknya riwayat yang menyatakan jumlah raka’at Tarawih yang berbeda-beda. Hal ini, menurut mereka hanyalah karena tidak ada ketentuan tertentu mengenai jumlah raka’atnya, sehingga shalat tarawih ini sama halnya dengan shalat sunnat mutlaq, dimana jumlah raka’atnya tidak dibatasi dengan jumlah tertentu.
Argumentasi dibantah, bahwa shalat Tarawih tidak dapat disamakan dengan shalat sunnat mutlaq, karena shalat Tarawih adalah sunnat muakkad yang lebih dekat kesamaannya dengan shalat fardhu, buktinya shalat Tarawih dituntut berjama’ah sebagaimana halnya shalat fardhu. Sifat ini tentu tidak dimiliki oleh shalat sunnat mutlaq. Lagi pula, pemahaman ini juga bertentangan dengan kesepakatan yang terjadi pada zaman Khalifah Umar r.a. sebagaimana telah dibahas di atas.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 152
2.Al-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi, Beirut, Juz. II, Hal. 380
3.As-Suyuthi, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih, Dar al-‘Ammar, Hal. 32
4.As-Suyuthi, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih, Dar al-‘Ammar, Hal. 35-36
5.As-Suyuthi, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih, Dar al-‘Ammar, Hal. 42-43 dan 46-48
6.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 290
7.Al-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi, Beirut, Juz. II, Hal. 379
8.Abu Husain al-‘Imrany al-Syafi’i al-Yamany , al-Bayan fii Mazhab al-Imam al-Syafi’i, Darul Minhaj, Juz. II, Hal. 278
9.Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 152
10.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
11.An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 527
12.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 50, No. hadits 1129
13.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 524, No. Hadits : 761
14.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 113, No. Hadits : 248
15.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 12
16.Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 194
17.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4391
18.Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, di cetak dalam Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 240
19.Ar-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 380
20.Fatawa al-Azhar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 48
21.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
22.Baihaqi, Sunan Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No Hadits : 4393
23.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 217
24.Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 265
25.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 115, No. Hadits : 252
26.Ibnu Mulaqqan al-Syafi;i, Badr al-Munir, Darul Hijrah, Riyadh, Juz. IV, hal. 351
27.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 217
28.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 154-156
29.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi Al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 115, No. Hadits : 251
30.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4392
31.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut , Juz. V, Hal. 154
32.Ibnu Mulaqqan al-Syafi;i, Badr al-Munir, Darul Hijrah, Riyadh, Juz. IV, hal. 351
33.Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 176-177
34.Ibnu al-Abidin, Hasyiah Radd al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 48
35.Ibnu Qudamah, Syarah al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 745
36.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 156
37.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4396
38.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
39.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
40.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 53, No. Hadits : 1147
41.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 509, No. Hadits : 738
42.Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, di cetak pada hamisy Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 225
43.Imam al-Ramli, Ghayah al-Bayan Syarah Zubab, Maktabah Syamilah, Hal. 79
44.Al-Mahalli, Syarah Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 217
45.Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, di cetak dalam Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 240
46.Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, di cetak dalam Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 240
47.Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 65
48.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 43
49.Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi ‘ala Syarah al-Tahrir, Juz.I, Hal. 332
50.Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Maktabah Hakikat, Turki, Juz. II, Hal. 18
51.Abdurrahman al-Jaziry, Fiqh al-Mazhab al-Arba’ah, Maktabah Hakikat, Istambul, Turki, Juz. II, Hal. 20
52.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi Al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 115, No. Hadits : 251
53.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4392
54.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496
55.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 154
56.As-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, al-Haramain. Singapura, Hal. 89
57.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 508, No. Hadits : 736
58.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 120, No. Hadits : 262
59.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 121, No. Hadits : 264
60.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 24-25, No. Hadits : 992 dan
Disamping dua pendapat di atas, juga ada riwayat dari al-Aswad bin Yazid bahwa beliau ini melakukan shalat Tarawih dengan empat puluh raka’at. 3 Sekelompok umat Islam, ada juga yang berpendapat bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah delapan raka’at atau sebelas raka’at dengan Witir. Imam as-Suyuthi, salah seorang tokoh mutaakhirin Mazhab Syafi’i mempunyai pendapat yang berbeda dengan Syafi’i sendiri dan kebanyakan para ulama. Beliau berpendapat bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah sebelas raka’at dengan witir. Beliau mengatakan dalam kitabnya, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih :
“Alhasil bahwa dua puluh raka’at tidak itsbat (positif) dari perbuatan Nabi SAW. Apa yang dikutip dari Ibnu Hibban sesuai dengan pendapat kami dengan berpegang kepada hadits riwayat Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidak melebihi pada Ramadhan dan lainnya atas sebelas raka’at. Keterangan ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hubban dari sisi Nabi SAW bahwa beliau melakukan Shalat Tarawih delapan raka’at kemudian witir dengan tiga raka’at, maka jumlahnya sebelas raka’at. 4
Pendapat lain mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih. Shalat Tarawih adalah ibadah sunnat, karena itu boleh melaksanakan shalat Tarawih dengan jumlah raka’at yang diinginkannya. Maka kadang-kadang pada suatu ketika, seseorang menginginkan berdiri dalam shalat dengan waktu yang lama, maka ia shalat dengan delapan raka’at dan pada saat yang lain, menginginkan shalat yang singkat, maka ia shalat dengan dua puluh atau lebih. Diantara yang berpendapat dengan pendapat terakhir ini adalah al-Subky, salah seorang tokoh mazhab Syafi’i sebagaimana disebut dalam kitab beliau, Syarah al-Minhaj. Al-Jury, mendakwakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat Syafi’i. Pendapat dua ulama terakhir ini telah dikemukakan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih. 5 Perlu menjadi catatan di sini, bahwa dakwaan al-Jury dimana Syafi’i berpendapat tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih merupakan sebuah dakwaan yang sangat aneh dan ganjil, karena dakwaan tersebut tidak didapati dalam kitab-kitab mu’tabar di kalangan tokoh-tokoh ulama mazhab Syafi’I, bahkan yang ditemukan hanya riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Syafi’i berpendapat shalat Tarawih berjumlah dua puluh raka’at. Ini dapat diperhatikan dalam kitab antara lain :
1.Kitab al-Hawi al-Kabir karya al-Mawardi, disebutkan :
“Syafi’i r.a. mengatakan, aku melihat mereka melaksanakannya di Madinah dengan tiga puluh sembilan raka’at. Tetapi aku lebih menyukai dengan dua puluh raka’at, karena itu telah diriwayat dari ‘Umar bin Khatab r.a. dan penduduk Makkah juga melaksanakan seperti itu dan melakukan witir tiga raka’at.”6
Pernyataan di atas juga telah dikutip oleh al-Ruyani dalam Bahr al-Mazhab 7 dan Abu Husain al-‘Imrany al-Syafi’i al-Yamany dalam kitab al-Bayan fii Mazhab al-Imam al-Syafi’i.8
2.Diantara ulama yang telah menisbahkan pendapat dua puluh rakaa’at shalat Tarawih tanpa menyebut qaul lain bagi Syafi’i adalah antara lain Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid,9 Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkar 10 dan lain-lain.
