Wednesday, 5 October 2011

Orang Yang Terlibat Gerakan Anti Mazhab

Ada sekelompok orang yang berusaha melepaskan ummat Islam dari ikatan mazhab, usaha ini dirintis oleh tokoh-tokoh anti mazhab seperti Ibnu Taimiyah, ibnu Hazm, Ibnul Qayyim dan lain-lainnya. Kemudian lebih dipopulerkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri aliran Wahabi) di Nejed Saudi Arabia, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha di Mesir dan Jamaluddin Al-Afghani di Afganistan.
 
Muhammad Abduh pelopor gerakan anti mazhab pada penghujung abad XIX dan menjelang abad ke XX, berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama berabad-abad sehingga menjadi bangsa yang terjajah adalah karena mereka bermazhab, bertaqlid kepada Imam Mujtahid, sehingga alam pikiran mereka menjadi beku, tidak mampu menghadapi zaman. Karena itu umat Islam haram bermazhab. Dan wajib berijtihad karena ijtihad adalah urusan yang mudah. Tidak seberat seperti yang digambarkan oleh ulama’-ulama’ mazhab. Bahkan Al-Maraghi salah seorang murid setia Muhammad Abduh membolehkan orang berijtihad walaupun tidak mengerti bahasa Arab.
 
Pendapat Muhammad Abduh ini sejalan dan paralel dengan pendapat Lord Kromer, penguasa Inggris di Mesir, sewaktu Inggris menjajah negeri itu. Memang setelah Inggris mencengkramkan kuku penjajahan di Mesir, Inggris menemukan suatu cara untuk mempermainkan syari’at Islam, yaitu dengan menghembuskan ruh ijtihad di kelompok Islam modern yang mempercayai perlunya kemajuan perkembangan masyarakat modern seperti yang sedang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa.
 
Para kolonialis Inggris akhirnya menyerahkan kepada kelompok Islam modern tersebut jabatan-jabatan agama yang penting, seperti ifta’ dan kedudukan penting lainnya di Universitas Al Azhar Kairo. Dari kelompok modern inilah muncul pemikiran-pemikiran baru yang cukup berpengaruh di kalangan Universitas Al Azhar.
 
Fatwa-fatwa dari kelompok ini terus mengalir lebih-lebih pada saat negara Mesir memerlukan landasan syari’at dalam menerapkan undang-undang yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Lahirlah undang-undang yng didukung oleh fatwa kelompok Islam modern tentang masalah perkawinan, perceraian, warisan dan lain-lain yang bertentangan dengan syari’at Islam seperti persamaan hak waris bagi laki-laki dan wanita. Hak menjatuhkan talaq bagi isteri, persyaratan-persyaratan ketat yang bertujuan melarang poligami dan lain-lain.
 
Pendukung ide Muhammad Abduh di Mesir adalah Rasyid Ridha, Mustafa Al Maraghi, Abdul Majid As Salam, Mahmud Syaltut, Thanthawi Jauhari, Ali Adur Raziq, Zaki Mubarak, Farid Wajdi, ‘Aqqad Ahmad Amin. Thaha Husein, Qasim Amin, Sayyid Quthb dan lain-lain. Di Pakistan seperti Al Maududi ; di Indonesia seperti K.H Ahmad Dahlan, A. Hassan dan lain-lain.
 
Sarjana muslim terkenal, Sayyid Abdul hakim Arwasi, Mujaddid abad ke 14 H. mengatakan : “Abduh, mufti dari Cairo, tidak bisa mengerti kebesaran ulama’ Islam, tetapi menjual dirinya kepada musuh-musuh Islam, akhirnya menjadi seorang freemason, salah seorang yang menyimpang yang telah dihancurkan Islam”.
 
Syaikh Yusuf Dajwi guru besar pada Universitas Al Azhar Cairo menegaskan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa semua orang wajib mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah pendapat yang batil dengan ijma’ para sahabat Nabi. Sahabat-sahabat Nabi berfatwa kepada umum dan tidak ada mereka yang menyuruh supaya setiap orang menjadi Imam Mujtahid.
Betulkah orang-orang yang bermazhab itu menjadi mundur, mati semangat, jumud, beku, tidak berkemajuan dan dijajah saja. ?
 
Fakta sejarah telah berbicara bahwa Imam Bukhri, Imam terkemuka dalam hadits itu, bermazhab Syafi’i. Apakah beliau itu beku dan jumud ? Sultahn Shalahuddin Al Ayubi, pahlawan perang salib yang terkenal itu juga bermazhab Syafi’i. Apakah beliau itu dijajah ?. Pangeran Diponegoro pahlawan Indonesia itu, juga bermazhab Syafi’i apakah beliau itu mundur atau mati semangat ? Syarif Hidayatullah pembebas Sunda Kelapa dan pembangun Kota Jayakarta (Jakarta) juga bermazhab Syafi’i Apakah beliau termasuk orang-orang yang tidak berkemajuan ?.
jawabannya sudah barang tentu tidak. Bermazhab sekali-kali bukan penghalang orang untuk mencapai kemajuan. Bermazhab bukan penyebab orang menjadi mundur, mati semangat, jumud dan dijajah.
 
Sumber : Dinukil dari berbagai sumber,-


Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.

MENGAPA ADANYA MAZHAB DALAM ISLAM




Sunnah (hadis), sebagaimana yang kita pahami, tidak datang sekaligus. Quran turun dalam waktu 20 tahun 2 bulan 20 hari. Ia tidak seperti wahyu yang turun kepada rasul-rasul, yang turun serentak, sekaligus habis. Tetapi kepada Rasulullah tidak. Semua orang sudah tahu hal ini. Kemudian karena waktu itu tidak ada tempat hendak ditulis, maka para sahabat menghafal. Apabila dia takut kurang hafal, dia cari benda seperti kulit-kulit kayu atau pelepah untuk ditulis. Pada waktu yang sama, hadis pun berlaku bahkan lebih banyak daripada ayat Al Quran. Tetapi Rasulullah tidak membolehkan untuk ditulis sebab Rasulullah takut tercampur Al Quran dan hadis itu. Nanti tidak tahu yang mana hadis dan yang mana Al Quran. Jadi di peringkat awal, para sahabat menghafal. Tuhan beri para sahabat akal yang tajam hingga bisa hafal Al Quran dan hadis.

Hadis-hadis yang sampai kepada para-para sahabat itu, tidaklah setiap sahabat dapat kesemuanya. Sebab tidak semua sahabat berada bersama dengan Rasulullah sepanjang waktu. Ada yang sebentar, ada yang lama. Ada yang berjumpa dan ada yang terpisah. Ada yang sibuk atau pergi jauh-jauh, kurang dapat hadis. Mereka yang duduk selalu dengan Rasulullah, banyaklah dapat hadis. Jadi sahabat-sahabat dapat hadis dari Rasulullah itu tidak sama. Ada yang sedikit dan ada yang banyak. Yang paling dapat banyak ialah Abu Hurairah. Sebab dia bukan pemimpin dan bukan pejuang yang sibuk tetapi seorang ahli abid. Dia seorang yang dhaif dan miskin. Banyak di masjid dan selalu bertemu Rasulullah maka banyaklah dia dapat hadis. Seperti Sayidina Abu Bakar, mungkin dapat puluhan hadis saja.

Jadi hadis pada zaman Rasulullah tidak dibenarkan dicatat, takut terkeliru sehingga tidak dapat bedakan mana ayat Al Quran dan mana Hadis. Itu sebagai sebab supaya Al Quran terpelihara. Sebab Allah beritahu dalam satu ayat, bahawa Al Quran itu terjamin kebenarannya. Tidak ada siapapun bisa merubah dan menambah. Terpelihara bukan saja ayat-ayatnya, bahkan huruf-hurufnya sekaligus. memang terbukti betul. Cuma ada sedikit masalah berkaitan Hadis.

Kemudian Al Quran dibukukan menjadi mushaf, menjadi kitab. Dengan 114 surah dan 6666 ayat dan 30 juz. Al Quran dibukukan di zaman Sayidina Usman menjadi khalifah. Sebab itu ia terkenal sebagai mushaf Usmani. Kemudian di zaman Sayidina Umar Abdul Aziz, diperintahkan oleh Umar Ibnu Aziz waktu itu untuk buat 5 salinan. Dihantar ke kota-kota besar di dunia iaitu di Madinah sendiri, di Iraq, Mesir dan lain-lain. Kemudian, sesudah lebih seribu tahun, barulah Al Quran dicetak. Cetakan pertama di Jerman. susah juga di negara orang kafir. Al Quran mula-mula dicetak di Jerman, sekitar 200 tahun yang lalu.

Tentang Hadis, mulai dibukukan secara serius, 300 tahun setelah zaman Rasulullah. Artinya bukan di zaman sahabat, bukan zaman tabiin tetapi zaman tabiut tabiin. Ada satu kitab hadis yang awal sekali, yang ditulis oleh seorang ulama besar iaitu Imam Malik yaitu Mawattho’. Mengandung lebih 7000 hadis. Ini kitab hadis yang pertama. Tetapi itu tidak mencukupi. Kenapa? Hadis berjuta banyaknya. Mana cukup. Sebab itu, setelah 300 tahun, dikaji lagi. Itupun yang ditulis oleh Imam Malik, belum disaring. Hanya ditulis saja tetapi belum dikaji. Mungkin bercampur dengan kata-kata sahabat. Oleh itu, setelah 300 tahun, ia dikaji ulang.

Datanglah imam-imam yang terkenal seperti Imam Bukhari, Tarmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu An-Nasa’i dan lain-lain. Ada 6 kitab hadis yang terkenal. Yang paling populer Hadis Bukhari. Setelag itu hadis Muslim. Kemudian barulah diikuti oleh Ibnu Majah dan Ibnu An-Nasa’i. Kebanyakan mereka ini orang Uzbekistan. Tidak ada seorang pun orang Arab. Pembuku-pembuku hadis tidak ada seorang pun dari kalangan orang Arab. Kebanyakan orang Uzbekistan. Imam Bukhari saja telah mencatat tidak kurang 600,000 hadis. Sebenarnya lebih banyak.. Dari 600 000 itu, hanya 7000 yang sahih. Waktu itu transportasi amat susah. Imam Bukhari naik unta menjelajah seluruh negara Arab.

Sesudah 700 tahun hadis dibukukan, tentulah keadaannya membingungkan. Mungkin ada yang Hadis dan yang bukan Hadis. Oleh karena sudah 700 tahun hadis dibukukan dan sudah banyak perkara yang begitu lama, maka orang-orang jahat dan orang-orang yang hendak menyesatkan Islam ada peluang untuk memasukkan yang bukan-bukan. Banyak pula tukang karang Hadis lalu dicampur aduk. Jadi Imam Bukhari sangat ketat syaratnya dalam menerima Hadis. Syaratnya sangat ketat. Dia pernah menemui seseorang untuk mendapatkan hadis tetapi dia mendapati orang itu telah berpura-pura menabur makanan untuk memanggil binatang ternakannya. Hanya karena berbohong dengan binatang, dia cancel hadis itu. Dia tidak terima hadis dari orang itu. Dari 600 000 hadis yang dihafal, yang dianggap sahih hanya 7000. Kalau seseorang itu dilihat seperti tidak bisa dipercayai walaupun sedikit, hadis itu tidak akan diterima. Tapi Imam-imam lain agak longgar sedikit. Sebab itu sampai beratus-ratus ribu hadis yang disahkan.