3.Imam an-Nawawi, salah seorang ulama Syafi’iyah yang sangat telit dan akurat dalam memilah-milah mana yang menjadi qaul Syafi’i dan mana yang bukan, dalam kitab karangan beliau, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan :
“Mazhab kita, raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at dengan sepuluh kali salam selain witir”.11
4. Keterangan yang disampaikan oleh an-Nawawi di atas dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab karya ulama Syafi’iyah lainnya seperti Jalaluddin al-Mahalli, Ibnu Hajar al-Haitamy, ar-Ramli, Zakariya al-Anshary dan lain-lain.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih di atas lebih disebabkan karena tidak terdapat hadits yang marfu’ (hadits yang langsung dari Rasulullah SAW), baik yang bersifat qauli, fi’li maupun taqriri dari Rasulullah SAW. Yang ada, hanya keterangan mengenai shalat Tarawih bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dari rumah melakukan shalat dalam masjid dalam beberapa malam, kemudian beliau tidak keluar lagi ke masjid karena kuatir difardhukan shalat tersebut atas ummatnya dengan tanpa disebut jumlah raka’atnya, sebagaimana hadits ‘Aisyah di bawah ini :
أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat dalam mesjid dengan diikuti oleh manusia. Kemudian beliau keluar untuk shalat pada malam berikutnya, maka makin banyak manusia shalat bersamanya. Pada malam ketiga atau keempat manusia keluar berkumpul, Rasulullah SAW tidak keluar-keluar kepada mereka. Manakala Subuh bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku telah melihat apa yang kalian kerjakan dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali kekuatiranku difardhukan shalat itu atasmu. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan. (H.R. Bukhari,12 Muslim13 dan Malik)14
Penjelasan ini sesuai dengan keterangan para ulama sebagaimana tersebut di bawah ini :
1.Ibnu Hajar al-Asqalany dalam mensyarah hadits di atas, mengatakan :
“Saya belum pernah melihat dari jalur-jalur hadits yang mengatakan jumlah bilangan raka’at shalat Nabi SAW pada malam itu”.15
2.Berkata Ibnu Hajar al-Haitamy :
“Perintah mendirikan Ramadhan dan menggemarkannya datang tanpa menyebut bilangan raka’atnya. Shalat Nabi SAW tanpa menyebut bilangan raka’atnya pada beberapa malam. Pada malam keempat Nabi SAW terlambat datang karena kuatir difardhukan atas mereka, kemudian mereka tidak mampu melakukannya”. 16
Namun demikian, Baihaqi ada meriwayat hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata :
كان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي في شهر رمضان في غير جماعة بعشرين ركعة
Artinya : Nabi SAW pernah melakukan shalat pada bulan Ramadhan dengan tanpa jama’ah dua puluh raka’at (H.R. Baihaqi).17
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat Tarawih dengan jumlah dua puluh raka’at. Namun hadits ini, nilainya adalah dha’if sebagaimana penjelasan Baihaqi sendiri setelah menyebut hadits ini dalam as-Sunannya. Namun demikian, kedha’ifan hadits ini tidak bermakna, karena telah terjadi ijmak para sahabat atas shalat Tarawih dengan jumlah dua puluh raka’at pada masa Umar bin Khatab. Keterangan ijmak ini telah disebut oleh Syarwani dalam Hasyiah Tuhfah al-Muhtaj 18 dan ar-Ruyani dalam Bahr al-Mazhab,19 juga telah dikemukan dalam Fatawa al-Azhar.20 Ibnu Abd al-Bar mengatakan :
“Pendapat ini shahih dari Abi bin Ka’ab dengan tidak ada khilaf dari Sahabat Nabi SAW.” 21
Keterangan ijmak ini berdasarkan hadits riwayat Baihaqi dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضي الله عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة
Artinya : Mereka (para sahabat) melaku shalat malam pada masa Umar bin Khatab r.a. pada bulan Ramadhan dengan dua pulu raka’at (H.R.Baihaqi22 dan lainnya)
Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan bahwa hadits di atas, diriwayat oleh Baihaqi dan lainnya dengan isnad shahih, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muhazzab.23 Keterangan hadits riwayat Baihaqi di atas adalah shahih, juga disampaikan oleh al-Bakri al-Dimyathi.24 Baihaqi meriwayat hadits di atas dari Abu Abdullah al-Husain bin Muhammad bin Husain bin Panjawih al-Dainury Bildamighan dari Ahmad bin Muhammad bin Ishaq al-Sunny dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz al-Baghwy dari Ali bin al-Ja’d dari Ibnu Abi Za’b dari Yazid bin Khusaifah dari al-Sa-ib bin Yazid. Hadits yang senada dengan ini juga diriwayat oleh Malik dalam kitab al-Muwatha’ dan oleh Baihaqi, tetapi dengan jumlah dua puluh tiga raka’at, yaitu :
كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : Manusia pada zaman Umar bin Khatab mendirikan malam pada bulan Ramadhan dengan jumlah dua puluh tiga raka’at (H.R. Malik25 dan Baihaqi)
Malik dan Baihaqi meriwayatkannya dari Yazid bin Ruman. Sedangkan Yazid bin Ruman ini tidak pernah bertemu dengan Umar bin Khatab. Jadi, termasuk hadits mursal.26 Dengan demikian, sanad hadits ini dha’if. Namun demikian, kedhaifannya tidak menyebab matannya dha’if pula, karena hadits ini bersesuaian dengan hadits shahih riwayat Baihaqi yang mengatakan raka’at Tarawih dua puluh raka’at. Baihaqi mentaufiqkan (mengkompromikan) kedua hadits di atas dengan mengatakan bahwa tiga raka’at, yang lebih dari dua puluh sebagaimana riwayat Malik adalah shalat witir. Dengan demikian kedua riwayat tersebut sepakat menyatakan bahwa shalat Tarawih adalah dua puluh raka’at. 27
Ibnu Abd al-Bar telah menyebut beberapa hadits lain yang menyatakan jumlah raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at, antara lain : 28
1.Hadits riwayat Abd al-Razaq dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
أن عمر بن الخطاب جمع الناس في رمضان على أبي بن كعب وتميم الداري على إحدى عشرين ركعة
Artinya : Umar bin Khatab telah mengumpulkan manusia pada bulan Ramadhan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary dengan dua puluh satu raka’at
2.Hadits riwayat Waki’ dari Malik dari Yahya bin Sa’id, beliau berkata :
أن عمر بن الخطاب نهر رجلا يصلي بهم عشرين ركعة
Artinya : Sesungguhnya Umar bin Khatab pernah menghardik sesorang laki-laki supaya shalat dengan lainnya dua puluh raka’at
3.Hadits riwayat al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Zubab dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
وكان القيام على عهد عمر بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : mendirikan malam pada masa Umar adalah dengan dua puluh tiga raka’at
4. Hadits riwayat Malik dari Yazid bin Ruman, beliau berkata :
كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : Manusia pada zaman Umar bin Khatab mendirikan malam pada bulan Ramadhan dengan jumlah dua puluh tiga raka’at
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin Khatab memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary untuk shalat sebelas raka’at hanya diriwayat oleh Malik seorang diri, tidak oleh lainnya. Riwayat tersebut adalah riwayat Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما الداري أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة قال وقد كان القارئ يقرأ بالمئين حتى كنا نعتمد على العصي من طول القيام وما كنا ننصرف إلا في فروع الفجر
Artinya : Umar bin Khatab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary agar shalat dengan manusia dengan sebelas raka’at. Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan kami tidak selesai kecuali pada saat terbitnya fajar (H.R. Malik)29
Baihaqi juga telah meriwayat hadits ini yang sanadnya juga berujung kepada Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid.30 Ibnu Abd al-Bar mengatakan :
“Aku tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan pada hadits ini sebelas raka’at kecuali Malik” 31
Pernyataan Ibnu Abd al-Bar ini juga telah dikutip al-Ruyani, beliau berkata :
“Ibnu Abd al-Bar telah menjadikan riwayat sebelas raka’at sebagai waham belaka. Beliau berkata : “Aku tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan sebelas raka’at selain Malik”.32
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa Malik menyendiri dalam periwatan tersebut dan pula bertentangan dengan riwayat kebanyakan yang menyatakan Umar memerintah shalat Tarawih dua puluh raka’at sebagaimana terlihat di atas. Sehingga tidak heran dikalangan pengikut Mazhab Malik sendiri riwayat ini tidak menjadi pegangan mazhab. Ini dapat diperhatikan dalam pernyataan Syaikh al-Dusuqi, salah seorang tokoh terkenal dalam Mazhab Malik di bawah ini :
“Shalat Tarawih adalah dua puluh tiga raka’at dengan al-syaf’i dan al-witr (maksudnya shalat witir, dengan jumlah raka’atnya genap dan ditambah satu raka’at lagi, sehingga jumlahnya adalah ganjil) sebagaimana yang berlaku pengamalannya. Kemudian dijadikan pada zaman Umar bin Abdul Aziz tiga puluh enam raka’at tanpa al-syaf’i dan al-witir. Tetapi yang menjadi amalan salaf dan khalaf adalah yang pertama”. 33
Keterangan senada juga disampaikan oleh Ibnu al-Abidin dari kalangan Mazhab Hanafi sebagaimana di bawah ini :
“(Perkataan Mushannif dua puluh raka’at) merupakan pendapat jumhur ulama dan merupakan amalan manusia di timur dan barat”.34
Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali dalam kitab beliau, Syarah al-Kabir, setelah mengutip riwayat yang menyatakan pada zaman Umar dan Ali, shalat Tarawih adalah dua puluh raka’at, beliau mengatakan :
“Ini (jumlah raka’at Tarawih dua puluh) adalah seperti ijmak”35
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dapat menjadi pegangan kita hanyalah riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin Khatab pernah memerintah shalat Tarawih dua puluh raka’at. Kesimpulan ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Abd al-Bar setelah beliau mengutip riwayat-riwayat tersebut di atas, yaitu :
“Ini semua menguatkan bahwa riwayat sebelas raka’at adalah waham dan salah dan sesungguhnya yang sahih adalah dua puluh tiga dan dua puluh satu raka’at” 36
Riwayat-riwayat di bawah ini juga mendukung kesimpulan di atas, yaitu :
1. Riwayat dari Abu Abdurrahman al-Salmy :
دعا القراء في رمضان فأمر منهم رجلا يصلي بالناس عشرين ركعة
Artinya : Ali r.a. memanggil para qari pada bulan Ramadhan, memerintah salah seorang dari mereka shalat dengan manusia dengan dua puluh raka’at.(H.R. Baihaqi) 37
2.Shalat Tarawih dengan dua puluh raka’at telah dilakukan oleh kebanyakan sahabat dan tidak ada sahabat lain yang menyalahinya. Menurut Ibnu Abd al-Bar shalat Tarawih dengan dua puluh raka’at telah dilakukan oleh Ali, Syutair bin Syakal, Ibnu Abi Mulaikah, al-Harits al-Hamdany dan Abi Baghtary dan merupakan pendapat jumhur ulama, ulama Kufah, Syafi’i dan kebanyakan fuqaha. Pendapat ini shahih dari Abi bin Ka’ab tanpa khilaf dari sahabat Nabi SAW. 38
3.‘Itha’, salah seorang Tabi’in berkata :
“Aku mendapati manusia, mereka shalat dengan dua puluh tiga raka’at dengan witir” 39
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh golongan yang berpendapat raka’at shalat Tarawih adalah sebelas raka’at, antara lain :
1.Hadits Aisyah :
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
Artinya : Nabi tidak pernah lebih dari 11 raka’at baik di Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi 4 raka’at, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 raka’at.(H.R. Bukhari 40 dan Muslim 41)
Perkataan “wala fii ghairihi” menunjukkan bahwa shalat yang dimaksud pada hadits ini bukanlah shalat Tarawih, karena shalat Tarawih tidak terdapat diluar Ramadhan. Jadi, menjadikan hadits ini sebagai dalil bilangan raka’at shalat Tarawih sungguh merupakan suatu yang tidak tepat sama sekali. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Haitamy tidak menempatkan hadits di atas sebagai dalil raka’at shalat Tarawih, tetapi beliau menjadikan sebagai dalil jumlah raka’at shalat Tahajjud.42 Apalagi menetapkan jumlah raka’at Tarawih sebelas raka’at berdasarkan hadits di atas bertentangan dengan ijmak sahabat yang terjadi pada masa Umar bin Khatab. Imam al-Ramli juga tidak menempatkan hadits di atas sebagai penentuan raka’at Tarawih, tetapi beliau menempatkannya sebagai dalil raka’at Witir, tidak sebagai sebagai dalil shalat Tahajjud sebagaimana Ibnu Hajar al-Haitamy di atas. 43
2.Hadits riwayat Jabir, beliau berkata :
صلى بنا رسول الله صلعم في رمضان ثماني ركعات ثم أوتر
Artinya : Kami shalat dengan Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan delapan raka’at kemudian rasulullah SAW melakukan witir (H.R.Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban) 44
Hadits ini menjelaskan bahwa Jabir dan sahabat lainnya bertemu dengan Rasulullah SAW dan hanya sempat melakukan shalat Tarawih secara berjama’ah dengan Rasulullah SAW sebanyak delapan raka’at. Menurut keterangan Syarwani, kemungkinan besar Rasulullah SAW dan para sahabat menyempurnakan sisanya dirumah masing-masing, atau mungkin juga sebelumnya sudah duluan melaksanakan beberapa raka’at.45 Syaikhuna (Ibnu Hajar al-Haitamy) mengatakan :
“Yang masyhur sesungguhnya Rasulullah SAW keluar kepada menemui sahabat sebanyak tiga malam, yaitu malam kedua puluh tiga, kedua puluh lima dan kedua puluh tujuh dan Rasulullah SAW tidak keluar pada malam kedua puluh sembilan. Beliau tidak keluar secara berturut-turut supaya tidak memberatkan mereka. Pada saat itu, Rasulullah shalat dengan mereka delapan raka’at, tetapi kemudian beliau menyempurnakannya menjadi dua puluh raka’at di rumahnya, demikian juga para sahabat, menyempunakannya dirumah mereka dengan dalil terdengar suara mereka seperti suara lebah. Alasan Rasulullah SAW tidak meyempurnakan raka’at Tarawih dua puluh raka’at di dalam masjid adalah karena menaruh kasihan kepada mereka.46
Keterangan senada juga disampaikan oleh Bujairumy dalam Hasyiah Bujairumy ‘ala al-Khatib, yaitu :
“Jika kamu mengatakan : “Bagaimana dapat terjadi ijmak jumlah raka’at Tarawih dua puluh raka’at, padahal yang warid dari perbuatan Nabi SAW adalah delapan raka’at ?” Aku jawab : “Para sahabat menyempurnakannya lagi menjadi dua puluh raka’at di rumah meraka dengan dalil ketika kembali kerumah mereka masing-masing, terdengar suara mereka seperti suara lebah. Rasulullah hanya melakukan shalat delapan raka’at dengan mereka dan tidak melakukan dua puluh raka’at karena untuk meringankan mereka”. 47
Dr Wahbah Zuhaili, seorang ulama Timur Tengah yang berpengaruh di dunia Islam pada zaman moderen sekarang ini berkata :
“Rasulullah SAW shalat dengan para sahabat dengan jumlah delapan raka’at, kemudian mereka menyempurnakan sisanya pada rumah mereka. Karena itu, terdengar suara mereka seperti suara lebah.48
Penjelasan sebagaimana tersebut di atas adalah berdasarkan hadits riwayat Syaikhaini sebagaimana disebutkan oleh Syarqawi dalam kitab beliau, Hasyiah Syarqawi ‘ala Syarah al-Tahrir : yaitu :
انه صلعم خرج من جوف الليل من رمضان وهي ثلاث متفرقة ليلة الثالث والخامس والسابع والعشرين وصلي في المسجد وصلي الناس بصلاته فيها وكان يصلي بهم ثمان ركعات ويكملون باقيها في بيوتهم فكان يسمع لهم أزير كأزير النحل
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah keluar dalam beberapa malam di Bulan Ramadhan, yaitu tiga malam yang terpisah-pisah, malam dua puluh tiga, dua puluh lima dan dua puluh tujuh. Pada beberapa malam tersebut Nabi SAW di mesjid dan manusia shalat berjama’ah dengan beliau dengan jumlah delapan raka’at. Mereka menyempurnakan shalat di rumahnya masing-masing, maka terdengarlah suara seperti suara lebah.(H.R. Syaikhaini) 49
Hadits riwayat Syaikhaini ini juga telah dikutip oleh Abdurrahman al-Jaziry dalam al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah 50 Yang dimaksud dengan Syaikhaini sebagaimana yang maklumi.dalam ilmu hadits adalah Bukhari dan Muslim.