Hadis ada bermacam-macam derajat Ada hadis Sahih, hadis Mutawatir (banyak perawi yang menyatakan tentang hadis tersebut), hadis Hasan, hadis Dhaif, hadis Maudhu’. Hadis Maudhu’ ini bukan hadis tetapi direka-reka. Hadis Mutawatir adalah hadis yang tidak boleh ditolak, sangat sahih. Hadis Masyhur di bawah Hadis Mutawatir. Ada yang dikatakan Hadis Ahad. Sumbernya satu, satu jalan, satu line atau satu saluran. Setelah dikaji rawi-rawi sampai kepada Sayidina Abu Bakar, perawi itu orang yang sama. Seorang saja. Sumber lain tidak ada. Ada hadis yang banyak sumbernya dan banyak saluran.

Begitulah martabat hadis. Jadi hadis dibukukan setelah 300 tahun. Kemudian, ada mazhab. Mengapa timbul mazhab? Saya tidak hendak sebut mazhab-mazhab yang sesat. Sebab dalam Islam lahir 73 mazhab. Dari 73 mazhab itu, 72 mazhab sesat. Hanya satu saja yang dikatakan ahli sunnah wal jamaah. Dari situ menjadi 4 mazhab. Inilah mazhab yang sah, yang dianggap satu iaitu ahlisunnah wal jamaah. Kemudian ia berpecah kepada 4 Mazhab iaitu:

1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Hanafi
3. Mazhab Hambali
4. Mazhab Syafi’i


Mazhab pertama yang lahir ialah Mazhab Maliki. Bahkan Mazhab ini terkenal dengan Mazhab ahlulhadis. Imam Maliki tidak mengembara, tidak ke luar negeri, duduk saja di Madinah, jadi dia banyak dapat hadis. Sebab itu Mazhab Maliki ini dikatakan Mazhab ahlul hadis.

Mazhab yang 4 ini dianggap satu, yang dikatakan mazhab yang berpegang pada ahlisunnah wal jamaah. Perbedaannya bab-bab furuq, bukan bab pokok. Bukan masalah-masalah aqidah, bukan masalah usuluddin. Hanya bab furuq seperti fiqh dan syariat. Ada kelainan sedikit-sedikit.

Perbedaan-perbedaan timbul karena:

1. IQ Imam Mazhab tidak sama

Imam-imam Mazhab ini tidak sama kecerdikannya. Ada yang sangat cerdik dan ada yang sederhana. Begitulah. Oleh karena faktor akal tidak sama, maka lahirlah pendapat-pendapat. Maka berbedalah pendapat antara satu sama lain. sebenarnya mazhab-mazhab ini ada 11 yang sah. Semuanya ahli sunnah wal jamaah. Selanjutnya mazhab Auza’i, Athauri, Mazhab Hasan Basri dan lain-lain lagi. Tetapi yang selain daripada mazhab yang 4 ini, tidak terkenal. Kitab tidak ada, buku sudah hilang. Hendak dijadikan bahan rujukan sudah tidak bisa. 4 mazhab ini ada kitab dan ada rujukannya. Cukup jelas karena semua ada kitab. Imam Syafie ada kitab yang besar iaitu Al Uum. Kembali memperkatakan mengapa lahir perbedaan. Pertama IQ tidak sama.

2. Hadis belum dibukukan untuk jadi rujukan
Waktu zaman Imam Mazhab ini, hadis belum dibukukan. Hadis dibukukan setelah 300 tahun. Sedangkan Imam-imam Mazhab sudah lahir di kurun pertama. Hadis belum dibukukan. Hanya berjumpa orang-orang yang hafal hadis. Jadi sebab yang kedua, setengah Imam Mazhab itu ada yang berjumpa hadis dan ada yang tidak berjumpa. Yang berjumpa, dia jadikan hujah, manakala yang tidak jumpa, dia tidak jadikan hujah. Di situ sudah berbeda. Itu sebab kedua.

3. Tidak semua Imam Mazhab menerima hadis yang sama
Sebab ketiga, masing-masing jumpa hadis yang sama, tetapi tidak semua menerima hadis itu. Mana yang anggap hadis itu sahih, dia terima. Yang anggap itu bukan hadis, dia tidak terima. Di sini berbeda lagi.

4.Berbeda penerimaan ayat Mansuh dalam Al Quran
Sebab yang keempat, dalam Quran, ada ayat yang mansuh dan ada yang nasikh. Ada setengah Mazhab tidak terima mansuhnya ayat Quran. Ada sesetengah mazhab menerima. Orang yang menerima pula tidak sama. Ada yang terima sekian-sekian ayat saja. Jadi mana yang menerima, menerima ayat yang mansuh. Manakala mazhab yang menerima ayat itu tidak mansuh, dia jadikan hujah. Mazhab yang sudah meanganggap ayat itu sudah mansuh, di situ dibatalkan hukumnya. Nasikh itu dibatalkan. Imam Mazhab yang menganggap hukum itu sudah dibatalkan, maka ia tidak dijadikan hujah. Sudah berbeda lagi

5. Berbeda pendapat dalam menghubungkan ayat Quran dan Hadis
Selain itu ayat Quran dan hadis, kadang-kadang satu sama lain itu nampak berlawanan. Kadang-kadang, nampak untuk khusus tetapi dimaksudkan untuk umum. Kadang nampak untuk umum tetapi maksudnya khusus. Ini susah. Masing-masing mengkaji, menilai bagaimana hendak menghubungkan. Bagaimana hendak gabungkan yang khusus jadi umum, yang umum jadi khusus. Ada juga yang khusus untuk khusus dan ada yang untuk umum. Di sini berbeda lagi. Ada yang mampu diselaraskan. Ada yang tidak mampu. Lahirlah pandangan-padangan yang berbeda.Inilah antara sebab-sebab yang besar, mengapa dalam satu mazhab yang besar, yaitu mazhab ahlisunnah wal jamaah, lahir lagi 4 firkah. Ada sedikit-sedikit perbedaan antara satu perkara.

Kedatangan pakar-pakar hadis adalah selepas kelahiran Imam Mazhab. Imam mazhab di lahir di kurun yang pertama. Pakar-pakar hadis di kurun yang ke 3. Tidak bertemu. Tetapi tiada siapa pun di kalangan pakar hadis itu yang membuat mazhab. Karena itu kebanyakan bermazhab Syafi’i. Mereka itu kebanyakannya bermazhab Syafi’i. Padahal hadis di kepala mereka. Bahkan ada di kalangan mereka yang hafal Al Quran. Artinya tempat rujuk ada pada mereka. Seharusnya mereka bisa dan mampu buat mazhab tetapi mereka tidak buat. Mereka bermazhab dengan mazhab Syafi’i.

Karena sekarang ini, orang sangat mudah menolak mazhab. Sedangkan pakar hadis pun bermazhab. Merujuk pada Mazhab Syafi’i. Jadi jangan mudah terpengaruh. Pakar hadis pun ikut mazhab. Masa kita tidak ikut mazhab sedangkan kita ini, satu ayat pun tidak Bisa faham. Apalagi beribu-ribu hadis.

Mengapa Kita Wajib Berrmazhab-sambungan

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.


Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambilmadzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia butuh sanad yang ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas..

Dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab syafii nya, Demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.

demikian saudaraku yang kumuliakan.,


Wallahu a'lam

Saturday, 24 September 2011

MENGENAI JIWA DAN ROH

Ketahuilah bahawa Allah Taala menjadikan manusia ini terdiri daripada dua suatu yang berbeza iaitu:
Jisim yang gelap, tebal, termasuk di bawah kejadian dan kebinasaan (Al-Kun Wal-Fasad) yang tersusun, bersifat ketanahan yang tidak dapat melaksanakan urusannya melainkan dengan yang lain.
Jiwa Jauhari yang tunggal yang bercahaya, mencapai, bertindak lagi menggerakkan dan menyempurnakan alat-alat (alat-alat dalam badan manusia baik yang bersifat ruhaniah seperti Ruh Haiwani, Ruh Tobie dan lain-lain atau bersifat jasmaniah seperti otak dan bahagian-bahagiannya dan lain-lainnya. Allah Taala menyusun jasad-jasad dari bahagian-bahagian makanan dan menjaganya dengan bahagian-bahagian zat makanan yang lebur menyerap ke dalam jasad, menyediakan asas, menyempurnakan anggota-anggota penting, menentukan anggota-anggota kaki dan tangan dan melahirkan jauhar jiwa dari urusan yang tunggal, sempurna menyempurna lagi memberi faedah.
Bukanlah saya (Imam Ghazali) maksudkan 'jiwa' itu kekuatan untuk mendapatkan makanan;
bukan kekuatan yang menggerakkan syahwat (Al-Nafsu) dan kemarahan; bukan kekuatan yang berada dalam jantung (Al-Kolbu) yang melahirkan hidup, menimbulkan rasa dan gerak dari jantung kepada seluruh anggota, kerana kekutan ini dinamakan 'Ruh Haiwani'.

Rasa, gerak, syahwat adalah dari tentera Ruh Haiwani ini.
Kekuatan mendapatkan makanan yang berada dan menguruskan dalam hati (Al-Kabad) dinamakan 'Ruh Tobie.' Pencernaan dan penolakan adalah daripada sifat-sifatnya. Kekuatan merupa, melahir, menyubur dan lain-lain kekuatan tobie semuanya menjadi khadam-khadam bagi jasad dan jasad pula adalah khadam kepada Ruh Haiwani, kerana jasad menerima kekuatan-kekuatan dari Ruh Haiwani dan bekerja menurut geraknya.

Sebenarnya yang dimaksudkan dengan 'JIWA' itu ialah JAUHAR YANG SEMPURNA LAGI TUNGGAL (Al-Jauhar Al-Kamil Al-Mufrad) yang kerjanya hanya
mengingat, menghafaz, memikir membeza dan mengamat-amati; juga menerima segala ilmu dan tidak jemu-jemu menerima rupa-rupa abstrak yang bersih dari benda.

Jauhar ini adalah ketua segala ruh dan raja. Segala kekuatan semuanya berkhidmat kepada jauhar ini dan menjunjung perintahnya. Jauhar ini tidak lain tidak bukan dari JIWA BERAKAL (Al-Nafs An-Naathokoh) yang diberikan berbagai-bagai nama. Para ahli falsafah menamakan jauhar ini sebagai JIWA BERAKAL (Al-Naf An-Naathokah).Al-Quran menamakannya sebagai JIWA YANG TENANG (Al-Nafsul Mutomainnah). Al-Quran juga menamakannya sebagai RUH URUSAN (Al-Ruh Al-Amri). Ahli Tasauf menamakannya sebagai QALBU (Al-Qalbi). Perbezaan cuma pada segi nama-nama sahaja tetapi ertinya satu, tidak ada perselisihan. Oleh itu 'QALBU' dan 'RUH' pada kita juga 'YANG TENANG' semua nama-nama itu adalah bagi 'JIWA BERAKAL' (Al-Nafs Al-Naathokoh). Jiwa berakal ialah 'Jauhar yang Hidup', 'aktif', lagi mencapai kalau disebut Ruh Mutlak atau Qalbu. Maksudnya ialah jauhar ini juga.