Pemahaman sebagaimana disampaikan oleh para ulama di atas, harus menjadi rujukan kita, mengingat jumlah raka’at shalat Tarawih sudah fositif dua puluh raka’at berdasarkan perbuatan para sahabat pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Seandainya dikatakan bahwa jumlah raka’at shalat Tarawih berdasar perbuatan Rasulullah adalah delapan raka’at, ini sama halnya kita menuduh Umar bin Khatab dan sahabat lainnya pada ketika itu telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari sunnah Rasulullah. Tentunya disepakati bahwa tuduhan ini tidak dibenarkan dalam I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah.
Lagi pula penetapan raka’at shalat Tarawih delapan raka’at adalah bertentangan dengan penamaan shalat tersebut dengan nama Tarawih. Dinamakan shalat tersebut dengan Tarawih, karena para sahabat Nabi SAW melakukan istirahat dengan melakukan ibadah lainnya dalam setiap selesai melaksanakan shalat Tarawih empat raka’at. Tarawih adalah kata jama’ tarwihah yang berarti istirahat. Dengan demikian, Tarawih berarti banyak istirahat. Kalau kita menetapkan jumlah raka’at Tarawih hanya delapan raka’at, maka istrihatnya hanya satu kali. Maka sungguh tidak tepat penamaan shalat tersebut dengan Tarawih, padahal nama tersebut sudah populer mulai dari masa sahabat Nabi SAW. 51
3.Hadits dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما الداري أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة قال وقد كان القارئ يقرأ بالمئين حتى كنا نعتمد على العصي من طول القيام وما كنا ننصرف إلا في فروع الفجر
Artinya : Umar bin Khatab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary agar shalat dengan manusia dengan sebelas raka’at. Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar (H.R. Malik)52
Baihaqi juga telah meriwayat hadits ini yang sanadnya sampai kepada Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid.53 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hadits ini hanya diriwayat oleh Malik dan bertentangan dengan riwayat kebanyakan. Oleh karena itu, riwayat ini tidak dapat diamalkan. Penjelasannya secara lebih rinci sudah dibahas sebelum ini. Jawaban lain mengenai keberadaan hadits ini dikemukakan oleh Baihaqi. Beliau mentaufiqkan (mengkompromikan) hadits ini dengan hadits riwayat lain yang mengatakan pada masa Umar bin Khatab, raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at dan riwayat lain lagi, yaitu dua puluh tiga raka’at. Beliau berkata :
“Riwayat-riwayat itu dapat dikompromikan, yaitu pada awalnya, mereka melakukan shalat dengan jumlah sebelas raka’at, kemudian melakukan shalat Tarawih dua puluh raka’at dan kemudian lagi melakukan witir tiga raka’at.”54
Maksudnya, pada awalnya Umar memerintah shalat Tarawih sebelas raka’at karena begitulah hasil ijtihad beliau. Kemudian ijtihad beliau tersebut berobah dan berpendapat bahwa jumlah raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at. Jumlah dua puluh raka’at ini kemudian menjadi ijmak. Kompromi sebagaimana disampaikan oleh Baihaqi ini juga pernah disebut oleh Ibnu Abd al-Bar dalam kitab beliau, al-Istizkar, namun beliau cenderung mentarjihkan hadits yang menyatakan Umar memerintah shalat Tarawih dua puluh raka’at.55 Kompromi tersebut didasarkan kepada qaidah :
إعمال الكلام أولى من إهماله
Artinya : mengamalkan suatu kalam lebih diutamakan dibandingkan meninggalkannya.56
Alhasil, berdasarkan keterangan para ahli di atas, hadits perintah Umar melakukan shalat sebelas raka;at tidak dapat dijadi sebagai dalil bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah sebelas raka’at.
4.Hadits Aisyah, beliau berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يصلي من الليل إحدى عشرة ركعة يوتر منها بواحدة فإذا فرغ اضطجع على شقه الأيمن
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat malam sebelas raka’at, mewitirkannya dengan satu raka’at. Maka apabila telah selesai, beliau berbaring atas lumbung kanannya.(H.R. Muslim 57 dan Malik 58 )
Imam Malik meriwayat hadits di atas dalam bab shalat witir Nabi SAW. Sedangkan Muslim menyebutnya dalam bab shalat malam. Yang dimaksud dengan shalat malam, boleh jadi shalat tarawih, boleh jadi shalat malam lainnya. Namun karena shalat Tarawih sudah positif dua puluh raka’at berdasarkan dalil-dalil di atas, maka hadits ini harus dipertempatkan sebagai penjelasan raka’at shalat malam yang bukan shalat tarawih. Dengan demikian, hadits ini tidak dapat menjadi hujjah tentang bilangan raka’at shalat Tarawih.
5. Hadits
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بالليل ثلاث عشرة ركعة ثم يصلي إذا سمع النداء بالصبح ركعتين خفيفتين
Artinya : Rasulullah SAW melakukan shalat tiga belas raka’at, kemudian pada ketika mendengar azan subuh, shalat dua raka’at yang ringan(H. R. Malik) 59
Hadits ini juga membicarakan tentang jumlah raka’at shalat Witir, bukan shalat Tarawih. Oleh karena itu, Imam Malik menempatkan hadits ini dalam bab shalat Witir. Imam Bukhari juga meriwayat hadits yang senada dengan dua hadits di atas, dalam bab shalat Witir,60 Jadi bukan membicarakan jumlah raka’at shalat Tarawih. Lagi pula kalau dimaknai hadits ini sebagai dalil raka’at shalat Tarawih, tentu bertentangan dengan dalil dan ijmak yang dijelaskan sebelum ini.
Sekelompok umat Islam, sebagaimana telah disebut pada awal tulisan ini, ada yang berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih. Kelompok ini berargumentasi antara lain karena banyaknya riwayat yang menyatakan jumlah raka’at Tarawih yang berbeda-beda. Hal ini, menurut mereka hanyalah karena tidak ada ketentuan tertentu mengenai jumlah raka’atnya, sehingga shalat tarawih ini sama halnya dengan shalat sunnat mutlaq, dimana jumlah raka’atnya tidak dibatasi dengan jumlah tertentu.