Ahli-ahli Tasauf menamakan 'Ruh Haiwani' pula dengan nafsu. Syarak juga memberikan pengertian yang sama sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W. yang bermaksud:

"Musuh engkau yang paling ketat ialah nafsu engkau".
Baginda bersabda lagi dengan maksud:
"Nafsu engkau ialah yang terletak di antara dua pihak".
Perkataan nafsu yang dimaksudkan oleh syarak di sini ialah kekuatan 'syahwaaniah' dan kemarahan kerana kedua-duanya muncul dari jantung yang terletak di antara dua pihak(dari tubuh manusia). Bila kamu telah faham dan mengetahui perbezaan nama-nama itu ternyatalah bahawa para pengkaji memberikan nama yang bermacam-macam terhadap Jauhar yang bernilai ini dan mengemukakan pendapat-pendapat yang berbeza. Para ahli Ilmu Kalam yang pandai dalam debat menganggap jiwa itu sebagai suatu jisim dan menyatakan bahawa ia adalah jisim yang halus sebagai tantangan bagi jisim yang tebal ini. Mereka hanya melihat perbezaan di antara ruh dan jasad dari segi kehalusan dan ketebalan sahaja.
Sebahagian dari mereka menganggap ruh sebagi 'aradh. Sebahagian daripada ahli-ahli kedoktoran cenderung ke arah pendapat ini. Ada pula yang menganggap darah sebagai ruh.
Mereka semua merasa puas hati dengan pendapat mereka kerana dipengaruhi oleh kecantikkan pandangan dan mereka 'TIDAK BERUSAHA' mencari bahagian ketiga sedangkan sebenarnya ada tiga bahagi iaitu Jisim, Aradh dan 'Al-Jauhar-Al-Mufrad'.

Ruh Haiwani ialah jisim yang halus seolah-olah lampu bernyala terletak dalam kaca jantung. Jantung yang dimaksudkan di sini ialah rangka sanubari yang tergantung pada dada manusia.

Hidup adalah lampu tersebut,
Darah ialah minyaknya,
Rasa dan gerak merupakan nurnya,
Syahwat ialah kepanasannya,
Kemarahan ialah wapnya,
Kekuatan mencari makanan yang berada di dalam hati merupakan khadam atau penjaganya dan wakilnya.

Ruh ini terdapat pada segala binatang. Ruh ini tidak menerima ilmu dan tidak mengetahi soal yang berhubung dengan alam dan tidak mengetahui hak-hak Pencipta Alam. Ia hanya merupakan khadam yang terikat. Ia mati bersama dengan matinya badan. Jika bertambah darah, padam lampu itu kerana bertambah kepanasan dan sebaliknya jika berkurangan darah, ia akan padam juga kerana bertambah kesejukan. Padamnya menjadi sebab bagi matinya badan. Tidak ada 'khitob Tuhan' iaitu (perkataan-perkataan Tuhan yang lazim yang dihadapkan kepada orang-orang mukallaf berhubung dengan perbuatan-perbuatan mereka) dan tidak ada 'takhlif' (pemikul tanggungjawab yang diamanahkan dari Allah melalui hukum syarak yang lima) tuan punya syarak terhadap ruh ini. Kerana inilah segala binatang tidak termasuk ke dalam makhluk-makluk yang menerima 'khitob' dengan hukum-hukum syarak.

Manusia sebenarnya 'ditakhlif' dan 'dikhitob' kerana suatu makna yang lain terdapat padanya sebagai suatu tambahan yang dikhaskan untuknya. Maknanya ialah pada manusia ada 'JIWA YANG BERAKAL' (Al-Nafs-An-Naatokoh), 'RUH URUSAN'(Ruhul-Amri) dan 'JIWA YANG TENANG'(Al-Nafsul Muthomainnah).
Ruh ini bukanlah jisim dan bukanlah 'aradh', kerana ia datang dari urusan Allah Taala sebagaimana firmannya yang bermaksud:

'Katakanlah hai Muhammad bahawa Ruh itu adalah urusan Tuhanku.(Surah Al-Israk ayat 85)

Allah berfirman lagi yang bermaksud:

'Hai Jiwa yang Tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan redho dan diredhoi."
(Surah Al-Tahrim ayat 12)

Urusan Allah bukanlah berupa jisim dan bukan pula 'aradh', malahan ia adalah suatu kekuatan 'ILAHIYAH' seperti 'AKAL YANG PERTAMA' (Al-'Aklul-Awal), Luh dan Qalam. Kekuatan Ilahiyah adalah Jauhar-Jauhar Tunggal yang bukan dari benda, malah ia merupakan sinar-sinar abstrak yang dapat difahami oleh akal (Ma'quulah). Bukan boleh dirasa. Apa yang kita sebut sebagai ruh dan Qalbu adalah dari Jauhar-Jauhar itu.

Bahawa Ia tidak rosak, tidak layu, tidak binasa, tidak mati bahkan; ia terpisah dari badan dan menantikan perkembaliaan pada hari kiamat sebagaimana yang dinyatakan dalam syarak dan telah disahkan dalam ilmu-ilmu 'HIKMIAH' (Falsafah) dengan alasan-alasan yang tidak dapat ditolak lagi. Buktinya yang nyata menunjukkan bahawa 'RUH YANG BERAKAL' bukanlah jisim dan bukanlah 'aradh, malah ia adalah JAUHAR yang sabit(nyata) lagi kekal tiada binasa. Di sini rasanya tidak perlu lagi kita menyebut alasan-alasan dan membentangkan dalil-dalil kerana telah dibuat dan disebut orang. Sesiapa yang mahu mengesahkannya silalah tatap kitab-kitab yang baik mengenai ilmu ini. Cara kita memberi huraian dalam risalah ini bukanlah dengan mengemukakan alasan, malah dengan berpegang pada apa yang telah dialami menerusi 'PENGLIHATAN YANG YAKIN DAN PENGLIHATAN IMAM.'
Allah Taala ada menghubungkan ruh kepada urusan dan kadang-kadang kepada 'IZAH'Nya(zat yang tiada boleh dicapai dengan akal dan fikiran) dengan firmanNya yang bermaksud:
'Dan Aku(Allah) tiupkan padanya ruh dariKU' (Surah Al-Hijr ayat 39).
dan firmanNya lagi yang bermaksud:

'Katakanlah (hai Muhammad) bahawa roh itu adalah urusan tuhanku'(Al-Israk ayat 85)

dan firmanNya lagi yang bermaksud:

'Lalu kami tiupkan padanya dari roh kami.'
(Surah Al-Tahrim ayat 12)

Bila roh itu dihubungkan oleh Allah Taala kepada diriNya tentulah ia bukan jisim atau A'radh kerana rendah tingkat kedua-duanya, selalu berubah-ubah dan cepat hilang serta akan rosak.

Rasulullah S.W.T. bersabda yang bermaksud:
"Roh-roh adalah sebagai tentera yang lengkap"
dan dalam sabda Baginda yang lain lagi Beliau menyatakan:
"Roh para syuhadah terletak dalam bayang-bayang burung-burung hijau."

Begitu juga dengan A'radh tidak kekal selepas hilangnya jauhar kerana A'radh tidak boleh berdiri dengan zatnya sendiri. Manakala jisim menerima peleburan kembali sebagaimana asalnya sebelum penyusunan dari benda (Al Madah) dan rupa seperti yang tersebut dalam kitab-kitab (kitab-kitab falsafah).
Setelah kita mengetahui ayat-ayat, hadis-hadis dan alasan-alasan akal, ketahuilah kita bahawa ruh itu adalah JAUHAR MUFRAD YANG SEMPURNA (Al-Jauharul Mufrad Al-Kamil) hidup dengan zatnya, baik dan buruknya agama adalah datang daripadanya, manakala ruh Tobie dan Ruh Haiwani dan kekuatan badaniah seluruhnya daripada tentara Jauhar Mufrad Yang Sempurna ini.
Jauhar ini menerima rupa-rupa maklumat dan hakikat maujudah (sesuatu yang wujud di alam ini) dengan tidak diganggui oleh ain-ain dan peribadinya kerana jiwa berkuasa mengetahui hakikat manusia tanpa melihat peribadi (manusia) itu sendiri; begitu juga ia mengetahui malaikat dan syaitan-syaitan dengan tidak perlu melihat peribadi-peribadi mereka. Ini adalah kerana kedua-dua jenis makhluk itu tiada dapat dicapai oleh deria-deria kebanyakan orang.
Satu golongan ahli tasauf berkata bahawa ' Qalbu ' mempunyai dua mata, serupa juga dengan dua mata bagi jasad ini. Jasad dapat melihat benda-benda yang zahir dengan mata-mata zahir dan Qalbu melihat hakikat dengan mata akal.

Rasulullah S.W.T. bersabda yang bermaksud:

'Tiada ada seorang hambapun melainkan Qalbunya mestilah mempunyai dua mata.'
Dengan kedua-dua mata ini dapatlah dicapai apa yang ghaib. Bila Allah Taala hendak memberikan kebaikan kepada hambanya, ia bukakan dua mata Qalbunya supaya dapat melihat sesuatu yang ghaib dari pemandangan mata lahirnya. Roh ini tidaklah mati dengan matinya badan kerana Allah Taala menyerunya supaya kembali kepadaNya dengan firmanNya yang bermaksud:

'Kembalilah kepada Tuhanmu'
(Surah Al Fajr Ayat 28).

Sebenarnya ruh ini hanya bercerai dan berpaling dari badan. Oleh kerana berpaling ini maka kakulah segala yang bersangkut dengan kekuatan-kekuatan Haiwaniah dan Tabii'yah. Maka diamlah yang bergerak itu dan dikatakan kepada yang diam itu, ialah MATI.

Ahli-ahli Tharikat atau ahli Tasauf lebih banyak berpegang pada roh dan Qalbu dari berpegang pada peribadi. Apabila roh itu dari urusan Allah Taala, maka beradanya dalam badan adalah sebagai orang dagang. Mukanya mengarah pada asalnya dan tempat datangnya. Ia dapat mengambil faedah-faedah dari pihak asalnya lebih banyak dari apa yang ia dapat dari pihak peribadi bila ruh itu kuat dan tidak dikotori oleh kekotoran-kekotoran tabiat.
Bila anda mengetahui ruh adalah Jauhar Mufrad dan mengetahui pula jasad memerlukan ruang dan A'Radh maka selain dari ini tidak ada lagi melainkan Jauhar. Ketahuilah bahawa Jauhar ini tidak menempati pada sesuatu tempat dan tidak mendiami pada sesuatu ruang. Bukanlah badan adalah ruang bagi ruh dan bukan pula tempat bagi Qalbu malahan badan adalah alat ruh, alat Qalbu dan kenderaan jiwa. Zat ruh sendiri tidak bersambung dengan bahagian-bahagian badan dan tidak berpisah daripadanya bahkan ia menhadap kepada badan, memberi faedah dan melimpah kepadanya.

Mula-mula lahir Nur ruh pada otak kerana otak tempat kenyataan yang khas.
Pada bahagian depannya ia menjadi penjaga
Pada bahagian tengahnya ia menjadi menteri dan pentadbir
Pada bahagian belakangnya ia menjadi perbendaharaan. Ahli perbendaharaan dan seluruh bahagian manjadi kakitangan dan kenderaan
Roh Haiwani menjadi khadam
Roh Tobie menjadi wakil
Badan menjadi kenderaan
Dunia menjadi medan
Hayat menjadi barang (modal)
Gerak menjadi perniagaan
Ilmu menjadi keuntungan
Hari akhirat menjadi matlamat dan tempat pulang
Syarak menjadi jalan dan cara
Terhadap jiwa pendorong kejahatan (nafsu Amarah) menjadi penjaga dan pemerhati
Terhadap jiwa pengkritik (nafsu Lawamah) ia menjadi penyedar.
Pancaindera menjadi pengikut-pengikut dan pembantu.
Agama menjadi penghalang
Akal menjadi mahaguru
Rasa pancaindera menjadi murid
Ar-Robh (Allah) menjadi pemerhati

Jiwa dengan sifat-sifat ini bersama dengan alat-alat ini tidak mengarah kepada peribadi yang tebal ini dan tidak berhubung dengan zatnya, malahan ia mengarah kepada Tuhannya dan Tuhannya memerintahkannya supaya mengambil kesempatan mendapatkan sesuatu yang berguna hingga kepada satu tempoh yang tertentu.
Oleh itu ruh tidaklah menumpukan pemerhatian ke arah memikirkan yang lain dalam masa perjalanan (hidup di atas dunia) ini, melainkan berusaha mencari ilmu untuk menjadi perhiasan di dalam negeri akhirat. Ini adalah kerana perhiasan harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia sahaja sebagaimana mata menumpukan pemerhatian ke arah mendengar suara-suara, lidah siap sedia untuk menyusun kata-kata, Ruh Haiwani tunduk kepada keenakkan marah, Ruh Tobie cintakan kelazatam makan dan minum, maka ruh yang tenang (AL-Ruh Al-Muthomainnah) ertinya Qalbu tidak menghendaki apa-apa selain daripada ilmu dan tidak gemarkan sesuatupun selain daripada ilmu. Ia belajar dan belajar sepanjang usianya. Ia menghiasi dirinya dengan ilmu dalam seluruh zaman hingga waktu bercerainya dari badan. Jika ia menerima sesuatu yang lain daripada ilmu, maka penerimaannya ini cuma untuk kepentingan badan, bukan untuk kepentingan dirinya dan kecintaan asalnya. Bila anda telah mengetahui hal ehwal ruh, kekalannya yang berterusan, kecintaannya dan pemerhatiannya kepada ilmu maka patutlah anda mengetahui pula tentang jenis-jenis ilmu.

MENGENAI ROH
Roh diumpamakan sebagai tubuh. Keupayaan yang menghidupkan roh dipanggil nyawa. Apabila ia hidup ia mempunyai keupayaan untuk melahirkan berbagai-bagai bakat. Keupayaan yang melahirkan kehendak dinamakan nafsu. Keupayaan untuk melahirkan pengetahuan dinamakan akal. Roh yang satu boleh dilihat melalui empat aspek. Aspek roh yang melahirkan bakat-bakat seperti mendengar, melihat dan lain-lain dinamakan roh juga. Aspek roh yang melahirkan kehendak dinamakan nafsu. Aspek roh yang melahirkan pengetahuan dinamakan akal. Aspek roh yang melahirkan kehidupan dinamakan nyawa.

Tuhan mengajar manusia mengenali-Nya melalui sifat atau nilai yang ada dengan manusia sendiri walaupun sifat manusia bukan sifat Tuhan. Dalam persoalan roh, aspek roh yang menghasilkan bakat-bakat dikaitkan dengan sifat Kudrat. Nafsu pula dikaitkan dengan sifat Iradat. Akal dikaitkan dengan sifat Ilmu. Nyawa dikaitkan dengan sifat Hayat.
Kudrat Allah s.w.t yang memberikan keupayaan kepada roh. Roh berperanan membekalkan bakat-bakat, keupayaan serta tenaga. Kebolehan mendengar, melihat, berkata-kata, bergerak dan lain-lain adalah merupakan pekerjaan roh. Roh mempastikan setiap bakat itu pergi kepada alat atau pancaindera yang sesuai dengannya. Roh menghantarkan bakat melihat kepada mata, mendengar kepada telinga, berkata-kata kepada lidah dan bakat-bakat lain dihantar kepada pancaindera yang sesuai untuk masing-masingnya. Roh dikaitkan dengan urusan Allah s.w.t. Sebab itu pekerjaan roh adalah tepat dan sempurna. Roh tidak membuat silap, seperti meletakkan bakat melihat kepada kaki atau bakat mendengar kepada lutut. Dalam syariat roh diistilahkan sebagai malaikat. Malaikat yang menjaga matahari, bulan, bintang dan planet-planet lainnya akan mengheret masing-masing itu pada falak yang telah ditentukan oleh Tuhan dan maklumatnya telah dibekalkan kepada malaikat atau roh masing-masing. Malaikat menjalankan perintah Tuhan dengan tepat, tanpa kegoncangan yang datang daripada nafsu dan akal. Roh atau malaikat secara semulajadinya mempunyai sifat hanya mentaati perintah Allah s.w.t tanpa berfikir atau memilih. Malaikat angin yang diperintahkan Allah s.w.t supaya membinasakan sesebuah negeri akan berbuat demikian tanpa kasihan belas walaupun anak dipisahkan daripada ibu bapa, isteri dipisahkan daripada suami dan banyak nyawa terkorban serta harta benda yang rosak.

Malaikat atau roh yang menghantar bakat melihat kepada mata akan terus berbuat demikian walaupun mata itu digunakan untuk melihat sesuatu yang dimurkai Allah s.w.t, melainkan jika Allah s.w.t memerintahkannya memberhentikan penghantaran bakat tersebut. Jadi, roh pada aspek bakat-bakat adalah serupa dengan malaikat yang menjalankan tugas tanpa rangsangan nafsu dan pertimbangan akal.



Martabat nafsu

Bila bercakap tentang nafsu, ramai di antara kita mengatakan atau menganggap ia sebagai suatu kelakuan jahat yang terbit dari perlakuan seseorang. Ada sesetengah orang berkata “jangan mengikut nafsu, nanti menjadi lesu” hidup ini jangan sekali-kali mengikut nafsu kerana ia adalah pekerjaan syaian.

Pendek kata ramai diantara kita belum lagi mengetahui takrif nafsu dan juga martabat nafsu. Adapun takrif nafsu boleh dibahagikan kepada dua (2) iaitu :

Nafsu adalah satu perlakuan naluri manusia yang mendorongkan perlakuan yang dikuasai oleh iblis laknatullah untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at dan hakikat Allah swt. Ianya terbit daripada kekotoran hati manusia dengan Allah swt.

Nafsu juga boleh ditakrifkan sebagai suatu martabat kelakuan hati dan kalbun manusia di dalam arah tuju ke martabat kesucian seseorang itu pada hakikat dan makrifat dengan Allah swt. Ianya boleh ditafsirkan sebagai taraf dan tahap hijab-hijab yang harus ditembusi oleh manusia untuk mengenal dirinya dan mengenal ia akan Tuhannya.

Adapun nafsu itu letaknya di cabang hai manusia. Ianya bertindak sebagai dinding (hijab) perhubungan diantara diri rahsia manusia dengan tuan empunya diri (Tuhannya).

Oleh itu tugas manusia yang hendak menuju kepada makrifat hendaklah pula memecahkan ruyung-ruyung hijab ini sehingga ianya sampai ke martabat yang paling tinggi kemuliaannya di sisi Alah swt. dan bebaslah diri batin manusia itu untuk bertemu dengan diri empunya Diri pada setiap saat dan ketika. Tanpa memecahkan ruyug-ruyung nafsu tadi, manusia tidak mungkin dapat kembali kepada Tuhannya semasa hidup (masih bernafas) atau mematikan dirinya sebelum mati.

Disamping itu manusia yang hendak menuju ke jalan makrifat Tuhanya haruslah pula berusaha supaya sampai ke martabat mematikan diri sebelum mati.

Adapun Martabat Nafsu pada diri manusia itu adalah terdiri dari tujuh (7) nafsu sebagimana yang termaktub didalam Al-Quran :

Nafsu AMARAH
Nafsu LAWAMAH
Nafsu MULHAIMAH
Nafsu MUTHMAINAH
Nafsu RADIAH
Nafsu MARDIAH
Nafsu KAMALIAH

“Sesungguh nya Kami telah menciptakan ke atas dirimu tujuh jalan (nafsu)”( Surah Al-Mu’minun ayat – 17 )


1. NAFSU AMARAH
Nafsu Amarah itu adalah satu kelakuan hati yang menerbitkan suatu perangai yang mengandungi sifat-sifat Mazmumah yang terampau banyak.

Manusia-manusia yang memiliki nafsu Amarah biasanya memiliki sifat-sifat Mazmumah iaitu sifat yang dikeji oleh Allah swt. Iaitu sifat-sifat seperti dengki, khianat, iri hati, pemarah, berang, emotional mengikut hati dan lain-lain lagi. Biasanya mereka yang dikuasai nafsu Amarah bertindak mengikut fikiran tanpa menggunakan akal. Kadang kadang mereka merasa diri merekalah berkuasa dan semuanya adalah hak mereka. Mereka boleh bersultan di mata dan beraja di hati. Seperti Firman Allah :

“Sesungguhnya Nafsu Amarah itu sentiasa menyuruh berbuat jahat”(Surah Yusof – ayat 53)

dan FirmanNya lagi :

“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuan dan dia disesatkan Allah kerana Allah mengetahui (kejahatan hatinya) lalu di tutup Allah pendengarannya (telinga batin), mata basirnya dan tetap tertutup.”(Surah Al-Jaashiah – ayat 23)

Dan sesungguhnya orang-orang yang dikongkongi oleh nafsu Amarah biasanya tak ahan di uji dan jika di uji dengan satu-satu entuk ujian atau satu cabaran dan dugaan mereka terus melenting bertindak mengikut fikiran dibawah hasutan syaitan dan kuncu-kuncunya.
Pada peringkat nafsu ini, manusia tetap dikuasai oleh iblis, jiwa mereka sentiasa tegang, fikiran sentiasa kusut, pegangan hanyut dan hati jarang-jarang sekali mengingati Allah SWT.

Mereka di peringkat nafsu ini akan mengingati Tuhan ketika susah dan melupaiNya ketika senang seperti firman Allah di dalam Al-Quran :

“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri, tetapi bila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdoa.”(Surah Fusilat – ayat 51)

Mereka juga bertindak di dalam sesuatu hal, langsung tidak berpandu kepada syariat Allah swt. tetapi mereka lebih berpandukan fikiran, angan-angan dan tidak pula penah terbit pada hati mereka satu perasaan salah terhadap sesuatu kesalahan yang mereka sendiri lakukan.

Sesungguhnya nafsu Amarah ini adalah nafsu binatang. Malahan ianya lebih hina daripada binatang bagi mereka yang menguasai nafsu Amarah.
Mereka mempunyai hati yang tidk memerhati, mempunyai mata yang tidak melihat, mempunyai pendengaran yang tidak mendengar, malahan boleh disifatkan mereka ini sebagai seekor binatang yang berupa manusia.

Seperti firman Allah di dalam Al-Quran :

“Akan di campakkan ke dalam neraka Jahanam daripada golongan-golongan jin dan manusia yang mempunyai hati tidak memerhati, yang mempunyai mata tidak melihat, yang mempunyai pendengaran tidak mendengar, mereka itu adalah seperti binatang, malahan lebih hina daripadanya dan mereka lah termasuk daripada orang-orang yang lalai”(Surah Al-A’araf – ayat 179)

Perlu juga diingatkan bahawa bagi orang-orang yang dikuasai oleh nafsu Amarah biasanya suka bersifat bermuka-muka dengan sesuatu yang diperolehinya dan suka memperbodohkan kelemahan orang lain walaupun rakan karibnya sendiri. Mereka mencela orang lain dan membayangkan dialah orang yang paling baik dan sempurna. Mereka bertindak menjaja keburukkan orang kepada orang lain dengan harapan keburukkan orang itu dapat memberi keuntungan kepada diri mereka.
Mereka ini tidak ubah seperti ayam balor yang mempunyai bulu yang elok tetapi tahi melekat di badannya.