Argumentasi dibantah, bahwa shalat Tarawih tidak dapat disamakan dengan shalat sunnat mutlaq, karena shalat Tarawih adalah sunnat muakkad yang lebih dekat kesamaannya dengan shalat fardhu, buktinya shalat Tarawih dituntut berjama’ah sebagaimana halnya shalat fardhu. Sifat ini tentu tidak dimiliki oleh shalat sunnat mutlaq. Lagi pula, pemahaman ini juga bertentangan dengan kesepakatan yang terjadi pada zaman Khalifah Umar r.a. sebagaimana telah dibahas di atas.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 152
2.Al-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi, Beirut, Juz. II, Hal. 380
3.As-Suyuthi, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih, Dar al-‘Ammar, Hal. 32
4.As-Suyuthi, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih, Dar al-‘Ammar, Hal. 35-36
5.As-Suyuthi, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih, Dar al-‘Ammar, Hal. 42-43 dan 46-48
6.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 290
7.Al-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi, Beirut, Juz. II, Hal. 379
8.Abu Husain al-‘Imrany al-Syafi’i al-Yamany , al-Bayan fii Mazhab al-Imam al-Syafi’i, Darul Minhaj, Juz. II, Hal. 278
9.Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 152
10.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
11.An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 527
12.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 50, No. hadits 1129
13.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 524, No. Hadits : 761
14.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 113, No. Hadits : 248
15.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 12
16.Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 194
17.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4391
18.Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, di cetak dalam Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 240
19.Ar-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 380
20.Fatawa al-Azhar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 48
21.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
22.Baihaqi, Sunan Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No Hadits : 4393
23.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 217
24.Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 265
25.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 115, No. Hadits : 252
26.Ibnu Mulaqqan al-Syafi;i, Badr al-Munir, Darul Hijrah, Riyadh, Juz. IV, hal. 351
27.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 217
28.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 154-156
29.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi Al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 115, No. Hadits : 251
30.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4392
31.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut , Juz. V, Hal. 154
32.Ibnu Mulaqqan al-Syafi;i, Badr al-Munir, Darul Hijrah, Riyadh, Juz. IV, hal. 351
33.Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 176-177
34.Ibnu al-Abidin, Hasyiah Radd al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 48
35.Ibnu Qudamah, Syarah al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 745
36.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 156
37.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4396
38.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
39.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 157
40.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 53, No. Hadits : 1147
41.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 509, No. Hadits : 738
42.Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, di cetak pada hamisy Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 225
43.Imam al-Ramli, Ghayah al-Bayan Syarah Zubab, Maktabah Syamilah, Hal. 79
44.Al-Mahalli, Syarah Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 217
45.Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, di cetak dalam Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 240
46.Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, di cetak dalam Hasyiah Syarwani wa Ibnu Qasim, Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 240
47.Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 65
48.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 43
49.Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi ‘ala Syarah al-Tahrir, Juz.I, Hal. 332
50.Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Maktabah Hakikat, Turki, Juz. II, Hal. 18
51.Abdurrahman al-Jaziry, Fiqh al-Mazhab al-Arba’ah, Maktabah Hakikat, Istambul, Turki, Juz. II, Hal. 20
52.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi Al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 115, No. Hadits : 251
53.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496, No. Hadits : 4392
54.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. II, Hal. 496
55.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut, Juz. V, Hal. 154
56.As-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, al-Haramain. Singapura, Hal. 89
57.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 508, No. Hadits : 736
58.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 120, No. Hadits : 262
59.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 121, No. Hadits : 264
60.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 24-25, No. Hadits : 992 dan
TEPUNG TAWAR/PEUSIJEUK Menurut Hukum Islam (Kajian dari sudut teori tafa-ul, tabarruk, tasyabbuh dan bid’ah)
Tepung tawar/peusijeuk merupakan sebuah tradisi yang biasa dilakukan di kalangan suku Melayu dan Aceh khususnya. Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari dulu tidak ada yang menentangnya, namun kemudian dengan munculnya aliran pembaruan Islam, muncullah fatwa-fatwa yang menganggap acara tepung tawar/pesijeuk ini sebagai amalan bid’ah yang diharamkan. Kemudian dalam perkembangannya, masalah tepung tawar/pesijeuk menjadi suatu masalah yang kontraversial di tengah-tengah umat Islam. Karena itu, pembahasan secara mendalam dan konverehensif mengenai masalah ini merupakan suatu hal yang sangat diperlukan saat ini untuk menjawab kebingungan ummat mengenai status hukumnya.
Upacara tepung tawar/peusijeuk sebagaimana dikenal masyarakat Melayu seperti Malaysia, Indonesia dan Aceh khususnya menyertai berbagai peristiwa penting dalam masyarakat, seperti kelahiran, perkawinan, pindah rumah, pembukaan lahan baru, jemput semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya dan sebagainya. Dalam perkawinan, misalnya, tepung tawar/peusijeuk adalah simbol pemberian doa dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin. Dalam upacara ini, penepung tawar/peusijeuk menggunakan seikat dedaunan tertentu untuk memercikkan air terhadap orang yang ditepungtawari. Air tersebut terlebih dahulu diberikan wewangian seperti jeruk purut dan sebagainya, selanjutnya menaburkan beras dan padi ke atas orang yang ditepungtawari. Akhirnya menyuapkan santapan pulut (atau lainnya) ke mulutnya. Terdapat beberapa variasi upacara ini untuk daerah yang berbeda, tetapi tujuannya tetap sama, yaitu mengharapkan suatu kebaikan. Acara tepung tawar/peusijeuk biasanya diisi dengan pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan berdoa kepada Allah SWT.
Dalam adat Aceh, tepung tawar ini biasa disebut dengan peusijeuk, yang merupakan suatu acara adat yang dilakukan pada waktu dan untuk tujuan tertentu, seperti memuliakan tamu, meresmikan sebuah tempat yang baru selesai dikerjakan, mendamaikan sebuah sengketa dan lain-lain.