Justeru daripada itu, adalah menjadi kewajipan diri manusia tersebut haruslah menyucikan sifat-sifat nafsu Amarah tadi supaya terbitnya sifat-sifat murni dan hilangnya sifat-sifat mazmumah dalam diri manusia itu seperti firman Allah :-

“Demi nafsu (manusia) dan kesempurnaan (kejadian) maka Allah mengilhamkan kepada nafsu itu jalan kefaskan dan ketaqwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan nafsunya”(Surah Asy Syam – ayat 7-10)

Oleh yang demikian maka seseorang itu hendaklah berguru dan berzikir menyucikan diri nya mengikut petua-petua yang diberi oleh guru mereka di dalam usahanya membersihkan dirinya dengan Allah swt.
Maka beramal lah mereka dengan petua-petua yang diberi oleh gurunya sehinggalah terbitnya peningkatan ke satu martabat nafsu yang seterusnya yang bernama nafsu Lawamah.

Zikir orang-orang Amarah biasanya di lidah tanpa menyerap di dalam hatinya. Zikir nya kosong tidak bertenaga dan bermaya dan sesungguhnya zikir adalah merupakan klorox bagi menyucikan kekotoran hati yang tidak boleh dicucikan oleh jenis-jenis sabun.

Jiwa mereka pada masa ini kosong hubungan dirinya dengan Empunya Diri adalah terputus langsung. Malahan diri rahsianya dihijab tebal daripada Allah swt. Diri batinnya kurus melidi, sakit tersiksa sedangkan badan zahirnya gemuk dan sihatnya seperti ubi kayu di tanah bukit, sedang tubuh batinnya di anai-anaikan oleh nafsu Amarah.

Penyakit Nafsu Amarah ini jika dibiarkan menular pada jiwa manusia ianya menyebabkan bertimbunnya pada hakikat selaput-selaput tebal, gelap dan kemas untuk mengingati Tuhannya. Dan hidupnya terus hanyut tidak berpedoman sebagai kabus di waktu pagi ataupun bagai awan di langit. Sesungguhnya bagi mereka yan dikuasai nafsu Amarah merekalah termasuk di dalam golongan manusia yang rugi di sisi Allah SWT.

2. NAFSU LAWAMAH

Pada peringkat nafsu Lawamah manusia telahpun dapat menguasai satu perasaan semacam melarang seseorang manusia itu melakukan sesuatu kesalahan kezaliman dan apa saja yang ditegah oleh syariat.
Perasaan ini timbul pada sudut-sudut hatinya pada setiap ketika mereka melakukan sesuatu kesalahan, maka bisikan di dalam hati mereka inilah dinamaan Lawamah.

Sesungguhnya Lawamah ini bolehlah diibaratkan seperti lampu isyarat (Alarm) di dalam sebuah kereta di mana lampu ini akan menyala berwarna merah/kuning bila kereta tersebut kehabisan minyak dan mengisyaratkan tuannya supaya mengisi minyak baru sebelum bahaya merempuh datang dari hadapan. Bagi mereka yang mempunyai Lawamah (isyarat larangan) dan mereka pula mematuhinya dengan penuh rasa tanggungjawab, maka mereka akan terselamat dari bahaya yang datang dari gejala-gejala nafsu Amarah yang masih berdaki laput di dalam jiwanya.
Sebaliknya jika seseorang itu yang telah meningkat ke martabat nafsu Lawamah tetapi tidak mematuhi isyarat larangan Lawamah, maka lama-kelamaan isyarat tersebut akan padam dan akan kembali lah mereka kepada nafsu Amarahnya.

Zikir mereka pada martabat nafsu Lawamah biasanya masih melekat di bibir tetapi kadang-kadang mulai telah menyerap masuk ke dalam hatinya dan keadaan tersebut tidak tetap. Maka haruslah seseorang itu meneruskan zkirnya sebagaimana yang dipetuakan oleh gurunya dengan tabah.
Mereka pada martabat ini masih lagi bergelumang dengan daki sifat-sifat Mazmumah tetapi ianya mulai menurun ke satu tahap minima. Sifat-sifat seperti gelojoh, marah, lekas melenting, hasad dengki dan lain-lain sifat terkeji mulai mengurang hasil kepatuhannya terhadap isyarat Lawamah yang terbit dari sudut hatinya. Kekusutan fikirannya telah pun menurun dan mereka mulai merasa segan untuk melakukan sesuatu dari sifat Mazmumah malahan mereka sering menyesali di atas sikap-sikap zalim yang pernah dilakukan oleh mereka dahulu.
Seperti firman Allah di dalam Al-Quran :

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri”(Surah Al-Qiyaamah – Ayat 2)

Maka dengan ketekunan mematuhi isyarat serta kuat pula berzikir maka tingkatan nafsu mereka akan meningkat ke martabat nafsu ketiga yang dinamakan Nafsu Mulhamah.
Pada peringkat nafsu Lawamah seseorang itu telahpun dapat menerima ilmu Ghaib melalui Laduni pada peringkat NUR atau mimpi di dalam tidurnya dan kadang-kadang pula dapat menerima ilmu Laduni di peringkat tajalli. Oleh yang demikian maka seseorang itu haruslah pula berusaha dengan tekun dan sabar mengikuti petua-petua gurunya dan jangan sekali leka, semoga peningkatan martabat nafsunya akan tecapai.


3. NAFSU MULHAMAH.
Setelah seseorang itu berjaya mengikuti petua-petua daripada gurunya dan menerima teguran isyarat Lawamah dengan patuhnya, maka seseorang itu akan tercapai tahap nafsu yang lebih tinggi dan mulia martabatnya daripada nafsu Amarah dan nafsu Lawamah.

Adapun yang dimaksudkan dengan nafsu tersebut adalah nafsu Mulhmah. Pada peringkat nafsu ini seseorang itu telahpun dapat menyingkir sebahagian besar daripada sifat-sifat yang dikeji oleh Allah swt. Jiwa mereka pada masa ini telah pun mulai berkembang sifat-sifat tenang, lapang dadanya dan mereka telah pun dapat pengajaran ilmu ghaib melalui jalan Laduni, diperingkat Nur dan Tajalli daripada Tuhannya. Tetapi manusia diperingkat ini masih wujud lagi terkadang-kadang siat-sifat Mazmumah yang dikeji oleh Allah swt. Jiwa mereka kadang-kadang tenang dan ada masanya fikirannya gelabah, gelisah dan sebagainya. Pendek kata sifat-sifat Mazmumah itu masih lagi melanda jiwa mereka.

Zikir mereka di peringkat ini telah pun mulai melekat di hati dan bukan lagi melewa-lewa di lidah sahaja. Walaubagaimanapun tidak lah bermakna yang zikirnya di peringkat ini 100% telah tetap di hati mereka. Di samping itu pada tahap Mulhamah ini, isyarat larangan Lawamah tetap berkembang malah lebih membesar dan sesungguhnya pada peringkat zuk ini mereka telapun dapat menerima perasan zuk (mulhamah) dengan zikirnya dan dapat lah sedikit sebanyak menerima nikmat zikir yang diamalkan. Sesungguhnya tugas tersebut haruslah dilakukan bersungguh-sungguh dan lebih bekerja keras untuk meningkat martabat nafsu Mutmainah yang diakui syurga oleh Allah Taala.

Di dalam masa mereka menerima zuk di dalam zikirnya serta dapat pula mereka merasai nikmat zikirnya, maka seseorang itu diperingkat Mulhamah pula akan menerima satu lagi penyampaian ilmu ghaib melalui Laduni di peringkat Sir iaitu di mana seseorang itu akan dapat mendengar satu suara ghaib yang mengajar dirinya tentang ilmu ghaib melalui telinga batin.
Biasanya suara Ghaib itu adalah suara guru ghaib yang terdiri daripada wali-wali Allah yang Agong yang mengajar seseorang itu dengan terang dan jelas.


4. NAFSU MUTMAINAH
Setelah mencapai suatu martabat Mulhamah dan berjaya pula mengikut petua-petua gurunya serta dapat pula menerima zuk dan sir di samping hilang pula segala sifat mazmumah pada dirinya. Maka seseorang itu akan mendapat ketenangan, kelapangan jiwanya, hilang sifat-sifat resah gelisah hatinya.
Hatinya ketika itu mulai melekat rasa lamunan asih terhadap Allah swt dan mereka ini adalah dijamin 100% oleh Allah syurga, maka itu lah mereka yang telah berjaya mencapai ke martabat nafsu Mutmainah.

Seperti firman Allah di dalam Al-Quran :-

“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Alah itu tidak ada kekuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati iaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan akhirat.”(Surah Yunus – ayat 62 – 64)

Dan firman Allah Taala lagi :-

“Wahai orang yang bernafsu Mutmainah pulanglah ke pangkuan Tuhanmu dengan perasaan lapng dan kesenangan dan jadilah kamu hambaKu dan kekallah dirimu di dalam syurga.”(Surah Al-Fajr – ayat 27-30)

Zikir mereka pada martabat ini telahpun melekat dihati dan terus bersama ingatan dengan Allah Taala pada setiap masa dan ketika. Dan pada peringkat ini mereka telahpun mendapat kalbun iaitu satu cahaya yang bergerak diantara atas dan bawah pada bahagian jantung yang bertindak sebagai dynamo untuk mengalirkan current ingatan kasih mesra, cinta rasa dengan Allah swt.

Pada peringkat martabat ini seseorang manusia itu bolehlah disifatkan telah mencapai martabat wali iaitu dinamakan oleh para ahli Tasauf sebagai Wali Kecil. Disamping telahpun mulai menerima Ilmu Ghaib (Laduni) melalui cara sirusir dan telahpun berjaya mendapat mata basir.

Pada peringkat nafsu Mutmainah ini juga, mereka telahpun dapat menerokai dengan pendengaran dan penglihatan mereka melalui telnga batin dan mata basir merekake alam barzah (alam kubur). Merea telahpun boleh melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana nasib suka duka seseorang itu yang telah meninggal dunia dan berada di alam barzah serta diberi peluang juga melawat ke alam lain (alam ghaib).

Pada peringkat ini, timbul lah sifat-sifat super yang tidak boleh dimiliki oleh orang-orang awam seperti keramat, mulut masin, berkat da sebagainya. Bagi mereka diperingkat ini sering dilamun perasaan pana akibat kuatnya gelora lamunan cinta terhadap Allah swt.


5. NAFSU RADIAH

Setelah mencapai martabat nafsu Mutmainah dan gigihnya pula melatih dirinya untuk makrifat dengan Allah swt., maka seseorang itu akan ditingkatkan lagi iaitu martabat nafsu Radiah.

Zikir mereka pada martabat ini tetap berada dihatinya dan ucapan zikirnya pula dihatinya semata-mata. Mereka tidak pernah leka, lalai dari ingatannya dengan Allah swt.
Mereka sering mengalami pana’ akibat kuatnya gelora lamunan cinta dirinya dengan Allah swt. Mulut mereka sering terlatah tentang sesuatu yang bertentangan pada pandangan zahir syaria, hidupnya terus terampungan bersama Allah swt.