Menurut Tgk H. Ibrahim Bardan (Abu Panton), prosesi peusijuk biasanya dilengkapi dengan dalong, bu leukat, tumpoe / u mirah, breuh pade, on seunijeuk, on manek manoe, naleung sambo, teupong tabeu, glok/ceurana dan sange. Dalong adalah sejenis talam yang terbuat dari kuningan dan bertujuan untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Bu leukat adalah nasi ketan yang merupakan simbol perekat pihak-pihak yang bersengketa. Tumpoe / u mirah bertujuan untuk menciptakan keharmonisan pihak-pihak yang bertikai. Breuh pade adalah campuran beras dan padi yang bermakna agar menjauh sikap sombong. On sineujeuk, on manek manoe dan naleung sambo adalah tiga jenis tumbuhan yang diikat menjadi satu sebagai isyarat untuk meperkokohkan persatuan dan tidak terulang perpecahan. Teupong tabeu yaitu tepung yang rasanya tawar, bertujuan mendinginkan sekaligus membersihkan hati. Glok adalah wadah air yang bermakna agar pihak-pihak yang bertikai selalu damai sehingga memperoleh berkah dan lebih leluasa dalam mencari nafkah. Sedangkan sange adalah tudung saji yang mengisyaratkan harapan perlindungan dari Allah SWT. 1
Menurut hemat penulis, ada empat aspek tinjauan untuk menjawab mengenai hukum tepung tawar/peusijeuk, yaitu :
1. tafa-ul,
2. tabarruk
3. tasyabbuh
4. bid’ah
I.Tepung tawar/peusijeuk ditinjau dari sudut teori tafa-ul
A. Pengertian Tafa-ul
Akar kata tafa-ul adalah fa’l. Menurut Kamus Mahmud Yunus, makna fa’l adalah tanda akan baik. Sedangkan tafa-ul adalah menenungi tanda akan baik, optimis. 2 Dalam Qamus Idris Marbawy Fa’l berarti sempena. Sedangkan tafa-ul diartikan mengambil sempena atau lawan tasya-um (menganggap sial) 3. Sempena (bahasa melayu) artinya tanda baik. Penggunaan istilah sempena untuk tafa-ul sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat Aceh sehari-hari. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah, fa’l : Seseorang yang sakit mendengar orang lain berkata : “Hai salim (yang selamat) atau seseorang yang membutuhkan sesuatu, mendengar orang lain berkata : “ Hai wajid (mendapatkan sesuatu). 4 Lalu orang sakit atau yang membutuhkan sesuatu itu terbersit dalam hatinya mengharapkan kesembuhan atau mendapatkan harapannya, sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim.5
B. Pengertian dan macam-macam tafa-ul dalam Islam
Berdasarkan penulusuran dalam berbagai kitab fiqh, ditemukan beberapa contoh tafa-ul dalam Islam, antara lain :
1.memalingkan rida’ dalam khutbah shalat minta hujan sebagai tafa-ul berobah keadaan. Berikut keterangan para ulama mengenai ini, antara lain :
a.Berkata Ibrahim Bajury :
“Perkataan pengarang : “memalingkan dst” (khatib memalingkan rida’nya pada khutbah shalat istisqa’) artinya adalah hukumnya sunat untuk tafa-ul (berharap baik) berobah keadaaan dari kesusahan kepada kemudahan, karena Rasulullah SAW mencintai tafa-ul yang baik.” 6
b.Al-Bakri al-Damyathi mengatakan :
“Khatib memalingkan rida’nya pada saat ini (pada saat khutbah shalat minta hujan) untuk tafa-ul berobah keadaan, demikian yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.”7
c.Berkata an-Nawawi :
“Hikmah memaling rida’ pada khutbah shalat minta hujan adalah tafa-ul berobah keadaan kepada keadaan subur dan kelapangan.” 8
Keterangan para ulama ini sesuai dengan hadits Nabi SAW di bawah ini :
1). Sabda Nabi SAW :
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يوما خرج يستسقي ، قال : فحول إلى الناس ظهره ، واستقبل القبلة يدعو ، ثم حول رداءه
Artinya : Dari ‘Abad ibn Tamim dari pamannya, beliau berkata : “Aku melihat Nabi SAW suatu hari keluar untuk shalat istisqa’”. Kemudian paman Ibn Tamim berkata lagi : “Nabi SAW membelakangkan manusia dan menghadap qiblat sambil berdo’a. Kemudian memalingkan rida’nya.”(H.R. Bukhari) 9
2). Sabda Nabi SAW :
استسقى رسول الله صلى الله عليه وسلم وحول رداءه ليتحول القحط
Artinya : Rasulullah SAW Shalat istisqa’, pada saat itu memalingkan rida’nya supaya dapat berobah musim kemarau (H.R. Darulquthny 10 )
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalany hadits ini diriwayat oleh Darulquthni dan al-Hakim dari jalan Ja’far bin Muhammad bin Ali dari bapaknya dari Jabir dengan perawi-perawinya terpercaya. Namun Darulquthny telah mentarjihkan keadaan hadits ini adalah mursal.11
2.menengadahkan tangan dengan belakang tangan menghadap ke atas dalam berdo’a setelah shalat minta hujan sebagai tafa-ul berobah dari keadaan yang nyata kepada yang tersembunyi atau isyarat turun hujan ke bumi sebagaimana keterangan Ibnu Hajar al-Asqalany di bawah ini :
“Adapun sifat dua tangan dalam berdo’a pada shalat istisqa’, manakala Imam Muslim telah meriwayat dari Tsabit dari Anas : “bahwa Rasulullah SAW setelah shalat istisqa’ maka mengisyarat dengan belakang dua telapak tangannya kelangit.” dan Abu Daud dari hadits Anas pula : “bahwa Rasulullah shalat istisqa’ seperti ini dan menengadahkan tangannya serta menjadikan bathin tangan keduanya menghadap bumi sehingga aku melihat putih ketiaknya” , maka berkata an-Nawawi : “Para ulama mengatakan : “Sunnat pada setiap do’a untuk menghilangkan bala mengangkatkan dua tangan dengan menjadikan belakang dua tangan mengahadap kelangit dan apabila berdo’a meminta dan menghasilkan sesuatu menjadikan bathin dua tangannya kelangit. Berkata lainnya : “Hikmah mengisyarah belakang dua tangan pada shalat istisqa’ tidak pada selainnya adalah untuk tafa-ul memalingkan keadaan yang nyata kepada yang tersembunyi sebagaimana dikatakan pada memalingkan rida’ atau itu adalah isyarah kepada sifat yang di minta, yaitu turun mendung (hujan) ke bumi.”12
Berdo’a dengan kaifiyat seperti ini sesuai dengan hadits dari Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW setelah shalat istisqa’ maka mengisyarat dengan belakang dua telapak tangannya kelangit.(H.R. Muslim) 13
3.tidak memecah tulang daging aqiqah sebagai tafaul terhindar sang anak dari segala penyakit sebagaimana perkataan al-Nawawi berikut :
“Tidak dipecah tulang binatang aqiqah sebagai tafa-ul untuk keselamatan anak dari segala penyakit.” 14
Al-Bakri al-Damyathi mengatakan :
“Disunnatkan tidak memecahkan tulang binatang aqiqah selama memungkinkan, baik oleh yang melakukan aqiqah maupun pemakannya sebagai tafa-ul untuk keselamatan anggota tubuh anak.” 15
Perintah tidak memecah tulang daging aqiqah ini berdasarkan perkataan Aisyah r.a. :
بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتنان و عن الجارية شاة تقطع جدولا و لا يكسر لها عظم
Artinya : Tetapi yang sunnah adalah sebaiknya untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Dipotong anggota badannya tetapi tidak pecahkan tulangnya. (H.R. al-Hakim, beliau mengatakan, hadits ini shahih isnadnya) 16
4.memasak daging aqiqah dengan sesuatu yang manis sebagai tafa-ul baik akhlak sang anak sebagaimana keterangan al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhazzab :
“Jumhur ulama mengatakan dimasak daqing aqiqah dengan suatu yang manis untuk tafa-ul manis akhlak anak, berdasarkan hadits dalam al-Shahih, Sesungguhnya Nabi SAW senantiasa mencinta yang manis dan madu” 17
Hadits dimaksud, dalam Bahasa Arab berbunyi :
sesuai dengan hadits :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يحب الحلوى والعسل
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW senantiasa mencinta yang manis dan madu. (H.R. Ahmad) 18
Dalam Shahih Bukhari berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُحِبُّ الْحَلْوَاءَ وَالْعَسَلَ.