Pada martabat ini jiwa mereka telahpun suci, hatinya bersih hening dan setiap apa yang dilakukan olehnya samaada dengan mulu, tingkah laku, semuanya mulaimendapat keredaan Allah swt. Adapun pana’ mereka diperinkat nafsu Radiah ini adalah dinamakan pana’ kalbi iaitu hatinya, nuraninya terus dilambung perasaan cinta terhadap Allah swt pada setiap saat di dalam masa hayatnya.

Mereka diperingkat ini sering di jemput oleh para Wali-Wali Allah yang agong untuk menjelajahi ke alam-alam ghaib yang lebih jauh keluar daripada pemikiran manusia di samping mereka terus di ajar tentang ilmu ghaib yang lebih tinggi dan teknologi ilmu Allah yang tinggi yang sudah tentu tidak boleh ditandingi oleh teknologi manusia.
Disamping itu mereka boleh membuat perhubungan terus dengan para rasul, nabi-nabi, aulia dan para wali-wali Alah yang agong dan mereka dapat berbincang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ghaib dan tentang petua-petua makrifat dengan Allah swt.
Perhubungan mereka dibuat melalui Nur, Sir dan Sirusir di dalam masa mereka membuat sesuatu perhubungan dengan para rasul-rasul, nabi-nabi, aulia dan para wali-wali Allah ini mereka akan dapat menikmati satu kelazatan yang payah sekali untuk diterangkan disini dan ianya hanya boleh dirasai sendiri oleh mereka yang telah sampai ke martabatnya.


6. NAFSU MARDIAH.
Bagi mereka yang mencapai martabat nafsu Mardiah, jiwa mereka bakabillah iaitu hatinya, kalbunya dan jasadnya sekali mempunyai perasaan cinta yang amat sangat terhadap Allah swt. Jiwanya tenang, lapang tidak gelisah malahan seluruh jiwa raganya tertumpu kepada Allah semata-mata. Zikir mereka diperingkat ini tetap bersemadi di dalam kalbun dan tidak pernah pun lalai dan lupa kepada Allah, walaupun sesaat di dalam hidupnya.

Pada peringkat ini mereka telah pun dapat menerima tetamu-tetamu agong yang terdiri daripada rasul, nabi-nabi, para ariffinbillah, para sidiqqin dan para wali-wali Allah di samping mereka juga dapat menerima ilmu ghaib dan teknologi Allah melalui Laduni di peringkat TAWASSUL.
Disamping itu mereka juga telahpun berpeluang menjelajahi seluruh alam maya dan alam ghaib yang lan termasuk syurga, neraka, Arasy dan Kursi Alah swt. Sebagaimana jaminan Allah di dalam firmannya di dalam Al-Quran :-

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah nescaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar (ke alam lain)”(Surah Al-Talak – ayat 2)

Di dalam hal pemecahan wajah dirinya, sesorang diperingkat ini telah mendapat wajah di antara 7 wajah ke 8 wajah bergantung kepada badan masing-masing.


7. NAFSU KAMALIAH.
Adapun yang dimaksudkan dengan Kamaliah ini adalah keadaan telah berkamil atau bersebati kelakuan diri zahir dengan kelakuan diri batin pada kontek dirinya dengan Allah swt. di dalam hidupnya.

Pada martabat ini, apa saja kelakuan diantara diri batin dan jasad adalah sama dan tidak bercerai tanggal diantara satu dengan yang lain. Dimana setiap perlakuan yang dilahirkan oleh mereka di martabat ini direstui dan diredhai oleh Allah Taala secara spontan. Keadaan ini dinamakan Kata Jadi ( Kun Fayakun ). Pendek kata, barang kata barang jadi, mereka ini nak dikatakan sakit, amat sakit, kalau keramat amat keramat, kalau alim teramat alim dan mereka mempunyai segala kelebihan yang tidak boleh sekali diterokai oleh manusia awam.

Sesiapa saja yang tercapainya ke martabat nafsu ini (Kamaliah) mereka boleh berpeluang pula menerima ilmu syahadah iaitu Ilmu Allah yang paling tertinggi yang dapat melalui guru yang dinamakan guru batin.

Bagi mereka yang telah mencapai martabat nafsu Kamaliah, mereka hendaklah pula berusaha mengembalikan dirinya ke martabat nafsu orang mukmin iaitu nafsu Mutmainah. Mereka tidak harus tinggal lama di martabat nafsu Kamaliah. Mereka harus menjadikan diri mereka kembali kepada orang awam, bergaul berniaga, berpolitik dan menjadi khalifah di alam maya tetapi jiwa raganya tetap bersama Allah buat selama-lamanya sehingga darjat dirinya payh ditelah oleh orang ramai dan ini boleh disebut sebagi orang alim tidak alim, orang jahil tidak jahi. Pendek kata sifa manusia yang sempurna dan sederhana dimiliki oleh mereka di martabat ini dan mereka mulia di dunia dan akhirat.

Oleh itu wahai teman-teman dan anak-anak, tuntutilah Ilmu Tasauf sehingga tercapai martabat yang bapak coretkan ini, semoga kita bersama selmat di dunia dan akhirat.

“Berbahagialah engkau yang mencapai martabatnya”
Wassallam.

Kenalilah gusti Allah supaya engkau mengenal dirimu sendiri

Setengah daripada jalan mencapai makrifat itu ialah dengan mengenal diri seperti kata seorang sahabat Rasulullah SAW., Yahya bin Muaz Al-Razi ;

"Barangsiapa mengenal dirinya maka sesungguhnya mengenal ia akan Tuhannya".
Yahya bin Muaz mengambil faham daripada perkataan Nabi SAW. daripada pertanyaan seorang sahabat;

"Siapakah yang lebih mengenali TuhanNya, ya Rasulullah?

Maka sabdanya yang lebih mengenal mereka dengan dirinya."

Ada pun mengenal diri itu tiga [3] macam iaitu;

1. Periksa dan memahami.
2. Membuat bandingan dan ukuran.
3. Lemah dan tertegah.

1. Periksa dan memahami.Hendaklah dimusyahadahkan akan kejadian diri kita kepada dua pandangan iaitu;

a. Pandangan yang pertama kepada diri zahir yang dijadikan akan dia daripada emapat anasir iaitu;

Tanah, Air, Api dan Angin..

yang bermula daripada kejadian lembaga Nabi Adam 'Alaihi-Salam. Setelah sempurna lembaga Adam maka dimasukkan Ruh ke dalamnya lalu hidup ia bernyawa, bergerak, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti firman Allah dalam

Surah Al-Shod; 71-72 yang bermaksud;

"Ingat olehmu hai Muhammad ketika firman oleh Tuhan kamu bagi malaikatNya bahawa Aku jadikan manusia daripada pati tanah maka apabila aku sempurnakan dia dan aku masukkan ke dalamnya ruhKu, maka sekelian malaikat duduk dan sujud baginya".Demikian juga dijadikan seorang perempuan yang bernama Hawa iaitu daripada jenis Adam juga seperti firmanNya dalam :

Surah An-Nisaak:1 yang bermaksud;

"Hai sekelian manusia, takutlah kepada Tuhanmu yang menjadikan kamu dari diri yang satu dan menjadikan isteri daripadaNya. dan daripada keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan yang banyak."
Ini bermakna, daripada Adam dan Hawa dijadikan akan segala keturunan melalui setitik air mani (Nutfah) yang dikandungkan di dalam rahim ibunya selama 40 hari kemudian dijadikan seketul daging (Mudghoh) kemudian pecah berupa berbagai; suatu bentuk lembaga manusia seperti firman Allah dalam :

Surah Al-Mukminun;14 yang bermaksud;

"Sesungguhnya telah Kami jadikan manusia daripada pati berasal daripada tanah kemudian Kami jadikan akan pati tanah itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh(rahim), kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah; maka segumpal darah itu kami jadikan tulang; maka Kami bungkuskan tulang itu dengan daging kemudian jadikan itu makhluk yang berbentuk lain; maka Mahasuci Allah ialah Pencipta yang paling baik".
Kemudian apabila sempurna kandungan yang ghalib sembilan bulan lalu keluar dari perut ibunya berupa manusia yang lemah (bayi) kemudian beransur-ansur sedikit demi sedikit bertambah subur dan kuat yang lengkap dengan pancaindera yang lima iaitu;

Penjamah,
Perasa,
Pendengar,
Pelihat,
Pencium.

Akhirnya menjadi seorang manusia yang gagah kuat yang mempunyai pancaindera batin yang lima iaitu; Khowatir, Cita, Niat, 'Alim, Fikir; dan sempurnalah sepuluh pancaindera yang dinamakan INSAN.

b. Pandangan yang kedua kepada diri yang batin yang digelarkan nyawa atau Ruh yang telah diberikan nama oleh Arif bil-Lah dengan bermacam-macam nama. Setengah daripadanya menamakannya;
Syaiun Zat-tiah pada tatkala memandang pada Martabat Wahdah dimusyahadahkan pertama-tama nyata dalam Ilmu Allah itu Ruh Nabi Muhammad SAW. Daripada pancar benderang Israk Nur Muhammad itu zahirlah sekelian alam dan segala yang benyawa. Setengah daripada Arif bil-Lah menamakan dia sebagai;

i.Alam Ma'ani : iaitu tanda yang tersembunyi sungguh kuat nyata dalam Ilmu Allah tetapi tiada ia maujud. Ia tersembunyi dalam Wahdatul Wujud melainkan ibarat jua yang maujud pada keesaan diri Hak Allah Taala. Setengah Arif bil-Lah menamakanya sebagai;

ii.Alam Laahut ertinya tanda kenyataan Zat dan setengah
Arif bil-Lah menamakannya sebagai;

iii.Alam Jabarut tatkala nyata ia pada martabat Wahdiah ertinya tanda kebesaran Zat dan sifatNya dan Af'alNya dan setengah daripada mereka menamakan sebagai;
A' yan Saabitah ertinya kenyataan yang amat teguh dan setengahnya menamakannya sebagai;

iv.Alam Asror ertinya tanda menerima Asror (rahsia) Allah kerana ia tempat nyata Hak Taala.
Maka tatkala sudah menjadikan Allah Taala nyawa ; maka menjadi Ia akan Alam Arwah dan maujud ia dengan Qudrat Allah dan Iradatnya. Maka dinamakan dia Alam Malakut ertinya tanda milik yakni tiada sekali terlepas daripada Ampunya Milik. Ini dinamakan juga A' yan Khorijah kerana sudah zahir wujudnya menerima asar (bekas/sesuatu yang dijadikan) dan hukum Zat Lawazim yang nyata ibaratnya dan syaratnya kepada Martabat Wahdah dan Wahdiah kerana
A' yan Khorijah itu A'yan Saabitah dan A'yan Saabitah itu yang menerima zahir Sifat Allah dan Asma Allah dan A'yan Khorijah dan Alam Malakut ialah sekelian alam sama ada Alam Kabir (Besar) atau Alam Shoghir (Kecil). Dan setengahnya menamakannya;
Ruh Idhofi kerana lengkap pada tubuh yang menggerak dan mendiam dan sebagainya. Setengah daripada mereka menamakannya sebagai;
Ruh Al-Qudus kerana ia suci daripada merasai mati dan daripada segala kecelaan dan sebagainya dan setengah daripada mereka menamakannya sebagai;
Ruh Al-Amri kerana ia menerima perintah Allah memerintah tubuh. Setengah daripada mereka menamakannya pula sebagai Ruh Al-Amin kerana ia menerima firman Allah yang datang pada hati hamba yang yakin akan Hak Taala. Setengah daripada mereka menamakannya sebagai;
Khotir ertinya gerak hati. Dan khotir itu ada empat macam iaitu;

1.Khotir Rahmaani iaitu apabila ia sentiasa berhadap dan musyahadah kehadirat Allah Taala; tidak memikirkan akan MaasyiwaLah (sesuatu yang lain daripada Allah).