Artinya : Dari Aisyah r.a berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW senantiasa mencinta yang manis dan madu (H.R. Bukhari) 19
5.menyiram kuburan dengan air suci menyucikan dan sejuk sebagai tafa’ul mudah-mudahan dapat menyejukkan orang dalam kuburan sebagaimana keterangan al-Bakri al-Damyathi di bawah ini :
“Dan (disunnatkan) menyiram kubur dengan air agar debu-debu tanah tidak ditiup angin dan karena Nabi SAW melakukan demikian pada kubur anaknya, Ibrahim sebagaimana diriwayatkan oleh Syafi`i. Dan juga pada kubur Sa`ad sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Nabi SAW telah memerintahkan dengannya pada kubur Utsman bin Madzh`uun sebagaimana diriwayatkan oleh at-Turmidzi. Dan yang mustahab adalah air tersebut suci lagi mensucikan dan sejuk, sebagai tafa`ul mudah-mudahan Allah menyejukkan kubur si mati.20
Perintah menyiram air ini berdasarkan perbuatan Nabi SAW yang melakukan hal itu pada kubur anak beliau Ibrahim sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi`i dan juga pada kubur Sa`ad sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Nabi SAW juga telah memerintahkan menyiram air pada kubur 'Utsman bin Madzh`uun sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bazar. 21
6. Meniup/menghembus kepada sisakit ketika dijampi dengan "mu’awwizat" (Surat al-Nash dan al-Falaq). Menurut Qadhi ’Iyadh, tindakan meniup/menghembus tersebut bisa jadi sebagai tafa-ul supaya penyakit hilang dari sisakit sebagaimana lepasnya angin dari mulut orang yang melakukan jampi-jampi.22 . Perintah meniup/menghembus tersebut berdasarkan sabda Nabi SAW :
عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا مرض أحد من أهله نفث عليه بالمعوذات فلما مرض مرضه الذي مات فيه جعلت أنفث عليه وأمسحه بيد نفسه لأنها كانت أعظم بركة من يدي
Artinya : Dari Aisyah ra., beliau berkata: “Apabila ada salah seorang anggota keluarga beliau yang sakit, beliau meniupkan kepadanya dengan membacakan "mu’awwizat". Ketika beliau menderita sakit yang menyebabkan beliau wafat, aku juga meniupkan kepada beliau dan mengusapkan dengan tangan beliau sendiri. Karena tangan beliau tentu lebih besar berkahnya daripada tanganku” (H.R. Muslim) 23
7. Rasulullah senang mengkanankan suatu perbuatan sebagai tafa-ul mudah-mudahan termasuk dalam kelompok kanan. Ini telah disebut oleh Ibnu Bathal dalam kitabnya, Syarah Shahih Bukhari. 24
8. Rasulullah SAW menyapu dengan tangan kanan beliau pada tempat sakit sebagian keluarga beliau dengan membaca Surat al-Nash dan al-Falaq. Menurut al-Thabari adalah merupakan tafa-ul untuk menghilangkan penyakit tersebut. 25 Keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan tindakan tersebut adalah hadits di bawah ini :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُعَوِّذُ بَعْضَ أَهْلِهِ يَمْسَحُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW mejampi sebagian keluarga beliau dengan Surat al-Nash dan al-Falaq seraya menyapu dengan tangan kanan beliau pada tempat sakit. (H.R. Bukhari) 26
9. Tafa-ul dengan nama yang baik sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW pada ketika Suhail (bermakna mudah ) datang menemui beliau dengan mengatakan :
“Sungguh semoga mudah urusanmu” 27
Peristiwa ini dapat disimak pada hadits berikut :
لَمَّا جَاءَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَقَدْ سَهُلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ
Artinya : Manakala Suhail bin ‘Amr datang menemui Nabi SAW, Nabi SAW bersabda “Sungguh semoga mudah urusanmu” (H.R. Bukhari) 28
Al-Khuthabi mengatakan, hadits di atas menjadi dalil tafa-ul dengan nama yang baik merupakan perbuatan yang dianjurkan. 29
10. Dan banyak lagi contohnya yang tidak mungkin disebut dalam tulisan singkat ini.
Berikut ini hadits-hadits Nabi SAW yang menjelaskan mengenai tafa-ul yang menjadi pembahasan kita dalam tulisan ini, antara lain :
1. Sabda Nabi SAW :
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Artinya : Tidak ada penularan (tanpa kehendak Allah) dan tidak ada sial dan yang membuatku terkagum adalah al-fa’lu. Para Sahabat bertanya : “Apa itu al-fa’lu?” Rasulullah bersabda : “al-fa’lu yaitu kalimat yang baik.” (H.R. Bukhari)30
2. Sabda Nabi SAW :
لا عدوى ولا طيرة . ويعجبني الفأل . قال قيل : وما الفأل ؟ قال : الكلمة الطيبة
Artinya : Tidak ada penularan (tanpa kehendak Allah) dan tidak ada sial dan yang membuatku terkagum adalah al-fa’lu. Ada yang bertanya : “Apa itu al-fa’lu?” Rasulullah bersabda : “al-fa’lu yaitu kalimat yang baik.” (H.R. Muslim)31
Menurut Imam an-Nawawi dalam mensyarah hadits di atas dan beberapa hadits riwayat muslim yang senada dengan hadits di atas, mengatakan bahwa termasuk dalam contoh tafa-ul adalah tafa-ul orang sakit dengan apa yang didengarnya seperti sisakit mendengar ada orang yang mengatakan : : “Hai salim” (yang selamat) atau orang lagi membutuhkan sesuatu, lalu mendengar ada orang yang berkata : “Hai wajid” (yang mendapati kebutuhannya). Maka terbersit dalam hatinya mengharap kesembuhan atau mendapatkan kebutuhannya.32
3. Sabda Rasulullah SAW :
لا عدوى ولا طيرة وأحب الفأل ، قالوا يا رسول الله : وما الفأل ؟ قال : الكلمة الطيبة هذا حديث حسن صحيح
Artinya : Tidak ada penularan (kecuali atas kehendak Allah) dan tidak ada sial dan aku menyukai fa’l. Mereka bertanya : Hai Rasulullah apa itu fa’l. Rasulullah menjawab : “kalimat yang baik”.hadits ini adalah hasan shahih.(H.R. Turmidzi) 33
Tiga buah hadits di atas menjelaskan tafa-ul dalam bentuk perkataan. Lalu bagaimana dengan tafa-ul dalam bentuk perbuatan ?. Tafa-ul dalam bentuk perbuatan dianjurkan dengan diqiyaskan kepada tafa-ul dalam bentuk perkataan. Kalau tafa-ul dalam bentuk perkataan saja dianjurkan dalam Islam, tentunya tafa-ul dalam bentuk perbuatan lebih patut dan lebih layak disyari’atkan. Karena perkataan yang baik pada tafa-ul dalam bentuk perkataan merupakan simbol harapan kebaikan, maka demikian juga perbuatan yang baik juga dapat menjadi simbol harapan kebaikan orang melakukan tafa-ul. Penjelasan seperti ini telah diisyaratkan oleh al-Muhallab, salah seorang Tabi’in, beliau berkata :
”Memaling rida’ (dalam khutbah shalat istisqa’) merupakan tafa-ul untuk memalingkan keadaan yang ada (kesukaran). Apakah tidak kamu memeperhatikan bahwa Nabi SAW mengagumi tafa-ul yang baik apabila mendengan suatu perkataan ? Maka bagaimana lagi kalau melihat sebuah perbuatan ?. Padanya dalil menggunakan tafa-ul dalam beberapa perkara (maksudnya : ada dalam bentuk perkataan dan ada juga dalam bentuk perbuatan).” 34
Pengqiyasan tersebut di atas didukung pula oleh mutlaqnya maksud hadits Nabi SAW yaitu :
و كان يعجبه الفأل الحسن
Artinya : Rasulullah SAW mengagumi tafa-ul yang baik.(H.R. al-Hakim) 35
Saiyidina Ali dan Ibnu Mas’ud telah menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa Rasullulah SAW malakukan tayaamun (mengkanan-kanankan dalam perbuatannya) pada wudhu’nya adalah atas jalan tafa-ul dengan ashab al-yamin (kelompok orang yang berada dipihak kanan) yaitu ahli syurga. .36 Tayamun ini tentunya merupakan suatu perbuatan, bukan perkataan.
Senada dengan hadits riwayat al-Hakim di atas adalah riwayat yang disebut dalam kitab Musnad Ahmad, yaitu :
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يحب الفال الحسن ويكره الطيرة
Artinya : Rasulullah SAW mencinta tafa-ul yang baik dan membenci anggapan sial (H.R. Ahmad) 37
Khathib Syarbaini dalam dua kitab beliau, Iqnaq dan Mughni al-Muhtaj telah menjadikan hadits ini sebagai dalil tafa-ul dalam bentuk perbuatan, yaitu memalingkan rida’ dalam khutbah shalat Istisqa’. 38 Berdasarkan penjelasan di atas ini pulalah para ulama sebagaimana tersebut sebelum ini, memfatwakan disyari’atkan tafa-ul dalam bentuk perbuatan sebagaimana disyari’atkannya dalam bentuk perkataan sebagaimana beberapa contoh yang telah disebut di atas.
Berdasarkan makna tafa-ul secara bahasa, dalil-dalil dan contoh-contoh tafa-ul di atas, menurut hemat penulis, maka tafa-ul pada syara’ kurang lebih adalah harapan akan datang kebaikan atau rahmat yang disebabkan oleh perkataan atau perbuatan tertentu. Namun demikian, ada juga ulama yang mengartikan bahwa tafa-ul itu terbagi kepada tafa-ul pada sesuatu yang menggembirakan dan tafa-ul pada sesuatu yang tidak menyenangkan. Kebiasaannya, maknanya adalah pada sesuatu yang tidak menyenangkan. 39Berdasarkan pengertian yang kedua ini, maka tafaul yang dianjurkan adalah tafa-ul pada sesuatu yang menggembirakan.
C. Perbedaan Tafa-ul dengan Tasya-um
Tasya-um sering diterjemahkan sebagai menganggap sial sesuatu. Prof. Mahmud Yunus dalam kamusnya, Kamus Arab-Indonesia memberi makna ; sial, malang, celaka. Tindakan tasya-um dilarang dalam agama, karena melakukan tasya-um berarti berburuk sangka kepada Allah SWT tanpa sebab yang pasti. Tasya-um berbeda dengan tafa-ul, karena tafa-ul merupakan tindakan berbaik sangka kepada Allah SWT. Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalany, salah seorang ahli hadits terkenal mengatakan :
” Tasya-um merupakan tindakan berburuk sangka kepada Allah SWT tanpa sebab yang pasti. Sedangkan tafa-ul adalah tindakan berbaik sangka kepada Allah SWT. Orang yang beriman diperintahkan untuk berbaik sangka kepada Allah pada setiap keadaan.” 40
Tasya-um ini oleh orang Arab menyebutnya juga sebagai al-thiyarah atau al-tathaiyur. Perkataan al-tathaiyur berasal dari kata al-thiyarah yang asal maknanya adalah burung. Tasya-um disebut dengan al-thiyarah adalah karena orang-orang Arab pada zaman Jahiliyah apabila mau berangkat ke suatu tempat karena suatu kebutuhan, apabila melihat burung terbang di samping kanannya, maka mereka merasa gembira karena kepergiannya itu dianggap ada keberuntungan. Sebaliknya, kalau burung tersebut terbang sebelah samping kirinya, maka dianggap sebagai sial (tasya-um) dan mereka menunda keberangkatannya. 41
Untuk lebih memahami pengertian tasya-um, maka berikut ini beberapa contoh tasya-um yang disebut oleh ulama kita, antara lain :
1.Tidak menziarahi orang sakit pada Hari Sabtu karena menganggap sebagai hari sial dan dapat menyebabkan kematian kepada sisakit 42
2.Tidak melakukan musafir pada bulan shafar karena menganggap bulan shafar merupakan bulan sial, menganggap sial Hari Rabu dan hari-hari lemah pada akhir musim dingin dan tidak melakukan pernikahan pada bulan Syawal karena bulan Syawal dianggap sebagai bulan sial. 43
3.Menganggap sial bilangan (angka). 44
4.Orang Arab pada zaman Jahiliyah apabila mau berangkat ke suatu tempat karena suatu kebutuhan, apabila melihat burung terbang di samping kanannya, maka mereka merasa gembira karena kepergiannya itu dianggap ada keberuntungan. Sebaliknya, kalau burung tersebut terbang sebelah samping kirinya, maka dianggap sebagai sial (tasya-um) dan mereka menunda keberangkatannya sebagaimana disebut di atas.
Berdasarkan pengertian tafa-ul dan tasya-um di atas, dapat dipahami sebagai berikut :
1.Tafa-ul adalah harapan datang sebuah kebaikan. Sedangkan tasya-um adalah anggapan sial sesuatu.
2.Tafa-ul berbaik sangka kepada Allah SWT. Sedangkan tasya-um adalah berburuk sangka kepada Allah SWT
3.Tafa-ul dianjurkan dalam Islam. Sedangkan tasya-um dilarang.
Hukum tepung tawar/peusijeuk ditinjau dari sudut teori tafa-ul
Apabila ditinjau dari sudut teori tafa-ul, berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.Tafa-ul merupakan sebuah amalan yang dibenarkan syari’at, bahkan dianjurkan mengamalnya sesuai dengan uraian-uraian di atas
2.Tujuan dilakukannya tepung tawar/peusijeuk adalah dengan melakukan simbol-simbol kebaikan, diharapkan munculnya kebaikan itu sendiri,
3.Amalan tepung tawar/peusijeuk merupakan perbuatan tafa-ul yang dianjurkan dalam Islam sebagaimana dapat disimak dalam keterangan di atas. Hal ini, tentunya selama di dalamnya hanya sebatas yang telah digambarkan di atas dan tidak mengandung unsur-unsur syirik dan hal-hal lain yang diharamkan oleh syari’at.
4.Disebut acara tepung tawar/peusijeuk sebagai tafa-ul, bukan tasya-um adalah karena maksud acara tepung tawar atau peusijeuk hanyalah dengan harapan sesuatu yang baik, bukan mengannggap sial sesuatu dan benda-benda yang terdapat dalam acara tepung tawar atau peusijuek hanyalah sebagai simbol kebaikan yang diharapkan dan ingin dicapai.
5.Berdasarkan kesimpulan ini, maka pendapat yang mengatakan tepung tawar/peusijeuk merupakan amalan yang tidak dikenal dalam Islam adalah suatu yang sangat keliru dan perlu tinjau ulang.
(Bersambung..... ke bag.2)
DAFTAR PUSTAKA
1.Tgk H. Ibrahim Bardan, Resolusi Komplik dalam Islam, Aceh Institute Press, Banda Aceh, 2008, Hal. 154-155
2.Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya, Jakarta, Hal. 306
3.Idris Marbawy, Qamus Idris Marbawy, Bangkul Indah, Surabaya, Juz.I I, Hal. 75
4.Ar-Razy, Mukhtar al-Shihah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 447
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal. 219
6.Ibrahim Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, singapura, Juz. I, Hal. 233
7.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 264
8.An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 317
9.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 31, No Hadits : 1025
10.Darulquthni, Sunan al-Darulquthni, Darul ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 66
11.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 499
12.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 517 dan 518
13.Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 62, No. Hadits 896
14.An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 256
15.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 336
16.Al-Hakim, al-Mustadrak, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 266, No. Hadits : 7595
17.An-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, Hal. 322
18.Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. XXXX, Hal. 366, No Hadits : 24316
19.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 100, No. Hadits : 5431
20.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 119
21.Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 328
22.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 197
23.Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 1723, No. Hadits : 2192
24.Ibnu Bathal, Syarah Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 262
25.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 207
26.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 172, No. Hadits : 5743
27.Al-Khuthabi, Ma’alim al-Sunan, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 330
28.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 255
29.Al-Khuthabi, Ma’alim al-Sunan, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 330
30.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 139, No. Hadits : 5776
31.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1746, No. Hadits : 2224
32.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal. 219
33.Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 85, No. Hadits : 1664
34.Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 10
35.Al-Hakim, al-Mustadrak, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 86, No. Hadits : 89
36.Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 262
37.Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 322, No. Hadits : 8374
38.Khathib Syarbaini, al-Iqnaq, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 305 dan Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 179
39.Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 377
40.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 215
41.Al-Sanady, Hasyiah al-Sanady ‘ala Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, I, Hal. 77
42.Ibnu Hajar al-Haitamy, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 31
43.Isma’il Haqqi bin Mustafa al-Istambuly al-Hanafy, Tafsir Ruh al-Bayan, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 325
44.Dr Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. XXVII, Hal. 162
Subscribe to:
Posts (Atom)