2.Khotir Malaki iaitu apabila bertukar arah dan bergilir ganti. Kadang-kadang berhadap dan bermusyahadah ke hadrat Allah Taala dan kadang-kadang sesuatu yang lain daripada Allah.

3.Khotir Nafsaani iaitu sentiasa berhadap kepada kegemaran dan kelazatan dunia dan kemegahan dan kemulian yang bergelumbang dengan Ajib, Riya', Takbur, Suma'ah dan lain-lain lagi daripada segala sifat-sifat mazmumah.

4.Khotir Syathooni iaitu sentiasa gemar kepada pekerjaan yang derhaka dan jauh daripada berbakti dan beribadat.
Maka adalah sekelian itu daripada kelakuan Ruh pada badan yang datang sekelian itu daripada Fe'il (Kelakuan) yang Hakiki.

Setengah daripada mereka menamakannya sebagai; Akal kerana mengeluarkan fikiran dan kira bicara dan setengah daripada mereka menamakannya sebagai;
Nafsu kerana angkuh dan zalim dan setengah menamakannya sebagai; Qalbu kerana bertukar berbolak-balik sekali berhadap kepada Allah; sekali berhadap kepada dunia.
Adalah diri yang zahir dan yang batin terdiri padanya tiga perkara iaitu;

Jisim iaitu susunan kulit, daging, tulang, urat, darah, lendir dan sebagainya.

Jauhar iaitu Ruh atau nyawa'Aradh iaitu kelakuan dan rupa pandangan seperti panjang, pendek, tinggi, rendah, putih, hitam, bertemu, bercerai, baik, jahat dan sebagainya.

2. Membuat bandingan dan ukuran
Kejadian tubuh jasmani manusia itu mempunyai beberapa hikmah dan rahsia yang menyamai rahsia kejadian langit dan bumi, maka eloklah bapak cuba memberi gambaran perumpamaan dengan serba ringkas dalam Ilmu Tasrikh iaitu ilmu kejadian manusia.

Bahawa manusia mempunyai 360 tulang yang menyamai dengan 360 darjah pada bulatan bumi.

Manusia juga mempunyai 17 sendi yang besar-besar kerana lazim manusia jaga pada tiap-tiap sehari semalam tujuh belas jam iaitu 3 jam pada awal malam dan 2 jam pada awal siang dan 12 jam pada masa siang. Maka dalam 17 jam inilah gerak-geri anggota yang 17 sendi itu melakukan kebajikan atau kejahatan; maka diwajibkan dan difardukan ke atas manusia mengerjakan sembahyang lima waktu dalam sehari semalam sebanyak 17 rakaat.

Urat-urat besar dalam badan manusia berjumlah 12 urat iaitu ibarat 12 bulan setahun dan 12 jam pada siang dan 12 jam pada malam.

Dikatakan juga bilangan rambut manusia ada sebanyak
124 000 iaitu supaya mengingatkan bagi kita bilangan Nabi-nabi yang diikhtilafkan ulama sebanyak 124 000 orang dan banyak lagi rahsia-rahsia kejadian tubuh manusia yang sengaja ditinggalkan.

Pendek kata tidak ada satu kejadian yang boleh menyamai dengan kejadian manusia pada nisbah elok dan baik perdiriannya dan mulia keadaannya dan tinggi darjatnya jika hendak dibandingkan dengan kejadian-kejadian yang lain seperti firman Allah dalam :

Surat Al-Tin;4 yang bermaksud;

"Demi sesungguhnya Kami jadikan manusia itu seelok-elok kejadian"
dan tidak ada satu kejadian yang diperintah oleh Allah Taala kepada malaikat supaya memberi hormat dan tahiyat melainkan manusia (Adam) dan juga menyebabkan syaitan dimurkai oleh Allah dan dikutuk akan Dia kerana ingkar pada perintah Allah yang diperintahkan kepadanya supaya memberi hormat dan tahiyat kepada manusia (Adam). Dijadikan sekelian perkara ini untuk manusia dan dilengkapi pada manusia sifat Ma'ani yang tujuh kerana tempat menerima Asar(bekas) Sifat Ma'ani Qadim yang dinamakan Naskhah Al-Haq.

3. Lemah dan Tertegah
Apabila dimusyahadahkan akan kejadian diri samada diri yang zahir atau diri yang batin, maka tak sampai akal manusia untuk memikirkannya seperti Ruh, Akal, Nafsu dan Qalbu. Maka sukar hendak memberi gambaran atau takrif yang mensifatkan daripada jenis apa???

Al-Quran memberi pengajaran sebagaimana firman Allah dalam :

Surah Al Israk; Ayat 85 yang bermaksud;

"Akan ditanya akan engkau hai Muhammad tentang ruh; Katakan olehmu Ruh itu adalah daripada urusan Tuhanku".
Oleh kerana sukar hendak membuat takrif, maka digelar oleh orang-orang 'Ariffin dengan nama Lathifatul Rabaaniyah.

Friday, 23 September 2011

Wahabi dan salafi bersikap sangat tercela dan dusta terhadap agama

Dari Kitab DURARUSSANIYAH FIR RADDI ALAL WAHABIYAH Syeikhul Islam Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Asy-Syafi’i.
Diantara sifat-sifatnya yang tercela ialah kebusukannya dan kekejiannya dalam melarang orang berziarah ke makam Nabi saw dan membaca sholawat atas Nabi saw, bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab sampai menyakiti orang yang hanya sekedar mendengarkan bacaan sholawat dan yang membacanya dimalam Jum’at serta yang mengeraskan bacaannya di atas menara-menara dengan siksaan yang amat pedih.
Pernah suatu ketika salah seorang lelaki buta yang memiliki suara yang bagus bertugas sebagai muadzin, dia telah dilarang mengucapkan shalawat di atas menara, namun lelaki itu selesai melakukan adzan membaca shalawat, maka langsung seketika itu pula dia diperintahkan untuk dibunuh, kemudian dibunuhlah dia. Setelah itu Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “perempuan-perempuan yang berzina dirumah pelacuran adalah lebih sedikit dosanya daripada para muadzin yang melakukan adzan di menara-menara dengan membaca shalawat atas Nabi.
Kemudian dia memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya bahwa apa yang dilakukan itu adalah untuk memelihara kemurnian tauhid. Maka betapa kejinya apa yang diucapkannya dan betapa jahatnya apa yang dilakukanya Tidak hanya itu saja, bahkan diapun membakar kitab Dalail ul-Khairat. Kitab Dalail Khairat adalah kitab yang memuat 200 Nama-nama Nabi saw, kitab inilah yang dibaca para pejuang Afghanistan sehingga mampu mengusir Uni Sovyet / Rusia, seperti juga Salahuddin al Ayubi yang menghidupkan Mawlid Nabi sehingga tentaranya mampu menahan pasukan Nasrani.
Namun kemudian Wahabi mengirim Taliban yang akan membakar kitab-kitab tsb) dan juga kitab-kitab lainnya yang memuat bacaan-bacaan shalawat serta keutamaan membaca salawat Nabi saw ikut dibakar, sambil berkata apa yang dilakukan ini semata-mata untuk memelihara kemurnian tauhid.
Dia juga melarang para pengikutnya membaca kitab-kitab fiqih, tafsir dan hadits serta membakar sebagian besar kitab-kitab tsb, karena dianggap susunan dan karangan orang-orang kafir. Kemudian menyarankan kepada para pengikutnya untuk menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga para pengikutnya menjadi BIADAB dan masing-masing menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sekalipun tidak secuilpun dari ayat Al Qur’an yang dihafalnya.
Lalu ada seseorang dari mereka berkata kepada seseorang : “Bacalah ayat Al Qur’an kepadaku, aku akan menafsirkanya untukmu, dan apabila telah dibacakannya kepadanya maka dia menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. Dia memerintah kepada mereka untuk mengamalkan dan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang mereka fahami serta memperioritaskan kehendaknya diatas kitab-kitab ilmu dan nash-nash para ulama, dia mengatakan bahwa sebagian besar pendapat para imam keempat madzhab itu tidak ada apa-apanya.
Sekali waktu, kadang memang dia menutupinya dengan mengatakan bahwa para imam ke empat madzhab Ahlus Sunnah adalah benar, namun dia juga mencela orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Dan dilain waktu dia mengatakan bahwa syari’at itu sebenarnya hanyalah satu, namun mengapa mereka (para imam madzhab) menjadikan 4 madzhab.
Ini adalah kitab Allah dan Sunnah Rasul, kami tidak akan beramal, kecuali dengan berdasar kepada keduanya dan kami sekali-kali tidak akan mengikuti pendapat orang-orang Mesir, Syam dan India. Yang dimaksud adalah pendapat tokoh-tokoh ulama Hanabilah dll dari ulama-ulama yang menyusun buku-buku yang menyerang fahamnya.
Dengan demikian, maka faham Wahabi adalah orang yang membatasi kebenaran, hanya yang ada pada sisinya, yang sejalan dengan nash-nash syara’ dan ijma’ ummat, serta membatasi kebathilan di sisinya apa yang tidak sesuai dengan keinginannya, sekalipun berada diatas nash yang jelas yang sudah disepakati oleh ummat.
Dan mereka wahabi adalah orang yang mengurangi keagungan Rasulullah saw dengan banyak sekali atas dasar memelihara kemurnian tauhid mereka mengatakan bahwa Nabi saw itu tak ubahnya :”THORISY”. Thorisy adalah istilah kaum orientalis yang berarti seseorang yang diutus dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Artinya, bahwa Nabi saw itu adalah pembawa kitab, yakni puncak kerasulan beliau itu seperti “Thorisy” yang diperintah seorang amir atau yang lain dalam suatu masalah untuk manusia agar disampaikannya kepada mereka, kemudian sesudah itu berpaling.
Mereka menganggap Rasulullah saw tak ubahnya seperti seorang tukang pos yang bertugas menyampaikan surat kepada orang yang namanya tercantum dalam sampul surat, kemudian sesudah menyampaikannya kepada yang bersangkutan, maka pergilah dia. Dengan ini maka jelaslah bahwa kaum Wahabi hanya mengambil al Qur’an sebagian dan sebagian dia tinggalkan.
Dan meraka (para pengikutnya itu) pun memberitahukan apa yang mereka ucapkan itu kepadanya namun dia menampakkan kerelaannya, serta boleh jadi mereka juga mengucapkan kata-kata itu dihadapan gurunya, namun rupa-rupanya dia juga merestuinya, sehingga ada sebagian pengikutnya yang berkata :”SESUNGGUHNYA TONGKATKU INI LEBIH BERGUNA DARIPADA MUHAMMAD, KARENA TONGKATKU INI BISA AKU PAKAI UNTUK MEMUKUL ULAR, SEDANG MUHAMMAD SETELAH MATI TIDAK ADA SEDIKITPUN KEMANFA’ATAN YANG TERSISA DARINYA, KARENA DIA (RASULULLAH S A W) ADALAH SEORANG THORISY DAN SEKARANG SUDAH BERLALU”.
Sebagian ulama’ yang menyusun buku yang menolak faham ini mengatakan bahwa ucapan-ucapan seperti itu adalah “KUFUR” menurut ke empat madzhab, bahkan kufur menurut pandangan seluruh para ahli Islam.
Catatan :
Jika perlakuan Abdul Wahhab dan pengikutnya kepada Nabi s a w sedemikian rupa, maka apakah masuk akalkah orang-orang kayak ini setia kepada sahabat dan kaum Salafush-Sholihin ? Sungguh sangat berbeda antara Salfus Solihin dengan mereka saat ini, jadi pengakuannya sebagai akidah yang mengikuti Salaf-Sholeh / Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penipuan untuk mengelabuhi orang-orang awam.
Jika Nabi s a w dikatakan “Thorisy karena sudah berlalu”, mengapa para pengikut Wahabi itu tidak juga mengatakan Muhammad bin Abdul Wahhab itu “sudah berlalu”, mengapa mereka masih diangung-agungkan dan diikuti dengan taklid. Inilah yang dinamakan “PELARANGAN PENGKULTUSAN YANG MELAHIRKAN PENGKULTUSAN BARU”.
- Wahabi membid’ahkan Mawlid Salawat Nabi, semntara dalam Al-Qur’an Allah berfirman, Innalloha wa malaikatuhu yu sholluna alan Nabi, Ya ayyuhal ladzina amanu shollu alaiihi wa salimu taslima. “Aku dan Malaikatku bersalawat untuk nabi, wahai orang yang beriman, bersalawatlah kalian dan menucapkan salam kepada nabi saw”. Allah swt menyuruh kita solat, puasa, zakat, haji, tetapi Allah tak perlu dan tak butuh solat kita, Allah menuruh kita bersalawat atas nabi, dan Allah sendiri bersalawat kepada Nabi saw.
- Orang-orang Wahabi yang membenci Mawlid Nabi ini nantinyapun mereka minta syafa’at pada Nabi saw di Hari Mahsyar nanti, sementara didunia ini mereka membenci orang2 yang bersalawat.
- Mereka membid’ahkan ziarah ke makam Nabi saw, sementara mereka sendiri menziarahi makam Abdul Wahab. Mereka pun berziarah kemakam orang tuanya ketika puasa akan dimulai, atau ketika lebaran. Sementara mereka membid’ahkan ziarah. Ziarah dalam hadist Nabi saw bahkan dianjurkan untuk mengingat mati. Apakah kita tak boleh berziarah kemakam orang tua kita, memeliharanya, mendoakan guru-guru kita yang mengajarkan Islam kepada kita. Inilah Islam sejati yang penuh cinta, bukan seperti Islam Wahabai salafi yang penuh kemarahan dengan kata-kata Bid’ah. Ucapannya menyakiti hati sesama muslim lainnya.
- Wahabi melarang Mawlid Nabi saw yang artinya memperingati Kelahiran Nabi tercinta saw, tetapi mereka merayakan hari ulang tahun anaknya , orang tuanya. Bila mereka mengatakan tak tak merayakan, lihatlah bahkan betapa keringnya hati mereka, tak ada cinta samasekali. Bukan Islam yang kering seperti ini yang dianut Mayoritas Muslim dunia. Ahlul Sunah wal Jamaah hampir 90% masyarakat muslim dunia merayakan mawlid, di Yaman , Damascus, Yordania, Negara- afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah dll.
Wahabi di Indonesia sangat sedikit dan minoritas, tetapi lihatlah teriakan mereka begitu menantang para Ahlul Sunah wal Jamaah, Islam tradisional (90%) mereka telah menabuh genderang peperangan kepada kaum muslim yang lain di Indonesia dan di negara2 lain. Mereka diusir di Eropa Amerika karena faham fundamentalis radikalnya.

Telusuri wahabi,salafi dan khawarij

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem serta radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.Akhir-akhir ini, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh.Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.
Definisi Salafi jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.2 Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.3 Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup di masa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.4 Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.5 Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad keempat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.6Pada hakikatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi, yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pemuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia.Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud—yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyakbumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain di luar wilayah Saudi.Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hanbaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy.” Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hanbali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hanbali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesancelaan.”
Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakikatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hanbali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah.” Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hanbali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hanbali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hanbali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw. (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka.”8Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi(pembenci keluarga Nabi saw.), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.Pelopor Pemikiran “Kembali ke Metode Ajaran Salaf”Ahmad bin Hanbal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hanbali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hanbal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain—yang dianggap ajaran di luar Islam yang kemudian diadopsi oleh sebagian muslim—akan membahayakan nasib teks-teks agama.Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini.”9 Konsekuensi dari ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya—termasuk Ibnu Taimiyah—terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama.
Salah satu dampak konkret dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyahal-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hanbal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia.”, “Tuhan bisa dilihat.”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya ke dalam Neraka.” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hanbal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan.”10Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.11Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”12 atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam.”13 Lantas, di sisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”14 Apakahayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arasy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas.Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakikat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslim pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hanbal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat) … dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama.
Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah.” Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, merekatelah terjerumus ke dalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri.”15 Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahan-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.16Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hanbal sendiri.17Faktor Munculnya Kelompok SalafiDalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan faktor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu—yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hanbal—adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah keilmuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali ke pemikiran Salaf.”18 Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah di zamannya.
Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hanbal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu. Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutanAhlusunnah pun akhirnya diidentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor di mata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hanbal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab ImamAhmad bin Hanbal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah)—yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—serta tindakan arogan yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.Kecurangan Kelompok SalafiSetiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya.Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrikadalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Di sisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah.
Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca salawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelaskonsekuensi hukumnya dalam ajaran Islam.Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.Segala bentuk makar dan kebohongan untuk menghadapi rival akidahnya merupakan hal mubah di mata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi—yang didukung dana begitu besar—berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standar ajaran—termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir—mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka.Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Mengubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah mengubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsirbeliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hanbali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali.Kitab Syarah Shahih Muslim pun (telah diubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali.”20Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi saw. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat,” di situ, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah.
Pada hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini—risalah—maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)….” Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam Tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi: “Washi (pengganti) dan Khalifahku.” Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya,” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliaunukil dari Shahih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standar, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama.Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rafidhi.”21Salafi (Wahabi) dan KhawarijTidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Di sini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw., di mana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.22Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekuensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam menyifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”23 Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim.
Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan.”24 maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan di beberapa tempat, terkhusus di wilayah Hijaz dan Irak kala itu.Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas tenggorokkan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluar (lepas)-nya anak panah dari busurnya.Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala.”25 Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur,” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.26 Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai guncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah.”27 Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Di sana akan muncul qornsetan.” Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.28Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan ke segala penjuru dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut.Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi—seperti al-Qaedah—melakukan aksi teror di berbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.
.comments { clear: both; margin-top: 10px; margin-bottom: 0px; line-height: 1em; } .comments .comments-content { font-size: 12px; margin-bottom: 16px; font-family: Verdana; font-weight: normal; text-align:left; line-height: 1.4em; } .comments .continue a, .comments .comment .comment-actions a { display:inline; font-family:Arial, Helvetica, sans-serif; font-size:12px; padding: 2px 5px; text-decoration: none; text-shadow:0 1px 1px rgba(0,0,0,.3); color:#FFF; -webkit-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -moz-box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); box-shadow: 0 1px 2px rgba(0,0,0,.2); -webkit-border-radius: 3px; -moz-border-radius: 3px; border-radius: 3px; margin-right: 10px; border: 1px solid #3079ED; background: #0066FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0099FF), to(#009999)); background: -moz-linear-gradient(top, #0099FF, #009999); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0099FF', endColorstr='#009999'); } .comments .continue a:hover, .comments .comment .comment-actions a:hover { text-decoration: none; background:#0099FF; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#009999), to(#0099FF)); background: -moz-linear-gradient(top, #009999, #0099FF); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#009999', endColorstr='#0099FF'); } .comments .continue a:active, .comments .comment .comment-actions a:active { position: relative; top:1px; background: -webkit-gradient(linear, left top, left bottom, from(#0066FF), to(#0099CC)); background: -moz-linear-gradient(top, #0066FF, #0099CC); filter: progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr='#0066FF', endColorstr='#0099CC'); } .comments .comments-content .comment-thread ol { list-style-type: none; padding: 0; text-align: none; } .comments .comments-content .inline-thread { padding: 0.5em 1em 0 1em; } .comments .comments-content .comment-thread { margin: 8px 0px 0px 0px; } .comments .comments-content .comment-thread:empty { display: none; } .comments .comments-content .comment-replies { margin-top: 1em; margin-left: 40px; font-size:12px; } .comments .comments-content .comment { padding-bottom:8px; margin-bottom: 0px } .comments .comments-content .comment:first-child { padding-top:16px; } .comments .comments-content .comment:last-child { border-bottom:0; padding-bottom:0; } .comments .comments-content .comment-body { position:relative; } .comments .comments-content .user { font-style:normal; font-weight:bold; } .comments .comments-content .user a { color: #444; } .comments .comments-content .user a:hover { text-decoration: none; color: #555; } .comments .comments-content .icon.blog-author { width: 18px; height: 18px; display: inline-block; margin: 0 0 -4px 6px; } .comments .comments-content .datetime { margin-left:6px; color: #999; font-style: italic; font-size: 11px; float: right; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; } .comments .comments-content .comment-content { font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12.5px; line-height: 19px; text-align:none; margin: 15px 0 15px; } .comments .comments-content .owner-actions { position:absolute; right:0; top:0; } .comments .comments-replybox { border: none; height: 250px; width: 100%; } .comments .comment-replybox-single { margin-top: 5px; margin-left: 48px; } .comments .comment-replybox-thread { margin-top: 5px; } .comments .comments-content .loadmore a { display: block; padding: 10px 16px; text-align: center; } .comments .thread-toggle { cursor: pointer; display: inline-block; } .comments .comments-content .loadmore { cursor: pointer; max-height: 3em; margin-top: 3em; } .comments .comments-content .loadmore.loaded { max-height: 0px; opacity: 0; overflow: hidden; } .comments .thread-chrome.thread-collapsed { display: none; } .comments .thread-toggle { display: inline-block; } .comments .thread-toggle .thread-arrow { display: inline-block; height: 6px; width: 7px; overflow: visible; margin: 0.3em; padding-right: 4px; } .comments .thread-expanded .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAAAc AAAAHCAYAAADEUlfTAAAAG0lEQVR42mNgwAfKy8v/48I4FeA0AacVDFQBAP9wJkE/KhUMAAAAAElFTkSuQmCC") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .thread-collapsed .thread-arrow { background: url("data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAA AcAAAAHCAYAAADEUlfTAAAAJUlEQVR42mNgAILy8vL/DLgASBKnApgkVgXIkhgKiNKJ005s4gDLbCZBiSxfygAAAAB JRU5ErkJggg==") no-repeat scroll 0 0 transparent; } .comments .avatar-image-container { float: left; overflow: hidden; } .comments .avatar-image-container img { width: 36px; } .comments .comment-block { margin-left: 48px; position: relative; padding: 15px 20px 15px 20px; background: #F7F7F7; border: 1px solid #E4E4E4; overflow: hidden; border-radius: 4px; -moz-border-radius: 4px; -webkit-border-radius: 4px; border-image: initial; }